Paris, NU Online
Bersama-sama Réseau Indonésie dan asosiasi Prancis-Indonesia dari unsur mahasiswa, tenaga kerja Indonesia, ekspatriat, dan LSM internasional (PPI Prancis, Pasar Malam, Srikandi, dan Comité Catholique contre la Faim et le Développement/CCFD), PCI Nahdlatul Ulama Prancis menggelar diskusi seputar Pemilu 2014, di kantor CCFD, 4 rue Jean Lantier, Paris, Senin (24/3) waktu setempat.
Dihadiri oleh kurang lebih 40 peserta dari warga Indonesia dan warga Prancis, diskusi bertajuk “Lesehan Demokrasi: Indonesia di Ambang Pemilu 2014” itu menghadirkan 6 pembicara dari berbagai latar belakang. PCI NU Prancis diundang untuk memberikan pandangan mengenai prospek partai-partai Islam dalam Pemilu.
Menurut ketua panitia Mulyandari Alisyah (Réseau Indonésie) dalam sambutannya, diskusi ini bertujuan untuk menggugah kesadaran warga Indonesia yang bermukim di Prancis untuk peduli dengan dinamika di dalam negeri. Selain itu, juga untuk membuka mata dunia internasional, khususnya publik Prancis, mengenai perpolitikan Indonesia. Bertindak selaku moderator, Muhammad Al-Fayyadl, salah satu anggota Réseau Indonésie. Diskusi ini, menurutnya, dilatari oleh pertanyaan sejauh mana Pemilu 2014 dapat menjadi tolok ukur keberhasilan demokratisasi yang diamanatkan oleh Reformasi.
Pembicara pertama, Dr. Arifi Saiman (Koordinator Fungsi Politik KBRI Prancis), membawakan presentasi mengenai “Apa dan Bagaimana Pemilu 2014 ?”. Dalam paparannya Pak Arifi, demikian panggilan akrabnya, menjelaskan secara global pelaksanaan teknis Pemilu legislatif dan Pilpres, baik di Indonesia maupun luar negeri. Menurutnya Pemilu kali ini masih tergolong mahal (high-cost politics) karena membutuhkan biaya besar untuk logistik, promosi, konsumsi dan kampanye. Seiring dengan kemajuan teknologi dengan diperkenalkannya e-voting, sedapat mungkin ke depan Pemilu akan lebih efisien, murah, dan efektif, dan dengan demikian, citra demokrasi mahal dapat gugur dan praktik berdemokrasi di Indonesia akan lebih baik.
Pembicara kedua, Ayub Mursalin, M.Ag (PCI NU Prancis) mendiskusikan mengenai peluang dan tantangan partai-partai Islam pada 2014. Ustadz Ayub, yang juga mahasiswa doktoral di sebuah universitas di Paris, mengajukan kriteria metodologis untuk membaca fenomena partai Islam dari Pemilu ke Pemilu. Dia membedakan antara “partai agama” dan “partai nasionalis”. Kriteria “partai agama” adalah menggunakan nama dan simbol agama, agama sebagai asas ideologi, didirikan oleh tokoh agama, memiliki basis massa ormas atau penganut agama. Sedangkan “partai nasionalis” adalah partai yang hanya memiliki kriteria terakhir, yaitu basis massa ormas atau penganut agama. Dari kriteria tersebut panelis mencoba mempertanyakan “kekhasan” partai Islam dibandingkan partai non-agama, dan menyimpulkan bahwa faktor “agama” dalam Pemilu tidak terlalu signifikan dalam menarik suara.
Dari pengamatan terhadap Pemilu dari tahun 1999 sampai 2009, perolehan partai-partai Islam cenderung menurun. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah pada Pemilu 2014, partai-partai Islam dapat meraih suara sebagaimana diharapkan dan apakah faktor “agama” masih menjadi hal yang penting dalam iklim kepartaian ke depan.
Sementara itu, pembicara ketiga, TW Agung (The First Institute) menyoroti pragmatisme politik dalam perpolitikan Indonesia hari ini. Orientasi partai politik yang pragmatis, cenderung mengejar hasil instan, terlihat dari kaderisasi parpol yang “abal-abal” dan munculnya caleg-caleg tanpa visi-misi yang jelas.
Pengamatan menarik dilontarkan oleh François Raillon, Indonesianis dari École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Paris. Menurut Raillon, transisi demokrasi belum selesai, karena elite-elite Orde Baru masih berkuasa. Untuk melahirkan demokrasi yang lebih substansial, Indonesia memerlukan kepemimpinan baru yang lebih segar dan tidak “tersandera” pola kepemimpinan lama yang oligarkis, patron-client, feodalistis, dan cenderung korup.
Dalam catatannya mengenai kepemimpinan SBY selama 10 tahun terakhir, Raillon mencatat bahwa yang absen adalah oposisi. “Padahal, demokrasi butuh oposisi”, katanya. Kepemimpinan SBY yang cenderung mencari konsensus, menurutnya, berbeda dengan periode pertama kepemimpinan pasca-Reformasi di bawah BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati yang melahirkan terobosan demokratisasi yang cukup luar biasa (kebebasan pers, penghapusan Dwifungsi ABRI, hak minoritas, kembali ke Pancasila). Raillon menyebutkan bahwa yang masih kuat saat ini adalah politik ketokohan, alih-alih politik programatis yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Sementara itu, Aboeprijadi Santoso, wartawan senior yang bermukim di Belanda, mengulas sepak-terjang militer dalam Pemilu 2014. Menurutnya, penghapusan Dwifungsi ABRI belum cukup, karena tentara membangun jejaring dan bisnis yang tetap berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia.
Jejaring tersebut, ia sinyalir, berkembang melalui masuknya elite militer ke dalam parpol. Pasca-1998, parpol yang dituju adalah Golkar, dan pasca-2000 meninggalkan Golkar untuk membuat parpol sendiri. Persebaran elite militer di perpolitikan daerah juga masih kuat, dengan naiknya tokoh militer menjabat bupati dan gubernur.
Tiga faktor penting dari eksistensi militer di perpolitikan Indonesia saat ini, menurutnya, adalah “popularitas, mesin partai, dan kapital”. Karenanya, elite militer yang mampu menguasai ketiga-tiganya dipastikan akan berkuasa. Aboeprijadi memetakan tiga kemungkinan aliansi militer dan sipil dalam Pemilu 2014, yaitu Blok PDIP-Nasdem [Jokowi/Surya Paloh] dan militer; Blok Gerindra & PD, PAN, PKB, (& PPP?): Prabowo, Pramono Edhie, Soenarko, Moeldoko, (Hatta]; Blok Golkar & Hanura, PKS: [Bakrie, JK?], Wiranto, [Henry Tanoe]. Walaupun demikian, menurutnya, warisan pelanggaran HAM tokoh militer yang akan maju dalam Pemilu 2014 akan menjadi masalah tersendiri.
Panelis terakhir, Warsito Elwein, seorang pengamat politik yang bermukim di Jerman, mengulas partisipasi rakyat dalam Pemilu. Dari keterlibatannya sebagai tim sukses seorang gubernur di Jawa Tengah, Warsito menangkap optimisme meningkatnya “pemilih rasional”, yaitu pemilih yang mendasarkan pilihannya pada visi dan misi caleg yang dipilih. Walaupun demikian, kecenderungan umum di Indonesia, partisipasi rakyat dalam Pemilu cenderung menurun. Hal ini disebabkan banyaknya pemberitaan negatif mengenai pejabat publik, serta belum dirasakannya perbaikan hidup oleh pejabat publik terpilih sebagaimana dijanjikan dalam kampanye.
Diskusi ditutup dengan sesi-tanya jawab dan sajian hidangan makanan Indonesia. Ditanyai komentar mengenai diskusi itu, seorang hadirin antusias menganggap diskusi seperti ini penting dilakukan lagi di waktu-waktu mendatang. (Red: Abdullah Alawi)
No comments:
Post a Comment