KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday, 15 April 2015

ANJURAN SHOLAT RAJAB & NISFU SYA'BAN



Sebelum membahas dasar hukum shalat Rajab, penting bagi kita untuk mengetahui dahulu klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan cara perolehannya. Dalam hal ini, Ilmu terbagi dua,
1. Ilmu Hushuli : yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, ilmu pengetahuan itu masuk ke dalam memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau ilmu rasional. Kalau saya boleh ibaratkan ilmu hushuli bagaikan ketika kita ingin memiliki cadangan air, kita membuat kolam lalu kita angkut air sungai untuk dimasukkan ke dalam kolam. Warna maupun bau air kolam kita sangat tergantung warna danbau air sungai tempat kita mengambil air. 
Air sungai sangat dipengaruhi lingkungannya. Begitu pula ilmu Hushuli. Pengetahuan dan sikap seorang murid sangat diperngaruhi gurunya. Ada istilah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tetapi kalau guru kencing berlari? Ya,… murid ngencingin guru. He he he… serius amat. Ada juga kita kenal pribahasa “ anda tergantung buku apa yang ada di lemari anda. Ini semua adalah ilmu Hushuli.
Semua ilmu yang kita ketahui adalah ilmu hushuli kecuali ilmu jenis kedua yaitu
2. Ilmu Laduni atau ilmu Hudhuri (yang dihadirkan oleh Allah). Secara bahsa ladun adalah “sisi” sedangkan huruf ya’ mutakallim wahdah (wah jadi nggak enak nih pake istilah Nahwu Sharaf) yang terletak setelah kata “ladun” artinya “Aku”. Maksudnya ilmu Laduni adalah ilmu yang langsung berasal dari sisi Ku (Allah). 
Kalau diibaratkan ilmu Laduni bagaikan kita mengebor tanah. Terus meneruuus sehingga ketika sudah mencapai air bersih, maka muncullah air bersih yang segar dan tidak terkontaminasi warna dan bau lainnya. Inilah ilmu laduni yang langsung dari Allah, ilmu murni, suci dan tidak terpengaruh oleh apapun. 
Cara memperolehnya juga bukan dengan kuliah samapai S4 atau membaca ribuan buku, namun dengan terus berdzikir secara mendalam dalam waktu yang relatif lama sehingga terbukalah hijab spiritual (kasyaf). Ilmu ini hanya dimiliki seorang Waliyullah. Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. 
Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. Beberapa sufi berkomentar tentang ilmu laduni, antara lain:
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. 
Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4) Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza.
Di bawah ini saya jelaskan beberapa alasan shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dan yang sejenis, antara lain:
1. (alasan pertama) Perbedaan penggunaan jenis ilmu. Ulama hadis yang bukan sufi, dengan segala hormat akan upaya mereka telah memverifikasi hadis, hanya menggunakan ilmu hushuli dalam menelaah validitas sebuah hadis. Tidak heran jika menurut para ahli hadis, hadis-hadis yang menjadi dasar hukum shalat Rajab maupun Nishfu Sya’ban adalah hadis dha’if maupun maudhu’. 
Namun para sufi selain menggunakan ilmu hushuli dalam mencari kebenaran, mereka juga menggunakan ilmu laduni. Sehingga ada beberapa hadis yang menurut para sufi dha’if sanadan shahih kasyfan (lemah secara sanad, namun shahih secara kasyaf).Sudah menjadi kebiasaan para sufi untuk berkonsultasi dengan Allah dan RasulNya sebelum melakukan hal yang kecil sekalipun dan meski hanya menyangkut urusan pribadi.
Apalagi ritual-ritual yang menyangkut orang banyak mereka tentunya bertanya kepada Allah. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dan Sulthan Awliyaa’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah dua di antara para sufi yang dalam buku susunannya (Ihya’ ‘ulumiddin dan al-Ghunyah lithalibii thariqil haq) mencantumkan ritual-ritual yang di tentang para ahli hadis secara sanad. Beliau berdua adalah sufi yang tidak diragukan lagi kesufiannya dan kedekatannya kepada Allah, dikagumi oleh para ulama dunia termasuk Ibnu Taymiah.
Meski demikian mayoritas ahli hadis yang bukan sufi tetap saja tidak bisa menerima konsep shahih kasyfan. Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan. 
Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfiyan…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat.

Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih. Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.
2. (alasan kedua) Mengukur diri sendiri. Banyak ahli hadis yang menilai para sufi sebagaimana mereka menilai kemampuan diri mereka.
Ketika para ahli hadis tidak bisa berkomunikasi dengan Rasul, mereka katakan tidak mungkin seseorang bertemu Rasul setelah beliau wafat. Mereka menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu. Mereka menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfiyan…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. 
Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah s.a.w.Para sufi menganggap Rasulullah tidak mati tetapi tetap hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Bukankah Allah berfirman “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. 2:154) juga di ayat lain “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. 3:169).
Bukankah Rasulullah s.a.w. juga berkomunikasi dengan nabi Musa a.s. saat Mi’raj?Para ahli hadis di zaman dahulu menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan mengecek kebenaran hadis meskipun harus bepergian ke tempat yang jauh. Para ahli hadis zaman sekarang mungkin lebih ringan karena mengecek hadis cukup dari buku ke buku. Wajar saja jika mereka memiliki data yang akurat seputar perawi hadis. 
Semoga Allah membalas jerih payah mereka dengan balasan yang berlipat ganda.Sesungguhunya para sufi juga memliki jerih payah yang tidak kalah meletihkan dalam beribadah. Bayangkan Syekh Abdul Qadir selama 40 tahun tidak tidur malam, dan mencukupkan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Beliau isi setiap malam dengan full beribadah kepada Allah untuk membersihkan qalbunya. Wajar saja kalau qalbunya begitu bersih sehingga dapat menyerap cahaya Ilahi lebih banyak dari yang lain. Dengan qalbunya yang bersih juga ia dapat berkomunikasi dengan para ruh yang suci.Solusi Salah satu Solusinya… ahli hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf.
Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.
3. (alasan ketiga) Hukum dasar puasa adalah baik dilakukan, Shalat Mutlaq dapat dilakukan kapan saja.Ketika Al Hafidh Al Muhaddits Imam Nawawi menjawab masalah puasa di bulan rajab, beliau berkata : ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه“Tiada hukum yg menguatkan puasa di bulan rajab, akan tetapi asal muasal hukum puasa adalah hal yg baik dilakukan” (Fathul baari Almasyhur Juz 8 hal.38), jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi berpendapat semua hal yg baik dan sunnah, jika dilakukan di waktu kapanpun, boleh saja dilakukan diwaktu yg dipilih. 
Juga sebagaimana diriwayatkan ketika ada Imam masjid Quba yg selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no.741). 
Kita tahu bahwa di dalam satu tahun ada 5 hari yang diharamkan berpuasa yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, lalu 3 hari setelah Iedul Adha. Mafhum mukhalafahnya (logika terbalik) adalah selain yang 5 hari itu maka dibolehkan berpuasa. Sedangkan shalat Rajab adalah jenis shalat MUTLAQ yang dapat dilakukan kapan saja. Jadi yang dimaksud dengan shalat Rajab adalah “shalat mutlaq yang dilakukan pada malam-malam bulan Rajab”. Maka tidak ada larangan melakukannya pada setiap waktu yang dibolehkan shalat.
Jangan sampai kita mengharamkan sesuatu yang halal. Allah berfirman Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu (QS. At-Tahrim 66:1)
Adapun surat-surat yang dibaca dalam shalat mutlaq tersebut silakan dibaca surat apa saja selama yang dibaca adalah al-Qur’an. Begitu pula yang dilakukan oleh imam masjid Quba. Bilal menciptakan shalat (mutlaq) syukrul wudhu
 عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال عند صلاة الفجر” يا بلال حدثني بأرجي عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دفَّ نعليك بين يدي في الجنة قال ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي “. Dari 
Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada Bilal : “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnyalah aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di sorga” Bilal menjawab: “saya tidak beramal dengan sesuatu amal apapun. Yang lebih saya harapkan pahalanya, kecuali saya mengerjakan shalat setelah aku bersuci (berwudlu) baik di waktu siang atau malam sesuai dengan yang telah ditentukan buatku untuk melakukan shalat. (HR. Bukhori dan Muslim )
4. Bulan Rajab adalah Bulan HaramBulan-bulan haram itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan-bulan tersebut. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214) Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Di bawah ini saya cantumkan contoh hadis yang dibahas oleh para ahli hadis dan sufi :
عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار. (إحياء علوم الدين ، للغزالي)
Dari Anas dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Tiada seorangpun yang berpuasa pada hari Kamis (kamis pertama bulan Rajab) kemudian shalat antara Maghrib dan Isya yaitu malam Jum’at 12 rakaat, dibaca pada setiap rakaat al-Fatihah satu kali, dan al-Qadr 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dipisahkan antara setiap 2 rakaat dengan 1 salam. 
Kemudian setelah shalat selesai bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian membaca pada sujudnya 70 kali سبوح قدوس رب الملائكة والروح, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan 70 kali رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم, Kemudian sujud yang kedua dan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan pada sujud pertama. 
Kemudian memohon kepada Allah agar dikabulkan hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan.. Rasulullah s.a.w. melanjutkan, dan demi yang jiwaku berada di tanganNYa (Allah) tiada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan menjalankan shalat ini kecuali Allah mengampuni seluruh dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan, dan sebanyak pasir, dan sebesar gunung, dan sebanyak dedaunan di pepohonan, dan ia akan memberi syafaat kepada 700 keluarganya yang masuk neraka”. (Ihya’ Ulumiddin)
Wallahu a’lam
semoga bermanfaat
Abdul Latif, SE, MA

No comments: