KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Sunday 16 March 2014

PERINGATAN MAULID BID'AH


MAULID NABI DALAM PANDANGAN SYARIAT
Ketika datang bulan Rabi’ul Awwal mayoritas umat islam didunia merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kelahiran Nabi yang mulia, namun ada saja suara-suara yang tampaknya tidak senang dan alergi dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, mereka mempermaslahkan dan mempertanyakan hukum merayakan Maulid, bahkan lebih itu mereka menghukum sesat orang-orang yang merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sikap tidak senang dengan perayaan Maulid Nabi ini disuarakan di berbagai tingkat dan dengan berbagai ibarat. Ada yang menafikan adanya keistimewaan atau Fadhilah Maulid Nabi SAW dan membanding-bandingkannya dengan prioritas Nuzul Quran. Ada yang mengungkit-ungkit bahwa sambutan Maulid tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya (maksudnya Bid `ah yang sesat). Ada pula yang menyamakan perayaan Maulid dengan natalan yang dirayakan umat kristiani. Dan ada juga yang mempertanyakan cara dan metode perayaan Maulid.
Bagi orang-orang yang mengerti (ulama) dan mengenali suara-suara ini tidaklah terlalu terperanjat meskipun tetap menepuk dahi dan mengurut dada karena sedih dan kesal dengan kekeliruan dan kesalah pahaman serta sikap kedengkian yang ditonjolkan kepada umat islam yang tidak sepaham dengan mereka. Namun bagi orang-orang yang kurang mengerti dan memahami masalah merayakan Maulid mungkin sedikit-banyak akan ada kekeliruan dan timbul kesangsian terhadap perayaan Maulid. Apalagi jika statemen ini turut tercampuri dan terkotori sentimen politik kepartian.
Tidaklah terlalu besar isunya, jikalau yang diperdebatkan tentang Maulid ini adalah metode dan cara sambutannya. Prinsip-prinsip Islam dalam menentukan metode dan cara dalam sesuatu amalan Ibadah sudah diatur. Yang haram dan halal sudah jelas dalam Islam, sedangkan yang syubhat sepatutnya kita jauhi. Kita juga diajarkan harus bersikap lapang dada dalam persoalan yang statusnya masih khilafiyah. Kita juga dilarang mempertanyakan niat orang lain serta harus berprasangka baik sesama Islam.
Sayangnya, sebagian mereka yang alergi dengan perayaan Maulid ini juga mempertanyakan prinsip dan hukum Maulid serta dalil-dalil yang menganjurkannya dari sisi Islam. Ini adalah soal yang lebih besar dan mendasar. Deformasi (Pengubahan bentuk dari yang baik menjadi buruk) dalam hal ini dapat melibatkan soal-soal besar termasuk menyakiti Nabi SAW, tidak beradab dengan Baginda SAW, menentang syiar Islam, menyesatkan para ulama dan umat Islam, memecahkan kesatuan umat dan sejenisnya. Tak heran seorang tokoh ulama Yaman, al-Allamah Abu Abdullah `Alawi al-Yamani juga menetapkan bab khusus tentang persoalan Maulid dalam kitabnya yang berjudul Intabih Diinuka fi Khotrin (Awas, Agamu Dalam Bahaya!). Memang, jika tidak berhati-hati, kata-kata dan perbuatan kita dalam bab Maulid ini sebenarnya dapat membahayakan dan mengancam agama kita.
Dalam bab ini kita akan mencoba untuk memperjelas hukum perayaan maulid dan menjawab syubhat anti Maulid dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits juga disertai pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
  1. B.     KERANGKA PEMIKIRAN ORANG YANG MENOLAK MAULID
Jika diteliti, ada beberapa kerangka paham agama tertentu yang dipegangi oleh mereka yang alergi dengan perayaan Maulid yang akhirnya menyebabkan mereka bersikap begitu. Kerangka pemaham agama yang dangkal akan menyebabkan mereka turut mempermasalahkan dan berbeda sikap dengan mayoritas umat dalam soal-soal tertentu seperti fiqh bermazhab, tasawuf, dan beberapa perkara yang bersifat khilafiyyah. Kita dapat menyimpulkan kerangka pemahaman agama mereka ini ke dalam beberapa paham utama:
 Pertama: Pemaham mereka yang ganjil terhadap konsep Bid’ah. Mereka tidak mau menerima pandangan ulama-ulama muktabar yang membagi Bid `ah kepada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah. Bagi mereka semua Bid’ah dalam hal agama adalah sesat. Mereka keras berpegang dengan penafsiran literal dan sempit ke hadis yang berhubungan persoalan Bid’ah ini.
