Nama kiai muda yang satu ini belakangan cukup populer. Rekaman video perdebatannya dengan para pemuka Wahabi di Indonesia tersebar melalui media youtube dan bisa diakses dari mana saja. Sedianya dia diminta bantuan oleh kelompok Wahabi untuk ikut menyerang Syiah. Tapi Wahabi diserangnya juga.
Ustadz Idrus Ramli kali ini diundang secara khusus untuk menyampaikan ceramah dalam Halaqah Nasional Aswaja di Asrama Haji Kota Batam, Selasa (14/4). Halaqah diadakan di sela Rapat Kerja Nasional Rakernas V Lakpesdam NU.
Setelah Wali Kota Batam menyampaikan sambutan dan berbicara banyak tentang tradisi Islam Melayu, tibalah saatnya Idrus Ramli menyampaikan ceramah. Setelah ceramah berlangsung beberapa menit dia berdiri. “Pak moderator saya minta izin berdiri, kalau duduk nanti pada ngantuk,” katanya.
Dengan gaya ceramahnya yang khas, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jawa Timur ini kelihatan cukup memukau ratusan peserta dari PWNU Kepri, PCNU Batam, dan jamaah MWCNU se-Kota Batam. Sesekali ia menyelipkan humor dan jamaah pun tertawa.
Ia bercerita, dirinya sudah berkeliling Indonesia dan bahkan ke berbagai negara untuk menyampaikan penjelasan mengenai Islam Nusantara. Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah telah masuk ke Nusantara pada era sahabat Nabi, namun baru tersebar pada sekitar abad ke-14 terutama pada era Wali Songo. Perkembangan Islam begitu cepat bahkan kemudian menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Apa kunci sukses penyebaran Islam di Indonesia? Tidak lain karena para penyebar Islam sangat menghargai tradisi Islam. Menurut Idrus Ramli, tradisi yang baik menjadi salah satu sumber hukum Islam. Beberapa ibadah umat Islam yang diajarkan Nabi juga merupakan peninggalan dari agama Yahudi dan orang-orang zaman jahiliyah.
Demikilanlah juga yang dijalankan oleh para penyebar Islam di Indonesia. Berbagai tradisi yang dijalankan oleh penduduk Nusantara seperti upacara kehamilan, kelahiran, dan kematian diislamisasi sedemikian rupa oleh para penyebar Islam di Indonesia.
“Tradisi yang sudah dijalankan itu diislamisasi. Dulu kalau ada orang meninggal, para tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka makan-makan, ada yang sambil minum-minum dan bermain judi. Kemudian oleh para ulama kita kumpul-kumpul ini diisi dengan berdzikir dan berdoa,” katanya.
Jika tradisi yang berlaku itu tidak bisa diislamisasi, maka yang dilakukan para ulama adalah meminimalkan mudaratnya. Ada tradisi buang kepala kerbau atau sapi untuk menghindari bencana gunung merapi. Menurut Ustadz Idrus, orang-orang dulu membuang gadis untuk menolak bencana. “Oleh ulama kita, upacara membuang gadis ini diganti dengan membuang kepala kerbau. Lagi pula di negara-negara tetangga kepala kerbau tidak dimakan, hanya di Indonesia saja semua dimakan, karena kita ini memang kreatif,” katanya disambut tawa hadrin.
Semua tradisi baik yang sudah diislamisasi itu juga mempunyai dasar legitimasi dari Al-Qur’an dan Hadits atau dari para Sahabat Nabi. “Jika ada yang tidak tahu dasarnya berarti ngaji dia belum sampai ke situ,” katanya.
Ia melanjutkan, belakangan ajaran para ulama ini diganggu oleh kehadiran kelompok Syiah dan Wahabi. Kelompok Syiah tidak suka dengan para sahabat Nabi yang disimbolkan dengan kebencian mereka kepada tiga sahabat utama Nabi yakni Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sementara kelompok Wahabi tidak suka tradisi, tidak suka istighotsah, tidak suka berdzikir seperti yang sudah dijalankan oleh umat Islam Nusantara. Dari sini lah para ulama mengembangkan syair khusus yang selain berisi dzikir juga berisi puji-pujian kepada para sahabat Nabi, termasuk Sayyidina Ali dan Fatimah binti Rasul.
“Saya berkeliling dari Sabang sampai Merauke, dzikir dan puji-pujian seperti ini ada di masjid-masjid dan musholla,” katanya. Ia mengajak para jamaah berdzikir. Ia pun memulai dan semua pun larut dalam dzikir.
“Astaghfirullah robbal baroya. Astaghfirullah minal khothoya. Robbi zidni ilman nafi’a. Wawafiqni amalan sholiha. Ya Allahu ya Muhammad ya Aba Bakar ya Shiddiq, ya Umar Usmanu Ali, Siti Fatimah binti Rosuli.”
Syair ini sekaligus merupakan penegasan bahwa ulama Nusantara berhadapan dengan Wahabi dan Syiah sekaligus.
Ia melanjutkan cerita, beberapa kali ia diundang bicara oleh kelompok Wahabi. "Mereka tidak berani dialog sendiri dengan Syiah, kita yang disuruh ngomong," katanya. Ia diminta menjelaskan kesalahan-kesalahan Syiah dan ia pun melakukanya. Syiah tidak hanya salah dalam berakidah, tetapi juga beribadah. “Syiah itu shalatnya tiga waktu dan shalat Jum’at tidak wajib. Jika shalat tangan mereka begini (tegap dan tidak bersedekap),” katanya. Tapi ia tidak tahan juga menjelaskan kesalahan-kesalahan Wahabi.
“Maka kita jangan ragu mengatakah Wahabi, itu bukan ahlussunnah wal jamaah, kenapa? Karena meskipun mereka mengambil hadits Bukhori dan Muslim, hadits yang dipilih hanya yang sesuai dengan kepentingannya. Mereka hanya mengambil hadits ‘Kullu bid’atin dholalah’. Hadits yang diambil cuma satu, yang lain tidak. Saya katakan anda bukan ahli hadits, tapi ahli hadats (ahli membid’ahkan, red),” katanya.
“Setelah dialog itu saya ditanya oleh seorang wartawan dari Wahabi. Kenapa anda menyerang Wahabi juga? Bukannya musuh kita Syiah? Saya menjawab, oh saya tidak menyerang. Saya hanya merespon. Mengapa saya tidak menyerang? Karena merespon saja sudah cukup. Saya tegaskan kepada wartawan itu, saya tidak menyerang Wahabi, karena serangan belum dimulai,” katanya. Para hadirin pun tertawa dan sepertinya semua paham apa maksud Ustadz Idrus Ramli. (A. Khoirul Anam)
No comments:
Post a Comment