Jayapura, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkapkan, tuduhan bahwa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima dana dari Bulog dan Brunei sengaja diramaikan untuk menjatuhkan citra Presiden ke-4 RI ini. Berikut kronologi penurunan Gus Dur menurut Mahfud MD:
Dalam kasus yang selanjutnya disebut buloggate dan bruneigate tersebut, Gus Dur tak terlibat sama sekali. Dalam kasus buloggate, saat itu seseorang yang disebut sebagai tukang pijit Gus Dur, bernama Suwondo mengatasnamakan Gus Dur untuk kepentingan pribadi.
“Gus Dur itu orangnya egaliter. Siapapun yang ingin bertemu, diterimanya. Termasuk tukang pijit pun diterimanya. Saat itu Suwondo ingin bertemu Gus Dur dengan membawa Sapuan. Dalam pertemuan itu, Suwondo bicara soal Aceh, dan sebagainya. Gus Dur hanya bilang bahwa Aceh perlu dibantu. Tapi kemudian, paska pertemuan itu, Suwondo menemui Sapuan dan meminta uang sebesar Rp35 Miliar, dengan membawa nama Gus Dur,” ungkap Mahfud.
“Gus Dur tak tahu menahu soal itu. Itu kasus Suwondo yang menyalahgunakan nama Gus Dur,” tandas Mahfud dalam Konferensi Pers, usai mengisi seminar tentang Hukum di arena Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dirangkai dengan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jayapura, Papua, Rabu (12/12).
Sementara tentang Brunei, kata Mahfud, bermula dari keinginan Raja Brunei Darussalam, yang ingin memberi zakat kepada masyarakat Indonesia, melalui Aryo. “ Waktu itu kata Gus Dur, silahkan disalurkan, dan kemudian uang zakat itu disalurkan ke Aceh, dan lainnya. Jadi Gus Dur tak menerima uang tersebut,” ujarnya.
Peristiwa pemberian zakat tersebut, kata Mahfud terjadi tahun 1999, ketika itu belum ada Undang-Undang Gratifikasi. Jadi Gus Dur langsung menyalurkannya tanpa melaporkan kepada negara. “ Saat itu dana tersebut langsung disalurkan. Jadi dua kasus hukum tersebut, tidak benar sama sekali. Tak terbukti sama sekali,” imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa jatuhnya Gus Dur, adalah murni kasus politik. Gus Dur dianggap melanggar TAP MPR nomor 6 dan 7 tahun 1999, karena memberhentikan Suroyo Bimantoro dari jabatan Kapolri. “Tanggal 20 Kapolri diganti. Undangan sidang MPR untuk menghentikan Gus Dur bukan soal Bulog dan Brunei tapi karena Gus Dur menggantikan Kapolri tanpa persetujuan DPR/MPR,” ujarnya.
Karena undangan semacam itu, Gus Dur tak memenuhi undangan MPR dan mengeluarkan maklumat atau dekrit. “Tuduhan korupsi adalah tuduhan paling jahat. Gus Dur jatuh secara politik tak ada kasus hukum apapun di situ,” kata ahli hukum ini.
“Secara politik memang merupakan fakta yang tak terhindarkan. Sebagai fakta politik saya terima, tapi kalau secara hukum itu tak bisa. Bahkan penjatuhan Gus Dur menurut saya melanggar hukum, sebab menurut Tap MPR disebutkan bahwa sidang umum MPR untuk menjatuhkan Presiden harus dihadiri oleh seluruh Fraksi. Saat itu PDKS dan PKB menyampaikan surat resmi untuk menolak sidang umum MPR tersebut,” paparnya.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor: Abdul Malik
No comments:
Post a Comment