Kedua: mereka terlalu menekankan sikap Ittiba (mematuhi) dalam sikap mereka terhadap Nabi SAW dan Sunnahnya. Selanjutnya, baik secara langsung atau tidak mereka ini sering mempertentangkan Ittiba’ dengan sikap-sikap lain yang kita lakukan terhadap Nabi seperti Hubb (mencintai Nabi) Ta’dzim(mengagungkan Nabi), Tasyaffu’(memohon syafaat Nabi ),Tabarruk (mengambil berkat dari Nabi), Tawassul (Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama Nabi) dan sejenisnya.
   Ketiga: mereka berpegang dan bertaklid kuat dengan paham dan penafsiran beberapa tokoh ulama khalaf tertentu seperti Syaikh Muhammad Abdul Wahab, Syaikh Nashirudin Al-Bany, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Utsaimin Syaikh Shalih Fauzan dan tokoh ulama wahabi lainnya yang akhirnya diolah dan terolah menjadi suatu aliran terasing dari arus mayoritas Umat Islam. Berbekal dari paham-paham ulama diatas aliran ini yang telah mereka angkat ke tingkat doktrin dan memang disebarkan secara indoktrinasi (secara diskusi sebelah pihak dan tidak adil atau objektif), mereka ini rata-rata bersikap lebih pesimis dan cenderung mempertanyakan interpretasi para ulama lain selain beberapa ulama yang menjadi ikutan mereka.
Jika direnungi paham-paham dasar mereka ini maka tidak heran mereka ini cenderung menolak Maulid. Sebaliknya, mereka yang mendukung Maulid tidak perlu mengambil pandangan ini karena dasar-dasar fahamannya ternyata berbeda dengan arus mayoritas Umat Islam didunia. Dalam pandangan ulama ahlussunnah wal jama’ah perayaan Maulid adalah paling tidak termasuk kedalam Bid’ah Hassanah. Malah ada pandangan yang menyatakan bahwa ia termasuk sunnah yang dimulai oleh Nabi SAW sendiri berdasarkan hadist yang menyebut bahwa kelahirannya pada hari Senin menjadi salah satu dasar Beliau SAW berpuasa sunat pada hari-hari tersebut, “ Itu adalah hari aku dilahirkan dan itu adalah hari aku menerima wahyu kenabian”(Syarah Sohih Muslim, Imam Nawawi Jld 8 H: 235)
Mayoritas umat juga tidak melihat konsep Ittiba’, Hubb, Ta’dzim, Tasyaffu, Tabarruk dan Tawassul sebagai konsep-konsep yang bertentangan satu sama lainnya. Malah semuanya adalah bagian dan sejalan dengan kebijakan dan mentaati Nabi SAW, karena konsep-konsep ini tidaklah dilarang oleh agama atau bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.
Menurut dasar pemaham mereka yang ketiga, mayoritas Umat Islam telah mewarisi khazanah pemaham agama yang meliputi tiga cabang utamanya  yaitu Aqidah / Tauhid, Shariah / Fiqh dan Akhlak / Tasawwuf dari generasi demi generasi ulama-ulama pilihan dalam suatu kerangka yang dikemas dan sistematis. Para pembesar ulama Umat dalam kerangka ini rata-ratanya tidak menolak dan mendukung perayaan Maulid sehingga dapat dianggap ada sebuah Ijma `Sukuti (ijma` senyap) dalam menyambut perayaan Maulid Nabi setelah ia dimulai dan dirayakan secara besar-besaran.
  1. C.      PANDANGAN SYARI’AT TENTANG PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.
            Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sebagian kalangan yang berpaham Wahabi dan Salafi memiliki mulut usil karena sering mempermasalahkan kebiasaan masyarakat Islam di mana saja, menyangkut: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., ziarah kubur, qunut shubuh, tahlilan, ratiban, menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, do’a berjama’ah, zikir keras berjama’ah, bersalaman sesudah shalat, tawassul, dan lain sebagainya. Hal itu mereka lakukan dalam rangka menyebarkan pengaruh dan paham di masyarakat yang mereka sering anggap “tersesat” atau “musyrik” dengan sebab melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
            Kelompok Wahabi dan Salafi secara tegas dan keras  melarang perayaan Maulid Nabi dengan alasan ia termasuk “Bid’ah Dhalalah” yang tidak ada perintahnya dalam agama. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Syariat tentangnya?
            Perkara ini sebenarnya sudah diselasaikan oleh para ulama dan mereka membolehkannya semenjak dahulu. Perayaan Maulid ini sejak dahulu sudah disambut oleh umat Islam diseluruh dunia seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya . Apakah kalian menganggap bahwa seluruh ulama di dunia sejak  dahulu sampai sekarang dikatakan sesat karena mereka telah membiarkan umat Islam merayakan Maulid Nabi? dan apakah kalian juga menganggap sesat kepada Imam As-Syafi’I yang telah membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah? tentunya hal ini tidak bisa diterima oleh akal yang sehat.
            Kelahiran Nabi Muhammad adalah rahmat terbesar yang dikaruniakan Allah SWT kepada uamat manusia dan seluruh alam semesta. Rahmat ini ada dalam aqidah, mu’amalah, akhlaq bahkan dalam seluruh aspek kehidupan. Rahmat ini tidak hanya terbatas untuk manusia di zaman Baginda Nabi, tetapi membentang luas sepanjang sejarah seluruh manusia. Allah SWT berfirman:
وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Maknanya: “dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS.A-Jumu’ah)
Didalam ayat lain Allah berfirman:
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللهِ
…”dan ingatkatlah mereka kepada hari-hari Allah”.(QS.Ibrahim:5)
Tidak diragukan lagi bahwa kelahiran Baginda Nabi SAW termasuk didalam hari-hari Allah, karena yang dimaksud dengan “hari-hari Allah” ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami mereka.
Merayakan peringatan maulid Nabi SAW merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara pendekatan diri kepada Tuhan. Kerena keseluruhan peringatan tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan kecintaan kepada beliau . Dan cinta kepada Nabi merupakan salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Dalam Sebuah hadits shahih  yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِن وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
 Maknanya:”Demi dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua dan anaknya dan manusi seluruhnya” (HR.Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi termasuk prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah yang menyandingkan keduanya dan mengancam siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah berfirman:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Maknanya: “Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS.At-Taubah:24)
Dalil-dalil diatas menyimpulkan bahwa mencintai Nabi SAW merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Dan tentunya masih banyak sekali dalil-dalil lain yang senada, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi SAW, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang muslim tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang Muslim tidak cukup hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi SAW saja, akan tetapi dituntut untuk mengedapankan kecintanya  kepada Nabi SAW tentunya setelah kecintaan kepada Allah SWT atas kecintaan dia kepada dirinya senderi, orang tua, anak dan seluruh manusia serta harta bendanya.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi yang diutus Allah SWT, dengan membaca sebagain ayat-ayat Al-Qur’an dan menyebutkan sifat-sifat Nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyiah yang dicela oleh syara’.
Perlu diketahui bahwa menghalalkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas para Imam mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad radiallahu anhum serta semua ulama as-Salafushalih. Dengan demikian maka tidak semua orang yang telah menulis sebuah kitab kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam Mujtahid dari kalangan ulama as-Salafus ash-shalih tersebut, sehingga berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk perkataan Imam Mujtahid dari kalangan Salaf dan Khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka.Maka barang siapa yang mengharamkan menyebut nama (berdzikir)Allah azza wa jalla dan menalaah sifat-sifat nabi pada peringatan hari lahirnya dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah melakukannya. 
Kita katakan kepada mereka: Apakah kalian juga mengharamkan mihrab-mihrab (tempat imam) yang ada disebuah masjid atau mushola dan menganggap mihrab tersebut termasuk bid’ah dholalah ?. Apakah kalian juga mengharamkan kondifikasi al-Qur’an dalam satu mushaf serta pemberian tanda titik dalam al-Qur’an dengan alasan Nabi tidak pernah melakukannya ?. kalau kalian mengharamkan itu semua berarti kalian telah mempersempit keluasan yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi padahal Rasulullah SAW telah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ  (رواه مسلم في صحيحه)
Maknanya: “Barang siapa yang memulai (merintis)  dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya)
            Sahabat Umar ibn Al-Khathab setelah mengumpulkan para sahabat dalam Shalat tarawih dengan bermakmum kepada satu imam mengatakan:
نعمت البدعة هذه (رواه الإمام البخاري في صحيحه)
Makananya:“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini“.(HR.Imam Bukhari dalam Shahih-nya)
Dari sinilah Imam Syafi’I radiallahu anhu menyimpulkan:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)
Maknanya:“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’I j,1.h469)
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
Maknanya:“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. 
Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-’Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya. Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. 
Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami atasnya ” mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”. 
Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit? Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadist tersebut mengenai“amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami” juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid Nabi, ziarah qubur, tahlilan dan lain-lainnya yang sering mereka permasalhkan, tanpa adanya dalil yang menyebutkannya secara khusus. 
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara ” yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadist  Rasulullah Saw. “Biarkan atautinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai “rahmat” dari Allah.
AL-Imam Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin (1/248) menegaskan:”Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a. 
Adapun bid’ah yang sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid’ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid’ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid’ah terjadi di semua sendi kehidupan. 
Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid’ah terjadi dalam masalah ibadah, mu’amalah (perniagaan) dan bahkan akhlaq. Contohnya seperti adzan dua kali waktu sholat Jum’at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat, membaca al-Quran dengan suara keras atau memutar kaset Qur’an sebelum sholat Jum’at, muadzin membaca sholawat dengan suara keras sebelum adzan, melantunkan azan pada mayyit sebelum di kuburkan, bersalaman setelah sholat, membaca “sayyidina” pada saat tahiyat. 
Sebagian ulama menganggap itu semua bid’ah karena tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan umum agama Islam.
Al-Imam as-Syaikh Abu Syamah salah satu guru al-Imam as-Syaikh Nawawi berpendapat:
وَمِنْ أَحْسَنِ مَا ابْتَدَعَ فِي زَمَانِنَا مَا يَفْعَلُ كُلَّ عَامٍ فِي الْيَوْمِ الْمُوَافِقِ لِيَوْمِ مَوْلِدِهِ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَالْمَعْرُوفِ وَإِظْهَارِ الزِّينَةِ وَالسُّرُورِ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَ مَا فِيهِ مِنَ اْلإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ مَشْعَرٌ بِمَحَبَّتِهِ وَتَعْظِيمِهِ فِي قَلْبِ فَاعِلٍ ذَلِكَ وَشُكْرًا لِلهِ عَلَى مَا مِن بِهِ مِنْ إِيجَادِ رَسُولِهِ الَّذِي أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Maknanya:…”dan sebagus-bagusnya apa yang diada-adakan pada masa sekarang ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam”.(Lihat Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syaikh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon)
            Sebagai umat Rasulullah Saw, kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita. Rahmat dan karunia yang terbesar yang diberikan Allah kepada kita ialah adanya kelahiran Nabi Muhammad Saw.
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Maknanya:“Katakanlah.‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Yunus:58).
Imam Abu Hayyan al Andalusi Rahimuhullah berkata:
الفضل العلم والرحمة محمد صلى الله عليه وسلم
Maknanya: “Karunia Allah adalah ilmu dan Rahmat Allah adalah Nabi Muhammad SAW”. (lihat dalam Al-Bahr Al-Muhith 5:171,oleh Imam Abu Hayyan)
Al-Imam Imam As-Suyuti meriwayatkan:
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال:فضل الله العلم، ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم
Maknanya: “Abu As-Syeikh  telah meriwayatkan daripada Sayyidina Ibn Abbas r.a. tentang tafsiran ayat ini: “Karunia Allah adalah Ilmu dan Rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam. ( Lihat Ad-Durr Al-Manthsur 4:330 oleh Imam As-Suyuti, lihat juga Ibn Jawzi Z’ad al Maseer fi Ilm at Tafsir, 4:40 )
Penafsiran ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَمَا أرْسَلنَاكَ إلا رَحْمَةً لِلعَالمِين
Maknanya: “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”(QS.Al-Anbiya,107)
            Al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawa. Beliau memberikan pendapat tentang hukum perayaan Maulid Nabi Saw, sebagai berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
            Maknanya: ”Menurutku pada dasarnya peringatan Maulid, berupa kumpulan orang-orang berisi bacaan ayat al-Qur’an meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah SAW dan tanda-tanda yang mengiring kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambaha-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan mendapat pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah SAW dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan Maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al- Muzhaffar Abu Said Kaukabri Ibn Zaenudin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik dan dialah yang membangun al-Jami’al al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.( Lihat Al- Hawi li al-Fatawa 1/251-252. Lihat juga Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid di dalam Rasa’il Hammah wa Mabahith Qayyimah,h.194)
Beliau juga berkata:
وَيُسْتَحَبُّ لَنَا إِظْهَارُ الشُّكْرِ بِمَوْلِدِهِ وَاْلإِجْتِمَاعُ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِن وُجُوهِ الْقُرُبَاتِ وَإِظْهَارِ الْمُسَرَّاتِ.
Maknanya: “Dan disunahkan untuk kita mendzahirkan (menampakan) rasa syukur kepada Allah dengan sebab kelahiran Baginda Nabi Saw, berkumpul dan membiri makan dan yang seperti itu dari cara-cara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan menampakan kebahagian.” (Al-Hawi li Al-Fatawa, 1/196)
Selanjutnya Sang penutup para Hafizh, Al-Imam as-Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi, di dalam kitabnya ”Husnul Maqshid fi Amalil Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi Saw dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepada tentang kegiatan maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? 
Beliau berkata, ”Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid (yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak, membaca Al Qur’an, menyapaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain) adalah termasuk bid’aah hasanah (bid’ah yang baik) dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. 
Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”
Al-Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, ”Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah,” dengan mengatakan, ”Ketidak tahuan terhadap sesuatu tidak lalu berarti tidak adanya sesuatu itu”. Beliau juga menjelaskan bahwa para Imam Hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqalani telah menjelaskan dasar hukum merayakan maulid dari Sunnah. 
Imam Syuyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syari’at. Adapun jika ada hubungannya yang kuat dengan dalil syari’at yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.
Al-Imam Suyuthi berkata. ”Kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa awal-awal Islam. 
Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid Nabi Saw termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sulthannya para ulama, as-Syaikh Izzuddin bin Abdissalam.”( Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid dan lihat juga di dalam Rasa’il Hammah wa Mabahith Qayyimah,hal 199 – 200)
Di dalam kitab yang sama, al-Imam as-Suyuthi mengatakan: “Dan berkata al-Hafizh Syams ad-Din bin Nasiruddin ad-Dimsyaqi (833.H) di dalam kitabnya yang berjudul Maurid ash-Shadi fi Maulid al-Hadi: “Telah Sahih riwayat yang mengatakan Abu Lahab diringankan dari adzab neraka pada setiap hari senin karena telah memerdekakan hamba sahayanya yang bernama Thuwaibah karena gembira dengan adanya berita dari hambanya itu tentang kelahiran anak saudaranya Rasulullah Saw.
Kemudian al-Hafizh Syams ad-Din bin Nasiruddin ad-Dimsyaqi bersyair:
إِذَا كَانَ هَذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْحَجِيمِ مُخَلَّدً
أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ دَائِمًا يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَ
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي طُولَ عُمْرُهُ بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدًا
Maknanya: “Jika ada orang kafir ini (Abu Lahab) yang telah ada celaan padanya, dan binasa kedua belah tangannya serta kekal di dalam neraka jahim”.
“Namun datang keistimewaan kepadanya setiap hari senin senantiasa diringankan adzab darinya, karena kegembiraannya dengan kelahiran Rasul yang mulia”.
“Maka bagaimana pendapatmu tentang pahala bagi seorang hamba yang sepanjang usianya senantiasa bergembira dengan kelahiran Ahmad Saw, dan mati dalam tauhid yang sempurna”.
Mafhumnya, jika Abu Lahab saja yang notabene  orang kafir ia mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari seni tiba). 
Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun.Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?
(Kisah ini diriwayatkan di dalam Shahih Al-Bukhari, Bab Nikah, dinukilkan oleh Ibn Hajar di dalam kitabnya Fath al-Bari, diriwayatkan oleh Imam Abdur Razak ash-Shan’ani di dalam kitabnya Al-Mushannaf (7/478), Al-Hafiz Al-Baihaqi di dalam kitabnya Ad-Dala’il, Ibn Kathir di dalam kitabnya, Al-Bidayah, bab As-Sirah an-Nabawiyyah (1/224), Ibn Ad-Daiba asy-Syaibani di dalam kitabnya Hada’iq al-Anwar (1/134), Imam Hafiz al-Baghawi di dalam kitabnya Syarh Sunnah (9/76), Ibn Hisyam dan As-Suhaili di dalam Ar-Raudh al-Unuf (5/192), Al-Amiri di dalam kitabnya Bahjah al-Mahafil (1/41) dan lain-lain)
Imam Al-Baihaqi berkata, walaupun hadits ini hadits Mursal, tetapi ia boleh diterima karena hadits ini telah dinaqalkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitabnya. Para ulama’ yang telah disebutkan diatas, juga sependapat menerima hadith ini karena perkara itu terdiri dari bab manaqib dan khasha’is (keistimewaan), Fadha’il (kelebihan) dan bukannya perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Para penuntut ilmu agama tentu mengetahui perbedaan istidlal (pengambilan dalil) dengan hadits pada bab manaqib atau ahkam.
            Syaikh Ibnu Taimiah. Orang yang selalu mengharamkan Maulid Nabi SAW ini dalam banyak hal mereka merujuk kepada pendapat Syaikh Ibn Taimiyyah, sedangkan beliau sendiri mengatakan di dalam kitabnya Al-Iqtida’ ash-Shirath al-Mustaqim sebagai berikut:
فَتَعْظِيمُ الْمَوْلِدِ وَاِتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُونُ لَهُمْ فِيهِ أَجْرٌ عَظِيمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِمْ وَتَعْظِيمِهِمْ لِرَسُولِ اللهِ
            Makananya: “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW”. (Lihat Al-Iqtida’ ash-Shirath al-Mustaqim Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 297 dan Fatawa, 23/134)
                Di dalam kitab Manhaj as-Salaf disebutkan:
يَقُولُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: قَدْ يُثَابُ بَعْضُ النَّاسِ عَلَى فِعْلِ الْمَوْلِدِ وَكَذَلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْضُ النَّاسِ إِمَّا مُضَاهَاةً لِلنَّصَارَى فِي مِيلاَدِ عِيسَى عليه السلام. وَأَمَّا مَحَبَّةً لِلنَّبِي وَتَعْظِيمًا لَهُ، وَاللهُ قَدْ يُثِيبُهُمْ عَلَى هَذِهِ الْمَحَبَّةِ وَاْلإِجْتِهَادِ لاَ عَلَى الْبِدَعِ.
            Maknanya: “Ibnu Taimiah berkata: Boleh jadi sebahagian orang-orang yang memperingati Maulid Nabi diberi pahala. Begitu juga sesuatu yang baru yang diusahakan sebahagian oranng yang menyerupai Nashrani dalam menyambut kelahiran Nabi Isa alaihissalam. Dan adapun kecintaan terhadap Nabi dan mengagungkannya, semoga Allah memberi pahala kepada mereka atas perasaan cinta dan ijtihad ini, yang bukan (didasarkan) di atas sesuatu yang bid’ah.” (Lihat Manhaj as-Salaf, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, h. 224-226)
            As- Syaikh al-Islam Khatimah al- Huffazh amir al-Muminin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah, (773 H – 852H), yang telah mensyarah kitab monumental Imam Bukhari (Shahih Bukhari), dan beliau beri nama dengan kitabnya tersebut dengan nama “Fathul Bari ‘alaa Shahih Bukhari. Beliau menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً” وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ
            Maknanya: ”Asal peringatan adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum salaf as-Shalih yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawanya (hal-hal yang buruk), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya, maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatkan: “ Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih).
Al-Imam al-Hafizd as-Syaikh as-Sakhawi (831 H-902 H) seperti disebutkan dalam  kitab al-Ajwibah al-Mardhiyyah beliau berkata:               
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ
            Maknanya: “Peringatan Maulid belum pernah dilakukan oleh seorangpun dari kaum salaf as-shaleh yang hidup pada pada abad tiga pertama yang mulia melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan umat Islam di seluruh daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah SAW. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakan kegembiraan dan suka cita. 
Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku Maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10, dan masih ada pendapat-pendapat lain. 
