KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday, 19 March 2014

KOTBAH JUM'AT 2 : TENTANG KESABARAN


Oleh : Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

الحَمْدُ الَّذِيْ أَكْمَلَ لَنَا الدِّيْنَ، وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النِّعْمَةَ، وَرَضِيَ لَنَا اْلإِسْلاَمَ دِيْناً، أَحْمَدُهُ تَعَالَى وَأَشْكُرُهُ أَنْ هَدَانَا لِلإِْسْلاَمِ. وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ جَعَلَ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً وَأَمْناً وَسَعَادَةً وَنَجَاةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِمَامُ اْلمُرْسَلِيْنَ وَخَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاشْكُرُوْهُ فَلَقَدْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, Rabb semesta alam atas seluruh kebaikan- Nya. Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Subhanahu wata’ala semata. Saya bersaksi pula bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, serta kaum muslimin yang mengikuti petunjuknya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Marilah kita bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan senantiasa bersyukur atas seluruh nikmat-Nya. Bagaimana kita tidak bersyukur, sedangkan nikmat Allah Subhanahu wata’ala selalu kita rasakan setiap saat? Bagaimana pula kita tidak bersyukur, dalam keadaan Allah Subhanahu wata’alatelah memuliakan kita dengan mengaruniakan nikmat yang paling besar, yaitu nikmat Islam? Nikmat yang akan terus dirasakan kebaikannya oleh orang yang memilikinya, di dunia hingga di akhirat nanti. Adapun nikmat dunia lainnya, tetap harus kita syukuri dan digunakan untuk beramal saleh. Nikmat dunia sangatlah sedikit dan sangat sebentar dibandingkan dengan apa yang Allah Subhanahu wata’ala telah siapkan dari nikmat di akhirat.
Oleh karena itu, apalah artinya kalau seseorang tidak mendapatkan nikmat Islam, meskipun mendapatkan nikma dunia yang berlimpah. Marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’aladan senantiasa memahami betapa besarnya nikmat Islam ini. Marilah kita wujudkan syukur ini dengan bersungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkannya, serta menampakkan dan mendakwahkannya.
Sebab, Islam sebagaimana namanya mengandung arti tunduk dan patuh, sehingga menuntut pemeluknya untuk siap menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Semua itu dilakukan karena iman yang tertanam dalam hati, bukan karena mengharapkan sanjungan atau pujian dari manusia.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Besarnya nikmat Islam dan mulianya agama ini, jika tidak disyukuri dan tidak dimuliakan sebagaimana ketinggiannya, bisa menjadi sebab hilangnya nikmat tersebut pada seseoran g — w a l ‘iyadzubillah—dan kemudian Allah Subhanahu wata’ala akan mendatangkan generasi yang benar-benar mensyukuri nikmat Islam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُم
“Dan jika kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kalian ini.” (Muhammad: 38)
Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang telah dikaruniai nikmat yang paling besar ini untuk bersabar dan senantiasa memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala, agar bisa istiqamah di atas agama yang mulia ini. Bersabar di atas jalan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan. Adapun seseorang yang berpaling dan tidak mensyukuri nikmat agama Islam, kerugiannya akan dirasakan oleh dirinya sendiri. Agama ini akan terus dijaga oleh Allah Subhanahu wata’ala. Akan terus ada orang-orang yang mendapatkan pertolongan-Nya karena kesabaran mereka di atas agama Allah Subhanahu wata’ala.
Hadirin rahimakumullah,
Seseorang yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat tentu akan mengikuti agama ini dengan sebenar-benarnya. Seseorang yang memahami bahwa kebahagiaan dan kebaikan adalah dengan mengikuti agama ini, tentu akan berupaya mengikuti petunjuk Rasulullah n. Seorang muslim yang hakiki, tentu akan bersabar di atas satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dia tidak akan berpaling, apalagi menggantinya dengan agama lainnya, bagaimanapun keadaan dirinya. Meskipun dirinya diuji dengan kemiskinan ataupun cacat yang menimpa fisiknya dan semisalnya.
Dia memahami bahwa musibah atau ujian yang menimpanya hanyalah sesaat. Dirinya tidak ingin mendapatkan musibah pada kehidupan yang selamanya, yaitu di akhirat kelak. Dia memahami bahwa dengan bersabar di atas agama Allah l dirinya akan mendapatkan balasan berupa kebaikan dan kenikmatan yang selamanya dan tidak ada putusnya. Dia juga memahami bahwa ujian tersebut sudah menjadi ketetapan Allah Subhanahu wata’ala untuk orang-orang yang beriman.
Dia harus menerima dan bersabar untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Sebab, kalau dia tidak menerima dan bersabar, ujian tersebut justru akan mendatangkan musibah yang lebih besar yaitu kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَم اْلبَلاَءِ، وَ إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan mengikuti beratnya ujian. Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa ridha, dia akan memperoleh keridhaan-Nya. Barang siapa tidak bersabar, dia akan memperoleh kemurkaan-Nya.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Demikianlah, semakin besar iman seseorang maka akan semakin besar ujiannya. Orang yang beriman akan tetap bersabar di atas kebenaran meskipun dia dijauhi, dicemooh, atau bahkan disakiti. Dia yakin bahwa semua itu akan berlalu. Dia berharap akan selamat dari terkena siksa Allah Subhanahu wata’ala yang sangat pedih. Bukan sebaliknya, menganggap musibah, baik berupa cemoohan orang maupun yang lainnya, seakan-akan lebih berat dari siksa Allah Subhanahu wata’ala. Padahal siksa Allah Subhanahu wata’ala jauh lebih keras dan lebih lama, sedangkan ujian yang berupa gangguan dari manusia hanyalah sebentar dan tidak seberapa. Allah Subhanahu wata’alaberfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ
Dan di antara manusia ada orang yang berkata, “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap ujian manusia itu bagaikan azab Allah. (al-Ankabut: 10)
Hadirin rahimakumullah,
Lihatlah bagaimana kesabaran seorang yang bernama Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, sahabat sekaligus muazin Rasulullah n, yang harus mendapatkan siksa yang sangat keras di bawah terik panas matahari dan padang pasir karena berpegang teguh di atas agama ini. Lihat pula bagaimana seseorang yang bernama Abdullah bin Khudzafah yang tetap sabar di atas agama Islam ketika dirinya ditawan oleh pemimpin Nasrani dan menolak perintahnya agar meninggalkan agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Penguasa Romawi tersebut marah dan kemudian menyiapkan logam yang telah dipanaskan dan api yang mendidih untuk menyiksanya.
Ketika hendak disiksa, Abdullah bin Khudzafah meneteskan air mata sehingga disangka akan meninggalkan agamanya, padahal tidak demikian. Justru di saat itu beliau mengatakan, “Aku menangis bukan karena mengkhawatirkan diriku, melainkan berharap seandainya aku memiliki jiwa sebanyak rambut di kepalaku dan semuanya disiksa di jalan Allah Subhanahu wata’ala untuk masuk ke dalam surga tanpa dihisab.”
Begitu pula yang terjadi pada ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu beserta kedua orang tuanya. Mereka disiksa agar meninggalkan agama Islam. Namun, mereka tetap bersabar dan kokoh di atas agamanya sehingga ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka saat disiksa, beliau mengatakan, “Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, sungguh tempat kembali kalian adalah jannah.”
Hadirin rahimakumullah,
Demikian sebagian contoh kesungguhan dan kesabaran generasi pertama dalam hal menjalankan Islam. Semua ini menunjukkan keimanan dan keyakinan mereka akan kebenaran agama ini dan kebahagiaan yang akan diraih dengan mengikuti agama ini. Mudah – mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua.
 Khutbah Kedua
الْحَمْدُ ،ِلهلِ حَمْداً كَثِيْراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bersyukur dan memahami betapa besarnya nikmat Islam. Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk melihat Islam yang selama ini kita jalankan, sudahkah sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah? Marilah kita mencocokkan akidah dan pemahaman kita terhadap prinsipprinsip agama Islam agar sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Perlu diketahui—rahimakumullah— bahwa seluruh keyakinan dan akidah yang berada di sekitar kita adalah akidah yang salah kecuali yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, di saat banyak kaum muslimin yang tidak bersungguhsungguh mempelajari agamanya, jika seseorang semata-mata mengikuti kebanyakan orang, sangat mungkin dia terjatuh pada akidah yang salah dan menjalankan agamanya di atas kejahilan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Jika engkau menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
Begitu pula jika seseorang menolak untuk beragama sesuai dengan wahyu yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan dan lebih mengutamakan kebiasaan pendahulunya, hal tersebut menyerupai keadaan orangorang kafir di masa lalu. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!” Mereka menjawab, “(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (kebiasaan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (al-Baqarah: 170)
Oleh karena itu, sesungguhnya kewajiban seorang adalah berpegang teguh dengan agamanya. Dengan demikian, dia akan merasakan kebahagiaan meski manusia memandangnya sebagai orang yang sedikit hartanya atau cacat fisiknya. Namun, karena syukur dan sabar serta dekat dengan AllahSubhanahu wata’ala, dia merasakan kelapangan dada dan ketenangan jiwa yang tidak dimiliki oleh orang yang tidak istiqamah di atas Islam meskipun hartanya berlimpah.
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala lah kita memohon dan bersandar. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberikan pertolongan kepada kita untuk istiqamah dan menutup hidup ini dengan husnul khatimah.

No comments: