KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday 27 November 2013

NU DAN TAREKAT (Bag 2)




Tarekat Qadiriyah di Indonesia.

Seperti halnya tarekat di Timur Tengah.Sejarah tarekat Qadiriyah†di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor ñ Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya ñ Jawa Barat, Mranggen ñ Jawa Tengah, Rejoso Jombang ñ Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang ñ Jawa Timur. Syaikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qadiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qadiriyah.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya ‘Mystical Dimensions of Islam’ hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten, Jawa Barat, dilanda perlawanan terhadap penjajah. Perjuangan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering terjadi perlawanan.

Tapi, perlawanan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena perlawana itu dipimpin oleh para ulama dan kyai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qadiriyah, Syaikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH. Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 perlawana terhadap penjajah  yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903, KH. Khasan Mukmin dari Sidoarjo, Jatim serta KH. Khasan Tafsir dari Krapyak, Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qadiriyahadalah organisasi terbesar Islam, Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.

Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH. Ahmad Shohibulwafaí Tadjul Arifin (Abah Anom), Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jabar, dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad Saw., Sayyidina Ali ra. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ke-34.

Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH. Mustaíin Romli, Pengasuh Pondok Pesantren Rejoso Jombang, Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ke-35. 
Bahwa Beliau mendapat talqin dan bai’at dari KH. Moh. Kholil Rejoso, Jombang, KH. Moh. Kholil dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifbillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. 
Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. 
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. 
Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di†kota†yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. 
Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

b Inti Ajaran Dasar Tarekat Qodiriyah.
da 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qodiriyah, yaitu:
. Berserah diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib menyerahkan segala hal kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

. Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah.

Hal ini merujuk pada hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
ebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
edua hal ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang manusia senantiasa bersama Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau juga menandaskan bahwa keimanan ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan sosial yang lebih baik lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan memenuhi aspek kebaikan universal.

Baiíat.

Bentuk mengamalkan tarekat ini melalui tahapan-tahan seperti:

. Adanya pertemuan guru (syekh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan ìinfahna binafhihi minkaî dan dilanjutkan dengan ayat mubayaíah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid dan berdoa .

. Tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
engan mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir), maka seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan syariíat dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki ilmu keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan (maírifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir. Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang akan dengan ringan dapat melaksanakan syariíat Allah.

Kenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup, kenyakinan para sufi memang ìMengenal Allah adalah permulaan orang beragamaî. Dan karena secara empiris kebenaran logika ini telah terbukti, bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang berkepribadian baik.

Silsilahnya:
1. M Mustain Romli,
 2, Usman Ishaq, 
3. Moh Romli Tamim, 
4. Moh Kholil, 
5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 
6. Abdul Karim, 
7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 
8. Syamsuddin, 
9. Moh. Murod, 
10. Abdul Fattah, 
11. Kamaluddin, 
12. Usman, 
13. Abdurrahim, 
14. Abu Bakar, 
15. Yahya, 
16. Hisyamuddin, 
17. Waliyuddin, 
18. Nuruddin, 
19. Zainuddin, 
20. Syarafuddin, 
21. Syamsuddin, 
22. Moh Hattak, 
23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 
24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 
25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 
26. Abul Faraj al-Thusi, 
27. Abdul Wahid al-Tamimi, 
28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 
29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 
30. Sari al-Saqathi, 
31. Maíruf al-Karkhi, 
32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 
33. Musa al-Kadzim, 
34. Jaífar Shodiq, 
35. Muhammad al-Baqir, 
36. Imam Zainul Abidin, 
37. Sayyidina Husein, 
38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 
39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 
40. Sayyiduna Jibril dan 
41. Allah Swt. 

Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.


Kepada mereka yang berpegang teguh kepada agama Islam, menyebarkan kemuliaan dalam bentangan sejarah, menghidupkan toleransi, memerangi kejumudan, menumpaskan kebodohan, melawan kezaliman dan kesesatan, membentangkan kebebasan berfikih hingga berkibar, optimis dengan lahirnya persaudaraan antara pengikut madzab-madzab dalam Islam,

Konflik antara Sunni dengan Syiah bisa dicegah dengan mengembangkan nilai-nilai tarekat. Ini pas, karena Sunni di Indonesia suka tarekat, yang juga deket dengan Syiah.

Demikian dinyatakan Wakil Rais Syuriyah PCI NU Mesir Ahmad Syaifuddin pada NU Online, melalui yahoo massenger, Selasa sore (28/8).

Syiah dan Sunni yang sufi itu sama-sama mencintai ahli bait, khususnya Sayidina Ali bin Abi Thalib. Semua sanad tarekat bermuara ke Imam Ali, kecuali Naqsyabandiyah yang juga punya sanad ke Abu Bakar. Bedanya kalau sufi itu taídhim (penghormatan), kalau syiah itu taqdis (pengkultusan). Nah, di situ kesamaan kita dengan Syiah, jelasnya.

Dia mencontohkan bahwa Sunni yang sufi dan Syiah bisa saja mengadakan haul Imam Ali, Hasan Husein bersama-sama, dengan catatan pihak Syiah tidak menampakkan ghuluw atau melampaui batas.
Keduanya sama-sama tanazul. Yang beda dari mereka jangan diperlihatkan, yang beda dari kita jangan diperlihatkan,  ujar mahasiswa program doktor di Universitas Al-Azhar tersebut.

Dia melanjutkan, konflik Sunni-Syiah tidak bisa diselesaikan dengan debat, bahsul masail, atau munazharah. “Ndak mungkin berhasil itu diskusi”, tegasnya.

Syaifuddin berpesan, Syiah di Indonesia jangan seperti Syiah Iran. Teman-teman Syiah di Indonesia harus melakukan pribumisasi. Kalau di Jawa ya harus njawani, pakai blangkon, pakai bubur abang bubur putih. Kalau di Sumatera yang harus menyesuaikan dengan Sumetera.



Referensi:
[1] Muhammad Aqil bi Ali al-Mahdali, Dirasah fi al-Thuruq al-Shufiyah, (Kairo: Dar al-Hadis), terj.   Futuhalarifin, S.Ag.Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, (Jakarta: Azan, 2002), cet. I, h. 201.
[2] Abu al-Wara al-Ghanimi al-taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami, h. 237.
[3] Amir,al-Thuruq, h. 110. Dikutip dari Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, Futuhal Arifin, S.Ag, h.203.
[4] Seyyed Hosein, Ensiklopedi, h. 19.
[5] Abdul Majid Hj. Khatib, Rahasia Sufi Syaikh Abd alQadir Jilani, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 
[6] Syaikh  Abd al-qadir, Rahasia, h. 267.
[7] Sayyid ibn Musfir, Buku Putih, h. 506.


NU DAN TAREKAT ( Bag 1 )





Sebenarnya tarekat merupakan jaringan yang sangat kokoh dan luas di dalam lingkup Nahdlatul Ulama, malah boleh dibilang jaringan ini lebih kokoh dan lebih luas dari pesantren, tetapi tarekat lebih merakyat, lebih egaliter, lebih mengakar dan lebih kokoh. Hanya yang kita harapkan ke depan, lebih meningkatkan lagi kepedulian terhadap upaya sosial disamping ngurusi dhikir, wirid dan spiritualitas. Kesejahteraan warga tarekat juga penting. tidak mengesampingkan ketrampilan dan ilmu pengetahuan.

Membaca gerakan tarekat di Indonesia, maka tidak akan terlepas dari sejarah masuknya Islam di Nusantara. Suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan merupakan satu-satunya negara yang penduduknya mayoritas muslim di dunia. Secara historis, Islam masuk ke Nusantara dengan jalan damai dan tidak pernah menempuh jalan kekerasan/peperangan. Islam masuk ke Nusantara dibawa para saudagar muslim dari Asia Barat yang mayoritas mereka adalah penganut sufi dan tariqat. Sehingga tidak heran jika saat ini kita banyak menyaksikan sisa-sisa peningalan penyebar Islam Nusantara yang masih berbau tasawuf dan bahkan sangat kental dengan nuansa sufi. Salah satu contoh konkretnya adalah mayoritas umat Islam Indonesia yang menganut Islam tradisionalis yang ajaran-ajarannya lebih banyak bernuansa tasawuf, seperti di pesantren.

Ajaran tarekat yang masuk ke Nusantara hampir bersamaan dengan penyebaran Islam. Karena tokoh-tokoh sufi yang menyebarkan Islam saat itu juga merupakan penganut amalan tarekat yang memang saat itu menjadi ikon umat Islam di seluruh dunia, terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad (Irak) oleh serbuan tetaran Mongol, serta munculnya kekhalifahan Turki Usmani dengan tarekat Bektasi-nya. Dalam perkembangna selanjutnya, ajaran-ajran sufi di Nusantara, umumnya bertahan di pesantren-pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam kultural dan sebagai pusat perkembangan amalan-amalan tarekat.

Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah wadah aspirasi bagi kelompok Islam tradisionalis atau yang lebih dikenal dengan golongan nahdliyin†(warga NU). Gerakan NU lebih banyak bergerak dalam bidang organisasi ke-Islam-an yang terjun dalam lapangan sosial kemasyarakatan dan juga politik. NU merupakan satu-satunya organisasi yang tetap mempertahankan keberadaan mazhab di samping juga tidak menolak adanya modernisme Islam. Keberadaan NU juga untuk mengimbangi gerakan modernis yang menolak mazhab Islam.

Antara tarekat dan NU memiliki jarak yang cukup panjang dalam sejarahnya. Namun, kebanyakan ulama-ulama NU merupakan orang-orang tarekat dan bahkan berguru pada ulama-ulama tarekat. Bahkan, pendiri NU, KH Hasyim Asyíary, merupakan penganut salah satu tarekat. Sehingga NU dan tarekat bisa dipastikan sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang sampai saat ini setia melindungi keberadaan tarekat dari tuduhan-tuduhan miring kaum modernis.

Salah satu yang menyebabkan berkolaborasinya antara tarekat dan NU adalah adanya persamaan dalam model kepemimpinan mereka yang menggunakan kepemimpinan yang paternalistik dan kharismatik sekaligus. Jika dalam tarekat dikenal sebagai seorang mursyid.


Bukan tak mungkin karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang dapat melindungi kaum tarekat, maka kemudian kaum tarekat merupakan salah satu pendukung setia NU. Sampai saat ini, hanya NU-lah yang memiliki undang-undang organisasi yang mengakui keberadaan tarekat yang ada di Indonesia sebagai bagian dari NU. Hal itu dimaksudkan untuk menolak tuduhan-tuduhan miring, bahkan sesat, dari golongan modernis.

Setidaknya, dengan masuknya tarekat ke dalam NU, akan dapat mengurangi tuduhan-tuduhan itu dan sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab NU sebagai sebuah organisasi untuk mengklarifikasi setiap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada tarekat. Namun, yang perlu kita ketahui bahwa antara NU dan tarekat memiliki perbedaan-perbedaan, di antaranya, jika tarekat merupakan bagian dari NU, namun warga NU tidak mesti menjadi kelompok tarekat, karena banyak sekali warga NU yang enggan masuk dalam jamaah tarekat.

Meski demikian, kalangan nahdliyin dalam setiap amalan ibadahnya kebanyakan menyerupai dengan amalan ibadahnya jamaah tarekat. Jelasnya, antara NU dan tarekat merupakan kaum-kaum sufisme yang setia. Konsep ajaran yang ada di tarekat dan NU keduanya tidak jauh berbeda. Ini merupakan salah satu pengaruh yang paling kentara dalam sisa-sisa penyebaran Islam di Nusantara oleh ulama-ulama sufi.

Buku setebal 222 halaman ini mencoba mengklarifikasi hubungan yang harmonis antara NU dengan tarekat. Dengan model persamaan dalam kepemimpinan yang dimiliki keduanya, sehinga dalam politik perekrutan massa pun dikenal dengan politik kultural dan struktural. Politik kultural karena kedua golongan tradisionalis dengan tarekat ini memiliki persamaan di banyak bidang. Sementara, secara struktural, keduanya kemudian meleburkan diri dalam sebuah organisasi yang dinamakan NU. Model politik kultural dan struktural ini yang digunakan NU untuk menarik massa saat memasuki dunia politik yang meleburkan diri dalam Masyumi hingga saat ini.

Tarekat Qadiriyah.
NAMA TAREKAT DAN PENDIRI

1.QadiriyahSyekh Abdul Qadir Jilani (470 H)
2.SyadziliyahAbu Al-Hasan As-syadzili (573 H)
3.NaqsyabandiyahMuhammad bin Muhammad Baha al-Din al-Uwaisi al-Bukhori Naqsyabandi (717 H)
4.KhalwatiyahSyekh Yusuf al-Makasari al-Khalwati (751)
5.SyattariyahSyaikh Abd Allah al-Syathathari (890 H)
6.SammaniyahMuhammad bin Abd al-Karim Al-Madani al-Syafii al-Samman  (1130-1189 H)
7.TijaniyahSyekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230 H)
8.Qadariyah wa NaqsabandiyahSyekh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872 H)
9.ChisytiyahKhawjah Muin al-Din Chisity (536 H)
10.MawlawiyahMuhammad Jalal al-Din Rumi
11.NiímatullahiSyekh Niímat Allah al-Din bin Abd Allah (730 H)
12.SanusiyahSayyid Muhammad Ali al-Sanusi (1202 H)

Silsilah Tarekat Qadiriyah.
Syeikh Abdul Khodir Al Jailani:
1. ALLAH SWT.
2. MALAIKAT JIBRIL.
3. NABIYIL MUSTOFA RASULULLAH SAW.
4. SAYIDINA ALI BIN ABI THALIB RA.
5. SAYIDINA AL-IMAM ABU ABDULLAH AL-HUSEIN RA.
6. SAYIDINA AL-IMAM ALI ZAINAL ABIDIN RA.
7. SAYIDINA AL-IMAM MUHAMMAD BAQIR RA.
8. SAYIDINA AL-IMAM JAíAFAR AS SHODIQ RA.
9. SYAIKH AL-IMAM MUSA AL-KAZHIM.
10. SYAIKH AL-IMAM ABUL HASAN ALI BIN MUSA AL-RIDO.
11. SYAIKH MAíRUF AL-KARKHI.
12. SYAIKH ABUL HASAN SARRI AS-SAQOTI.
13. SYAIKH AL-IMAM ABUL QOSIM AL-JUNAIDI AL-BAGDADI.
14. SYAIKH ABU BAKAR AS-SYIBLI.
15. SYAIKH ABUL FADLI ABDUL WAHID AT-TAMIMI.
16. SYAIKH ABUL FARAJ AL-TARTUSI.
17. SYAIKH ABUL HASAN ALI AL-HAKKARI.
18. SYAIKH ABU SAíID MUBAROK AL-MAKHZUMI.
19. SYAIKH MUHYIDIN ABU MUHAMMAD ABDUL QODIR AL-JAELANI AL-BAGDADI.
20. SYAIKH ADUL AZIZ SUBHANA GHOUSUS SAQOLAIN.
21. SYAIKH MUHAMMAD AL-HATTAK.
22. SYAIKH SYAMSUDIN.
23. SYAIKH SYAROFUDIN.
24. SYAIKH NURUDIN.
25. SYAIKH WALIYUDIN.
26. SYAIKH HUSAMUDIN.
27. SYAIKH YAHYA.
28. SYAIKH ABU BAKAR.
29. SYAIKH ABDUROHIM.
30. SYAIKH USMAN.
31. SYAIKH ABDUL FATAH.
32. SYAIKH MUHAMMAD MUROD.
33. SYAIKH SYAMSUDIN.
34. SYAIKH AHMAD KHOTIB AS-SYAMBASI.
35. SYAIKH ABDUL KARIM TANARA AL-BANTANI.
36. SYAIKH ABDULLAH MUBAROK CIBUNTU (SYAIKH ABDUL KHOIR).
37. SYAIKH NURUNNAUM SURYADIPRAJA BIN H. AGUS TAJUDIN.
38. SYAIKH WAASIí H. ACHAMAD SYAECHUDIN BIN H. AMINUDIN.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi terbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926.

Untuk mengamalkan tarekat Qadiriyah, harus melalui tahapan-tahan seperti; pertama, adanya pertemuan guru (syaikh) dan murid, murid mengerjakan shalat dua rakaíat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laa ilaha Illa Allah, dan guru mengucapkan ìinfahna binafhihi minkaî dan dilanjutkan dengan ayat mubayaíah (QS. Al-Fath 10).

Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illa Allah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiíat sebagai murid, berdoa dan minum.

Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti 'jalan' sama seperti syari'ah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Al Qurían, seperti QS. Al-Jin:16, ìKalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah.

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariíah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathiniah mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat ìrahasiaî yang bobot keruhaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan baiíat dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah Saw., sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.


Resensi Buku: Pertemuan antara Tarekat dan NU, 

Oleh: Muhibin A.M.

Penulis: Drs Jaífar Shodiq, MSi. Penerbit: Pustaka Pelajar


Tuesday 26 November 2013

KAROMAH KH. HASYIM ASY'ARI PENDIRI NU, SERUPA SAHABAT UMAR BIN KHATAB RA




Pernah beberapa kali penjajah hendak menghacurkan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dengan berkali-kali menghujankan bom di pesantren tersebut, tapi bom itu tidak pernah ada yang meledak satupun.

Pondok Pesantren Tebu Ireng selain sebagai tempat belajar para santri, juga sebagai salah satu markas pasukan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Pada waktu terjadi perang kemerdekaan, semua orang yang akan pergi berperang menghadapi penjajah, akan dikumpulkan terlebih dahulu oleh sang panglima KH. Hasyim Asyíari. Mereka diberi air minum sambil dibacakan: ìYa Allah Ya Hafidz, Ya Allah Ya Muhith, Fanshurna 'ala Qaumil Kafiriin.

Semua orang yang dikumpulkan tersebut, oleh KH. Hasyim Asyíari diberi beberapa pantangan yang tidak boleh mereka langgar selama berperang. “Siapapun yang melanggar pantangan tersebut, maka pasti akan terkena tembakan musuh!” tegas Mbah Hasyim. Pak Si’in, adalah salah seorang saksi sejarah atas kejadian itu yang masih hidup.

Atas izin Allah Swt., KH. Hasyim Asy’ari mampu mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat lain, meskipun dirinya berada jauh dari tempat itu. Serupa dengan riwayat yang mengkisahkan tentang karomah sahabat Umar bin Khaththab Ra., yang mana beliau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada pasukannya di medan perang dan cukup beliau memberi perintah dari atas mimbar.

Waktu itu KH. Hasyim Asy’ari sedang mengajar di hadapan para santrinya di pondok (Tebu Ireng). Pada saat yang sama beliau dapat mengetahui keadaan para pasukannya yang sedang melawan penjajah di daerah Pare, sebuah daerah yang jauhnya kira-kira 30 km dari Pondok Pesantren Tebu Ireng. Disamping mampu melihat suasana perang yang sedang berlangsung dari jarak 30 km, KH. Hasyim Asy'ari pun cukup memberi perintah kepada para pejuang itu dari tempat mengajarnya.

Jikalau KH. Hasyim Asy’ari ingin memberi suatu amalan kepada santrinya, maka dipanggillah 3 orang santri, lalu dilihat dengan mata hatinya. Dari bashirah itu, beliau lalu memilih salah seorang dari ketiga santri tersebut yang benar-benar memiliki kemampuan melaksanakan amalan yang akan beliau berikan. Berikutnya, dua orang santri yang tidak beliau pilih, mereka disuruh keluar dari ruangan tempat mereka dipanggil.

Bukan hanya kyainya yang hebat, tapi para santrinya pun memiliki nilai keramat. Terbukti saat Jepang menjajah Indonesia, di daerah Jombang terdapat para tentara Jepang yang siap menindas. Namun setiap kali tentara Jepang mendatangi Pondok Pesantren Tebu Ireng, kendaraan yang mereka pakai selalu tidak bisa berjalan jika bannya disentuh oleh para santri KH. Hasyim Asy’ari.

Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, disamping dikenal sebagai tokoh Islam dan pendiri NU, beliau juga dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu dari jasa beliau adalah mengenai peran serta beliau ketika terjadi perang kemerdekaan di Surabaya. Ketika itu, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan Resolusi Jihad yang mewajibkan setiap orang Islam yang tempat tinggalnya berjarak di bawah 96 km dari Surabaya, mereka wajib datang ke Surabaya untuk berperang melawan penjajah. Akhirnya masyarakat Islam berbondong-bondong datang ke Surabaya dan tidak sedikit dari mereka datang dari daerah yang jauh.

Meskipun para pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia hanya menggunakan senjata seadanya seperti bambu runcing, namun atas berkat doa para ulama, Allah menurunkan pertolonganNya sehingga tentara penjajah menderita kerugian besar. Peperangan bersejarah itulah yang terjadi pada tanggal 10 November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh Bangsa Indonesia.

Sumber : Pustaka Muhibbin

Monday 25 November 2013

SYAIKH BIN BAZ KAGET DENGAN PENGIKUT NU




Suatu ketika beberapa kyai dari NU diantaranya KH. Sahal Mahfudz, Gus Dur, Gus Mus dan 2 orang lagi dari PP Lakpesdam NU datang ke Arab Saudi untuk bertemu dengan Syaikh Bin Baz, ketua Lajnah Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Iftaí (Komisi Fatwa) Arab Saudi, pada tanggal 14 Februari tahun 1987 M.

Ada 4 hal yang ditanyakan oleh Syaikh bin Baz tentang Nahdlatul Ulama. Syaikh Bin Baz bertanya: Apa benar jamaah Nahdlatul Ulama adalah ëubbad al-qubur (penyembah kubur)?

Gus Dur menjawab: Tidak benar Syaikh. Yang benar Nahdlatul Ulama menganjurkan ziarah kubur.

Syaikh Bin Baz bertanya: Apa benar bahwa Nahdlatul Ulama adalah ahl al-bidaí (ahli bid'ah)?

Gus Dur menjawab: Tidak benar Syaikh, Nahdlatul Ulama senang kalau shalat Shubuh pakai Qunut.

Syaikh Bin Baz kemudian berkata: Kalau Qunut itu bukan bid’ah.

Pertanyaan berikutnya dari Syaikh Bin Baz: Berapa anggota Nahdlatul Ulama?

Gus Dur menjawab: 40 juta orang.

Gus Mus menambahi: Bahkan lebih dari itu

Syaikh Bin Baz terkejut karena pengikut Nahdlatul Ulama ternyata lebih banyak dari masyarakat Arab. Lalu Syaikh Bin Baz bertanya: Berapa anggaran dana untuk Nahdlatul Ulama?

Pertanyaan itu dijawab oleh para kyai NU hanya dengan tertawa ...

# Ma'ruf Khozin• said: Saya mendapatkan kisah ini dari KH. Imam Ghazali Said (Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya), saat Turba PCNU Surabaya di Kec. Tambaksari 2006. Saya temukan di Buku Asad Ali bahwa hal itu terjadi pada 14 Februari 1987.

Wednesday 20 November 2013

RAMALAN GUS DUR " SUTARMAN NANTI JADI KAPOLRI"



Jakarta, NU Online


Suatu pagi di tahun 2005 media cetak nasional memberitakan perihal mutasi perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, sesuatu yang normal dan rutin terjadi sebagai bentuk penyegaran dan proses regenerasi.

Sudah menjadi kebiasaan rutin Gus Dur untuk mendengarkan perkembangan terkini dari berita-berita yang dibacakan oleh ajudan atau santrinya di pagi hari, sambil melayani para tamu yang berdatangan di rumahnya, di bilangan Ciganjur Jakarta Selatan.

Salah satu perwira yang mendapat promosi adalah mantan ajudan Gus Dur ketika menjadi presiden, Kombes Pol Sutarman yang naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Karena secara langsung pernah berinteraksi dengan Gus Dur, berita tersebut juga dibacakan di hadapan Gus Dur. Kebetulan, yang menemani pagi itu Nuruddin Hidayat, salah seorang santri Gus Dur.
Nuruddin: Pak, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu.


Gus Dur : ya, sebelumnya dia tugas dimana? Nuruddin: Di Polda Jatim Pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya, nek mboten klentu (kalau tidak keliru),
Nuruddin: Pak Tarman niku (ini) ajudan sangking (dari) polisi yang terakhir gih (ya) Pak? Gus Dur: Ya, Sutarman gantiin Pak Halba
Nuruddin: Pak Tarman niku priyantun pundi (asalnya dari mana) Pak?
Gus Dur: Pak Tarman iku wong (orang) daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana, saya ngak tahu.
Sejenak Gus Dur terdiam beberapa orang yang mengobrol bersamanya juga terdiam, menunggu mungkin ada satu hal penting yang diucapkan oleh Gus Dur.

Lalu...
Gus Dur: Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri)
Nuruddin: nggaten toh Pak (oh, begitu ya)
Diam-diam Nuruddin pun mencatat ucapan Gus Dur dalam memorinya dan mengikuti terus tour of duty-nya Jendral Pol Sutarman.


Sutarman, lulusan Akademi Kepolisian 1981 ini mengawali kariernya di Kepolisian pada 1982, sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Kepolisian Resor Bandung. Dalam waktu yang tidak lama, ia sudah menjadi Kepala Kepolisian Sektor Dayeuh, Bandung.


Kariernya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Gus Dur pada 2000. Tahun 2004 sudah menjadi perwira menengah dan dipercaya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya
Setelah ramalan Gus Dur tersebut, ia terus berkibar, menjadi Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Sekolah Calon Perwira, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, sampai akhirnya menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sejak 6 Juli 2011 dan dilantik menjadi Kapolri pada 25 Oktober 2013.


Saat nama Sutarman disebut-sebut sebagai calon Kapolri di media, Inayah Wahid, putri terakhir Gus Dur bersama Nuruddin Hidayat, berkunjung ke kantor redaksi NU Online. Kami asyik membicarakan sejumlah kisah kewalian Gus Dur ini, salah satunya kisah perjalanan karier Sutarman.
Kita lihat saja bagaimana prosesnya, nanti kalau sudah benar-benar dilantik jadi Kapolri, baru kita tulis. begitu kesimpulan bersama dari obrolan tersebut, dan ternyata, apa yang pernah diomongkan oleh Gus Dur tersebut benar. (mukafi niam)