KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Monday, 29 June 2015

SALAFI WAHABI MENGOBOK-OBOK MASJID RAYA ACEH, KINI DIAMBIL ALIH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH - NU

MUNA, HUDA dan FPI Mengambil Alih Pengelilaan Ibadah di Masjid Raya Baiturrahman 19 Juni 2015

Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan Front Pembela Islam (FPI) mengambil alih manajemen pelaksanaan tata tertib Shalat Jum’at di Mesjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh.

“Kita ingin mengembalikan pelaksanaan Ibadah di Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana kejayaan Aceh di masa Kerajaan Iskandar Muda, seusai dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,” ujar Tgk. Bulqaini Tanjongan, Sekjen HUDA, Jum’at (19/6/12015).

Tgk. Bulqaini mengatakan masalah ini bukan khilafiah tapi dikhilafiahkan. “Tidak ada kudeta masjid, yang kami inginkan mulai hari ini sampai kiamat nanti ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman harus sesuai dengan apa yang tertulis dalam mazhab Syafii yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamaah,” ujarnya disambut teriakan Allahu Akbar … Allahu Akbar dari para jamaah.
Sementara itu Ketua FPI Banda Aceh, Abu Pusong mengatakan sejak berdirinya Masjid Raya Baiturrahman ini sudah melaksanakan ibadah yang sesuai Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

“Tiga tahun belakangan ini kita mengetahui adanya kelompok Wahabi di Mesjid Raya Baiturrahman yang diduga telah mengobok-obok manajemen Mesjid Raya Baiturrahman, sehingga hari ini kita ambil alih harus sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah,” katanya mendesak Gubernur Aceh menghargai Keputusan DPRA terkait masalah ini.
Pimpinan FPI Aceh, Tgk. Muslem mendesak Gubernur Aceh agar mendukung hasil musyawarah para ulama HUDA, FPI, MUNA, Isfhafuddin terkait tata tertib Shalat Jum'at dan Taraweh sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Keputusan DPRA yang ditandatangani oleh Tgk. Muharuddin 9 Juni 2015 itu menyebutkan tata tertib Ibadah Shalat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman yaitu Azan dilakukan sebanyak dua kali, Khatib memegang tongkat yang diserahkan oleh Bilal, Mimbar harus mengikuti format mimbar masjid Nabawi, Khatib Jum’at harus diisi oleh Tokoh Ulama Aceh, Selesai shalat Jum’at dilanjutkan doa untuk tokoh dan pemimpin Aceh.
Kemudian pelaksanaan Shalat Taraweh juga dilakukan 20 rakaat secara berkesinambungan dan diselingi dengan salawat dan doa serta dilanjutkan dengan Shalat Witir tiga rakaat sekali salam.

Menanggapi persoalan  ini, Ketua PWNU Aceh Tgk. Faisal Ali saat dihubungi acehterkini mengatakan apa yang diinginkan oleh para ulama di Aceh itu mesti diakomodir oleh Pengurus Mesjid Raya.



Inilah Dasar Mesjid Raya Baiturrahman Diambil Ahlus Sunnah Wal Jamaah


Keputusan DPRA itu, kata Lem Faisal adalah menindaklanjuti musyawarah yang dilakukan. “Ini kelemahan Pemerintah Aceh, pada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang tidak segera menyelesaikan janji-janji kampanye politiknya saat Pilkada 2012 lalu.

“Selain satu juta per KK, janji politik itu termasuk cara beribadah di Mesjid Raya Baiturrahman harus sama seperti cara-cara yang berlaku di daerah-daerah Aceh, para ulama ini menuntut janji politik Zikir,” ujar Tgk. Faisal Ali sembari mengatakan keputusan DPRA itu sah-sah saja.
Terkait dengan Wahabi itu bukan menjadi persoalan. “Selama ini memang Mesjid Raya Baiturrahman terkesan sangat dekat satu kelompok saja, mungkin saja adanya kerjasama pendidikan dengan LIPIA di Jakarta yang berafiliasi dengan Arab Saudi yang terkenal dengan Wahabi. Sekali lagi masalah ini muncul ketika pengurus Mesjid Raya Baiturrahman tidak mengakomodir hal-hal yang bisa diakomodir,” demikian Ketua PWNU Aceh, Tgk. Faisal Ali.

Sumber : Aceh Terkini.com

Thursday, 25 June 2015

AMALAN MUHAMMADIYAH, DIRUSAK KAUMNYA SENDIRI



Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) denganKH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliyah ‘ubudiyah yang sama. Bahkankeduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).


Berikut kami kutip kembali ringkasan kitab “Fiqih Muhammadiyyah, diterbitkan penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliyah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

1.) Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha… (hlm. 25)
2.) Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (hlm. 25)
3.) Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim(hlm. 26)
4.) Setiap shalat Subuh membaca doa Qunut (hlm. 27)
5.) Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, 
      baik di luar maupun dalam shalat (hlm. 29)
6.) Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam,    
     Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (hlm. 40-42)
7.) Shalat Tarawih dengan 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (hlm. 49-50)
8. Tentang shalat dan khutbah Jum’at juga sama dengan amaliyah NU (hlm. 57-60)

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah sucibernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Mekah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikamal-Munjiyyatkarya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis bertemu dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.

Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Daratkeduanya mendalami ilmu agama di Mekah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Mekah.

Puluhan ulama-ulama Mekah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya.Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan lain-lainnya.

Seusai pulang dari Mekah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di MekahMuhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Mekah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

Saat itu, di Mekah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Mekah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sampai sekarang. Jumlah ini telah disepakati olehsahabat-sahabat Nabi saw. Bagi penduduk Mekah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi saw.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Mekah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Subuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Mekah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Mekah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ‘ubudiyah. Ketua PP. Muhammadiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqih madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Subuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.

Sedangkan jawaban ringan yang dikemukakan oleh Dewan Tarjihsaat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Jawaban mereka adalah “Karena Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.

Itulah sedikit gambaran tentang amaliyah Muhammadiyyah pada masa KH. Ahmad Dahlan yang sama persis dengan amaliyah Nahdlatul Ulama (NU). Namun, sangat disayangkan, amaliyah-amaliyah organisasi yang telah didirikan dan dikelola dengan baik oleh KH. Ahmad Dahlan telah dirubah oleh kaumnya sendiri setelah wafatnya beliau. Kisah seperti ini sebenarnya sudah banyak terjadi, seperti yang terjadi dalam tubuh organisasi Syi’ah.

Wallahu A’lam…
Oleh Saifurroyya Dari Berbagai Sumber

Sunday, 21 June 2015

ISLAM NUSANTARA : DAKWAH ITU MENGAJAK, BUKAN MENGEJEK



Oleh Candra Malik
Islam dan Arab adalah satu dan lain hal. Islam adalah agama, Arab adalah bangsa/budaya. Islam tidak selalu Arab, dan sebaliknya: Arab tidak selalu Islam. Memeluk Islam tidak harus dengan bermuluk-muluk dengan yang serba Arab, pun tidak perlu mengutuk-ngutuk yang serba padang pasir.

Nusantara yang Bhinneka Tunggal Ika berpengalaman dengan perbedaan. Islam meyakini perbedaan sebagai rahmat. Dan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah rahmatan lil 'alamin, anugerah bagi semesta raya -- bukan sekadar rahmatan lil mukminin, bukan pula cuma rahmatan lil muslimin.

Islam adalah ajaran samawi/langit. Nusantara adalah tradisi ardhi/bumi. Oleh karena itulah, Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. Islam Nusantara bukan soal menilai buruk dan salah pada yang lain. Tapi lebih tentang di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.

Menjadi Nusantara adalah hal yang paling manusiawi bagi manusia Nusantara. Dilahirkan sebagai anak Nusantara, berakar kebudayaan negeri sendiri, berkebangsaan bangsa sendiri, dan menjadi diri sendiri. Bukan menjadi orang lain dengan justru kehilangan jati diri. Sebab, kehilangan terbesar adalah kehilangan diri sendiri.

Menjadi Islam, atau yang kemudian disebut Muslim, tidak berarti harus dengan meninggalkan kodrat keibuan seorang anak manusia. Jika bahasa ibunya adalah bahasa Nusantara, maka lisan Nusantara itulah kodratnya sejak lahir. Jika budaya Nusantara adalah kesehariannya sejak dilahirkan, maka akar tradisi itulah yang menumbuhkan karakternya sebagai manusia.

Islam adalah tulang sumsumku. Nusantara adalah darah dagingku. Menyatu dalam jiwa ragaku. Islam Nusantara adalah jatidiriku. Aku bangga menjadi diri sendiri. Aku bangga menjadi anak bangsa dari bangsaku sendiri. Belajar tentang apa saja, di mana saja, kepada siapa saja, kapan saja, bagaimana saja, apa pun alasannya, meyakinkan aku betapa Nusantara adalah rumah dari mana aku berangkat dan ke mana aku pulang.

Sampeyan bebas menyampaikan pendapat yang berbeda tentang Islam Nusantara. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang, dan saya menghormati itu. Berbeda tidak lantas menjadikan Sampeyan orang lain. Kita berbeda karena kita sama: sama-sama berbeda. Ada benarnya kita tidak saling menyalahkan. Tidak ada salahnya kita saling membenarkan.

Berdakwah itu mengajak, bukan mengejek. Berdakwah itu merangkul, bukan memukul. Berdakwah itu ramah, bukan marah. Berdakwah itu menjadi kawan, bukan mencari lawan. Berdakwah itu mengajak senang, bukan mengajak perang. Agama itu mudah dan selayaknya memudahkan. Jika bagi kita agama itu susah dan justru menyusahkan, selayaknya kita mawasdiri. Jangan-jangan, kita sendiri yang sulit dan mempersulit.

Bagi saya, Nusantara adalah anugerah yang tidak bisa dipungkiri dan Islam adalah hidayah yang tidak bisa diingkari. Saya bersyukur dilahirkan sebagai seorang anak Nusantara dan saya berdoa kelak diwafatkan sebagai seorang manusia Islam (muslim). Bagi saya, dilahirkan sebagai seorang anak Nusantara adalah awal yang baik dan diwafatkan sebagai manusia Islam (muslim) adalah akhir yang baik.

Islam saya Islam Nusantara, dan saya menghormati keyakinan dalam beragama sesuai dengan jatidiri dan tradisi masing-masing. Saya tidak memiliki hak dan wewenang bertanya dan mempertanyakan kesalehan personal Sampeyan. Yang terpenting dari kesalehan sosial kita adalah hidup akur, rukun, damai, dan gotong-royong.

Islam mengajari saya untuk memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat. Saya berjalan menjauh dari Shirath Al Mustaqim jika saya menjauhi ajaran-ajaran dan ajakan-ajakan hidup bahagia. Sebagai anak Nusantara, saya bahagia. Dan jika sebelumnya kita telah mengenal idiom kesalehan personal dan kesalehan sosial, maka Islam Nusantara adalah kesalehan natural. ***


Candra Malik, praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan. Tulisan ini juga dimuat di islami.co, link: http://islami.co/telaah/493/4/islam-nusantara.html

MENCINTAI KELUARGA NABI SAW.



Konflik Syiah dan kelompok suni (lebih tepatnya Wahabi) di Timur Tengah menjadi kesempatan bagi kelompok tertentu untuk menghembuskan isu Syiah sebagai bahaya laten ke dalam negeri. Baliho dan pamplet yang menyudutkan Syiah dapat kita jumpai di sudut-sudut kota di tanah air. Konflik ini tidak lepas dari perhatian Maulana Habib Luthfi. Bahaya dari keadaan ini menurut beliau adalah dengan semakin berkembangnya isu ini, semakin banyak orang yang enggan berbicara tentang hadis-hadis dan ayat al-Quran yang menyinggung keutamaan dan hak ali (keluarga) bait Nabi saw yang dijamin oleh Allah baik melalui nash al-Quran maupun melalui lisan mulia Nabi saw, hanya karena hawatir dicap sebagai pengikut Syiah.

Agaknya, fenomena seperti itu tidak hanya terjadi pada saat kita hidup sekarang ini, tetapi juga dialami oleh Imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafii. Sebagai respon atas tuduhan bahwa dirinya Syiah Imam Syafii menulis syair yang terkenal.

            Inkana rafdhan hubbu ala Muhammad * fal yasyhad al-tsaqalain inni rafidiyun

Apabila rafidah itu sebutan untuk pecinta keluarga Nabi * saksikanlah Jin dan Manusia bahwa Aku adalah Rafidhah.
Keresahan itu juga nampaknya dialami oleh KH. Abdullah bin Noeh yang menulis sebuah buku yang berujudul “ Mencintai Kelurga Nabi”, terbit pertama kali pada tahun 1986. Kemudian pada tahun 2014 buku ini di cetak ulang. Dapat dikatakan buku ini, adalah satu-satunya buku tentang Ahli bait yang ditulis oleh seorang ulama Suni tulen.

KH. Abdullah bin Noeh adalah ulama multi talenta, ulama multi disipliner. Berbicara sosok ini dan bukunya “ Mencintai Kelurga Nabi”,  penulis merasa sangat emosional. Penulis memiliki hubunganimaginal sebagai “cucu murid” tokoh besar ini melalui dua jalur. Penulis mempunyai dua jalur sanad, guru penulis ; KH. Abdul Qadir Razi (Rais Syuriyah PCNU Cianjur) adalah murid, KH. Abdullah bin Noeh, sedangkan KH. Abdullah bin Noeh adalah murid Syeikh Muhammad Qurtubi, murid dari Syeikh Ahmad Syatibi, Syeikh Ahmad Syuja’i, Syeikh Hasan Musthafa Bandung,Syeikh Abdul Muhyi, Syeikh Zainudi al-Malibari demikian sanadnya bersambung hingga sahabat Abdullah bin Umar kemudian Rasulullah saw. Disamping itu, saat belajar di pesantren Syamailul Huda Pekalongan, KH. Abdullah bin Noeh berguru kepada Habib Hasyim bin Umar bin Yahya, yang tak lain adalah kakek Maulana Habib Luthfi bin Yahya.

Praktis, penulis sering mendengar kebesaran KH. Abdullah bin Noeh melalui dua guru penulis, KH. Abdul Qadir Razi dan Maulana Habib Luthfi. KH. Abdul Qadir Razi sering bercerita tentang KH. Abdullah bin Noeh dalam kiprahnya sebagai pejuang Nasional (pahlawan), intelektual besar yang menguasai bahasa Belanda, Ingris, dan dialek suku-suku Arab, seorang ulama berdarah Sunda yang mampu insya al-Syi’ri (menarasikan puisi berbahasa Arab secara reflek) layaknya ulama Arab Abad lampau, seorang sufi pengagum berat Ihya al-Gazali, sastrawan, sedangkan dari Maulana Habib Lutfi penulis melihat luasnya disiplin ilmu yang dikuasai dan ditulis oleh KH. Abdullah bin Noeh, satu dari ulama langka Indonesia yang berkiprah dan di akui di dunia Internasional, karyanya ditulis dalam bahasa Arab, Ingris, Indonesia dan bahasa Sunda.  Demikian pengetahuan penulis tentang KH. Abdullah bin Nuh dari dua guru penulis.

Khazanah maha guru ulama K.H. R. Abdullah Bin Noeh terlihat dalam buku “Mencintai keluarga Nabi” yang akan kita diskusikan ini. Buku ini secara utuh menuliskan perihal al Bait Nabi, kedudukan, dan kewajiban umat terhadapnya. Dalam pendahuluannya KH. Abdullah bin Noeh mengaku ada dua faktor yang memotivasi beliau menulis buku itu, yang pertama atas permintaan murid-muridnya. Kedua, semata-mata mengharapkan ridha Allah swt dan Rasul-Nya, mengingat usianya yang semakin senja, beliau memohon kepada Allah dengan berkahnya buku ini dianugahi khusnul khatima (akhir yang baik).
KH. Abdullah bin Noeh mengatakan, "fadhilah dzatiah (keutamaan bawaan) yang dikaruniakan Allah swt kepada para keturunan Rasulullah saw sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang dipikul orang lain. Mereka harus menyadari kedudukannya di tenga-tengah umat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan al (keluarga) Muhammad Rasulullah saw. Mereka juga wajib menyadari tanggung jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan umatnya. Dengan demikian maka kewajiban menghormati yang dibebankan syariat kepada kaum muslimin dapat diwujudkan sebaik-baiknya" (halaman 5).

Luasnya bacaan KH. Abdullah bin Noeh terlihat dari kuatnya literatur dirujuk dalam setiap bab. Misalnya dalam bab hadis-hadis keutamaan (fadahail) ahli bait, beliau merujuk tarikh Bagdad, Kanz al-Ummal, al-Riyadh Nadhrah, mustadraq ala sahihain, al-tabaridll. Bahkan literatur kontemporer seperti al-durar al-naqiyah fi fadha’il dzuriyah khair al-bariyyah karya Mufti Mekah Syeikh Muhamad Babushail al-Hadhrami, Abqariyat karya Abbas al-Aqad dirujuk oleh beliau. Dan kisah-kisah langka yang bertaburan dalam tiap bab, seperti misalanya dialog antara al-Sya’bi dan al-Hajaj bin Yusuf (halaman 227).
Ketajaman analisa KH. Abdullah bin Nuh juga dapat dilihat dari kepiawaiannya memilih rujukan pada bahasan tertentu, misalnya menyadari banyak yang antipati bahkan mengingkari adanya ahli bait Nabi (dengan alasan Sayidah Fathimah adalah anak perempuan Nabi bukan laki-laki), KH. Abdullah bin Noeh merujuk keterangan-keterangan ulama yang dijadikan rujukan kelompok tersebut. KH. Abdullah bin Noeh merujuk pada kitab al-aqidah al-wasithiyah, al-Iqtidha dan kitab lainnya yang ditulis oleh Ibn Taimiyah. Misalnya saat menjelaskan hadis tsaqalain, yang menerangkan bahwa saat menjabat sebagai Khalifah, sebagai penghormatan kepada al(keluarga) Nabi saw Sayidina Umar mendaftar keluarga Nabi saw pada daftar utama penerima tunjangan, setelah itu baru namanya. Saat ada yang komplain, agar Umar mencatatkan namanya pada urutan pertama, Umar menjawab, “Tidak, tempatkanlah Umar sebagaimana Allah menempatkannya (halaman 91). Demikian juga pada saat menjelaskan makna dzuriyah Nabi, KH. Abdullah bin Noeh merujuk pada keterangan Ibn al-Qayim yang sering dirujuk oleh kelompok itu .

Keahliannya sebagai sastrawan juga terlihat misalnya dalam beberapa bab, KH. Abdullah bin Nuh menuliskan puisi, diantaranya.
Mereka keluarga suci dan mulia
Barang siapa dengan ikhlas mencitainya
Ia memperoleh pegangan yang sentosa
Untuk bekal kehidupan di akhiratnya
Merekalah keluarga suci dan mulia
Yang keluhurannya menjadi buah bibir dan cerita
Dan keagungannya diingat orang sepanjang masa
Hormat kepada mereka adalah kewajiban agama
Kecintaan kepada mereka wujud hidayah yang nyata
Menanti mereka adalah curahan cinta
Dan kecintaan kepada mereka adalah takwa (halaman 266).

H.M.H al-Hamid al-Husaini memberi pengantar buku ini (sebaliknya KH. Abdullah bin Nuh juga memberi pengantar buku Hamid al-Husaini yang berjudul mauid Nabi) menjadikan buku ini semakin lengkap. Dalam pengantarnya, Hamid al-Husaini mengutip penjelasan Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang kewajiban umat untuk menghormati dan memuliakan keluarga Nabi saw. Hamid al-Husaini juga mengatakan, kaum `Alawiyin berhutang budi kepada KH. Abdullah bin Noeh atas buku ini.

Ketajaman analisa seorang intelektual, ketepatan dalam pemilihan kata seorang sastrawan, kemampuan menarasikan rasa seorang sufi, menjadi perpaduan yang membuat buku ini nyaman dan mengalir saat dibaca. Kelemahannya, -tentu ini tanggung jawab penerbit- ada kesalahan fatal penyebutan tokoh, seperti pada halaman 222 menyebut nama al-Hallaj berungkali, padahal seharusnya al-Hajjaj, hanya salah satu huruf implikasinya luar biasa. al-Hallaj adalah sufi besar, sedangkan Hajjaj adalah Gubernur Kota Bahsrah pada era Dinasti Umayyah yang terkenal lalim, arogan dan semena-mena dalam menumpahkan dara ulama Islam pada saat itu. Bagi pembaca umum tentu kesalahan fatal itu sangat membingungkan.

Alakuli hal, buku yang ditulis ulama kelahiran Cianjur, 30 Juni 1905 dan wafat di Bogor tanggal 26 Oktober 1987, ini, penting menjadi literatur Anda. Jika pada usia tertentu, setiap orang mungkin menyesali ada buku yang terlambat ia baca saat usianya lebih muda, maka setiap muslim yang taat akan menyesal ia tidak pernah membaca buku ini. Sebab, seperti dikatakan oleh KH. Abdullah bin Noeh, “Mencintai Keluarga Nabi saw adalah bekal menuju surga”. Dan buku ini akan membimbing Anda mencintai kelurga Nabi saw. Selamat membaca.

[Informasi Buku: 5708B7D7 (PIN BB Baru, pin 515BF2F5 Sudah tidak aktif) - Call/ SMS/ Whatsapp: 0857-8692-3366  (INDOSAT) - Website : www.IlmuTasawuf.com Instagram: ilmu_tasawuf Facebook : Menara Publisher twitter: @MenaraPublisher

Thursday, 18 June 2015

NU DAN ISLAM NUSANTARA


Oleh: Azyumardi Azra
‘Islam Nusantara’, istilah yang belakangan ini menemukan momentum popularitasnya, terutama setelah PBNU mengangkatnya menjadi tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”. Istilah dan tema ini-terlepas beberapa hal problematik terkait-sangat relevan dan tepat waktu waktu dalam konteks nasional maupun internasional.
Istilah ‘Islam Nusantara’ juga menjadi wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan. Terakhir sekali, Presiden Jokowi juga menggunakan istilah ‘Islam Nusantara’ dalam kesempatan ‘istighatsah kubra’ yang diselenggarakan NU di Jakarta (14/6/15) dalam rangka Munas Alim Ulama NU dan menyambut Ramadhan 1436 H/2015 M.Penulis “Resonansi” kemudian diminta tanggapan oleh BBC London tentang ‘Islam Nusantara’ yang juga disinggung Presiden Jokowi tersebut (Haedar Affan, Polemik di Balik Istilah ‘Islam Nusantara’, BBC London, 15/6/15). Apakah maksud istilah ‘Islam Nusantara’? Apakah istilah ini sesuatu yang baru?
Dalam seminar internasional pra-Muktamar NU yang diselenggarakan Harian Kompas (27/5/2015) dan Panitia Muktamar ke-33 NU, penulis “Resonansi” ini berusaha menjelaskan makna istilah ‘Islam Nusantara’. Istilah mengandung konsep dan konotasi berbeda ketika diterapkan pada wilayah berbeda di Nusantara.
Istilah ‘Islam Nusantara’ pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea).
Dengan cakupan seperti itu, ‘Islam Nusantara’ sama sebangun dengan ‘Islam Asia Tenggara’ (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian dengan ‘Islam Melayu-Indonesia’ (Malay-Indonesian Islam). Masalahnya kemudian, apakah abash berbicara tentang ‘Islam Nusantara’ atau ‘Islam Asia Tenggara’ atau ‘Islam Melayu-Indonesia’? Apakah ‘Islam Nusantara’ memiliki distingsi, baik pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial, budaya, dan politik?
Dalam pandangan penulis “Resonansi”, secara normatif doktrinal, ‘Islam Nusantara’ menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam manapun seperti disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian, dalam batas tertentu ‘Islam Nusantara’ memiliki distingsi sendiri. Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17 ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, ‘Abdurrauf al-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam ‘jaringan ulama’ yang berpusat di Makkah dan Madinah.
Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fiqh Syafi’i–meski juga menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau komunal maupun melalui tarekat Sufi yang lebih terorganisasi lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir terentu. Sebagai perbandingan, ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi. Dalam dua konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di Riyadh dan wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1), penulis “Resonansi” ini menyatakan, ortodoksi Islam Arab Saudi mengandung hanya dua unsur, yaitu pertama, kalam (teologi) Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan pada Islam yang ‘murni’.
Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin ortodoksi Islam Arab Saudi, tidak heran jika banyak Muslimin lain dianggap sebagai pelaku bid’ah dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka. Termasuk ke dalam bid’ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW yang ramai dirayakan kaum Muslimin Indonesia. Unsur ortodoksi Islam Arab Saudi kedua adalah fiqh Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam yurisprudensi Islam. Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup tasawuf, justru tasawuf ditolak karena dianggap mengandung banyak bid’ah dhalalah.
Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari peserta Arab Saudi yang ditujukan kepada penulis “Resonansi” ini. “Kenapa Muslim Indonesia gemar mempraktikkan tasawuf yang menurut mereka mengandung banyak bid’ah dhalalah.”
Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan peran penting dalam peningkatan maqamat spiritualitas Muslim dan sekaligus pemeliharan integritas kaum Muslimin menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.
Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara. Umat Muslimin Nusantara telah dan terus menjalani warisan tradisi untuk mengamalkan Islam yang kaya dan penuh nuansa. Penulis “Resonansi” ini menyebutnya sebagai ‘Islam berbunga-bunga’ (flowery Islam) dengan ‘ritual’ sejak tahlilan, nyekar atau ziarah kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah), walimatul khitan, tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan kehamilan.
from Republika