Oleh karena itu tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya”.(lihat juga Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon ; kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy)
Al-Imam as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami (W.974 H)  dalam al-Fatawa al-Kubra. Beliau menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُونِ الثَّلاَثَةِ، وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا فَمَن تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً، وَإِلاَّ فَلاَ، وَقَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلىَ ثَابِتٍ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبيَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءِ، فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا: هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلّهِ تَعَالَى، فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ الشُّكْرُ لِلّهِ عَلَى مَا مِن بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِن كُلِّ سَنَةٍ، وَالشُّكْرُ لِلّهِ يَحْصُلُ بِأَنوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلاَوَةِ، وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَعَلَى هَذَا فَيَنبَغِي أَن يَقْتَصِرَ فِيهِ عَلَى مَا يُفْهَمُ الشُّكْرُ لِلّهِ تَعَالَى مِنَ التِّلاَوَةِ وَاْلإِطْعَامِ وَإِنشَادِ الشَّيْءِ مِنَ الْمَدَائِحَ النَّبَوِيَّةِ الْمُحَرَّكَةِ لِلْقُلُوبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ، وَأَمَّا مَا يَتَّبعُ ذَلِكَ مِنَ السِّمَاعِ وَاللَّهْوِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَيَنبَغِي أَن يُقَالَ: مَا كَانَ مِن ذَلِكَ مُبَاحًا بِحَيْثُ يَقْتَضِي السُّرُورُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ لاَ بَأْسَ بِإلْحَاقِهِ بِهِ، وَمَا كَانَ حَرَامًا أَوْ مَكْرُوهًا فَيُمْنَعُ، وَكَذَا مَا كَانَ خِلاَفَ اْلأَوْلَى
            Maknanya: “Asal amalan menyambut Maulid adalah perkara bid’ah  yang belum pernah dinukil dari kaum salaf as-Shalih yang hidup pada tiga abad pertama. Akan tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawanya (hal-hal yang buruk), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya, maka itu adalah bid’ah hasanah”. Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit didalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,. 
Bahwasanya Nabi SAW datang ke Madinah beliau mendapati orang-orang yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura’(10 Muharram). Kemudian Nabi bertanya kepada mereka tentang perkara tersebut. Mereka menjawab Ia adalah hari dimana Allah menenggelamkan fir’aun dan menyelamatkan Nabi Musa a.s. Kemudian kami berpuasa pada hari ini sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. 
Maka diambil faidah dari perkara ini adalah bersyukur kepada Allah yang dilakukan pada hari tertentu karena mensyukuri nikmat atau karena tertolaknya bencana. Dan mengulangi perkara tersebut pada setiap tahunnya. Dan bersyukur kepada Allah boleh dilakukan dengan berbagai macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, membaca Al-Qur’an. Dan adakah nikmat yang paling agung selain nikmat dilahirkannya Nabi SAW?. Nabi yang membawa rahmat didalam kelahirannya itu ? Dan atas dasar inilah sudah sewajarnya untuk memfokuskan pada hari itu pada apa yang dipahami.
(Maksudnya perkara yang mampu dilakukan) bersyukur kepada Allah dengan membaca Al-Qur’an. memberi makan, melantunkan pujian-pujian kepada Nabi SAW yang bisa menggerakan hati untuk berbuat kebaikan dan beramal untuk akhirat. 
Dan Adapun mendengarkan perkara yang di ikut sertakan untuk melantunkan pujian-pujian dan perkara sia-sia lainnya maka sewajarnya dikatan: Apa-apa perkara yang di hukumi mubah yang sekiranya sesuai dengan kegimbiraan di hari itu, maka tidak mengapa karena keterikatannya dengan hari Maulid. Dan apa-apa yang diharamkan atau dimakruhkan, maka ia dilarang dan demikian juga perkara yang menyalahi keutamaan. (Lihat al-Fatawa al-Kubra j.1,h.196)
Di dalam kitab Al-Madkhal disebutkan
فَكَانَ يَجِبُ أَن نَزْدَادَ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ فِي رَبِيعِ اْلأَوَّلِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْخَيْرِ شُكْرًا لِلْمَوْلَى عَلَى مَا أولاَنَا مِنْ هَذِهِ النِّعَمِ الْعَظِيمَةِ وَأَعْظَمُهَا مِيلاَدُ الْمُصْطَفَى
“Maka wajib kepada kita hendaknya meningkatkan ibadah-ibadah dan kebaikan pada setiap hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal sebagai tanda syukur kepada Allah Swt atas karunia nikmat yang besar  yang  telah Allah berikan kepada kita. Dan sebesar-besarnya nikmat itu adalah kelahirannya al-Musthafa Muhammad Saw”.
wassalam

No comments: