KH. MA Sahal Mahfudh tentang Gus Dur
KH. MA Sahal Mahfudh, Dra Hj Nafisah Sahal, KH Masruri Mughni dan Drs H Ali Mufiz MPA punya catatan sendiri tentang sosok KH Abdurrahman Wahid. Berikut penuturannya. Siapa menyangka paman dan keponakan pernah sama-sama berhadapan di arena muktamar.
Tapi itulah kenyataannya. Tanggal 28 November – 2 Desember 2004 (15-19 Syawal 1425H) sejarah mencatat Gus Dur benar-benar ”bertarung” dengan KHMA Sahal Mahfudh untuk posisi Rois Aam di Muktamar Ke-31 NU di Asrama Haji Donohudan, Solo.
Kedudukan tertinggi di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama itu akhirnya ditempati Kiai Sahal yang mendapatkan 363 suara dan Gus Dur 75 suara.
”Tetapi dalam keseharian saya tak pernah beda pandangan dengan Durrahman,” kata Kiai Sahal.
Meski jarang bertemu secara fisik, tetapi keponakannya itu sering berkomunikasi melalui telepon.
Sehari setelah dilantik menjadi presiden, Gus Dur sowan ke rumahnya di Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Margoyoso, Pati. Sebelum berangkat Gus Dur pesan minta disiapkan menu kesukaannya, sayur gantung. Ada juga yang bilang sayur jantung, yaitu buah pisang muda yang bentuknya mirip jantung.
Kebiasaan santri yang selalu hormat dan takdzim kepada guru atau orang yang lebih tua terlihat ketika Presiden Ke-4 RI itu menemuinya. Gus Dur yang selalu memanggil ”Man” (paman) Kiai Sahal langsung mencium tangannya.
Begitu pula ketika sowan KH Abdullah Salam (alm) yang rumahnya tak jauh dari kediaman Kiai Sahal. Dia yang saat itu menjabat presiden tak sungkan-sungkan ndeprok bersimpuh di kaki ulama kharismatik itu.
”Durrahman itu bukan tokoh yang kontroversial seperti ditulis di koran. Tetapi dia memang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata kebanyakan orang dan selalu berpikir jauh lebih maju dari kita,” tutur Kiai Sahal.
”Kalau saya kebetulan selalu cocok dengan pemikiran Durrahman karena tahu arahnya ke mana,” paparnya. Ia mencontohkan ketika Gus Dur akan berangkat ke Israel. Hampir semua orang mengecamnya.
Tetapi setelah ia menjelaskan latar belakang dan alasan perjalanannya ke negara zionis itu, Sang Paman pun bisa memahaminya.
Hubungan Darah
Lain lagi penuturan Dra Hj Nafisah Sahal Mahfudh. ”Saya selalu memanggil Durrahman, Mas. Karena ibu kandung saya adalah adik kandung ibunya Durrahman,” tutur Nyai Sahal. KH Mahfudh, ayah kandung KHMA Sahal Mahfudh adalah sepupu KH Bisri Syamsuri, kakek Gus Dur.
Mbah Bisri (KH Bisri Syamsuri) menikah dengan Nyai Hj Chodidjah, adik pendiri NU KH Wahab Hasbullah melahirkan enam anak. Yaitu KH Ahmad Bisri, Hj Muassomah (nenek Menakertrans Muhaimin Iskandar), Hj Solihah (ibu kandung Gus Dur), Hj Musyarofah (ibu kandung Dra Hj Nafisah Sahal Mahfudh), KH Abdul Aziz Bisri dan KH Sohib Bisri.
”Sekitar tahun 1962-1964 saya belajar bahasa Inggris pada Mas Dur,” tutur Nyai Sahal. Menurutnya, memang banyak yang heran pada saat itu di tengah-tengah tradisi pondok pesantren yang begitu kuat dengan ciri tradisionalnya Gus Dur tidak hanya menguasai bahasa Inggris, tetapi juga bahasa Perancis, Belanda dan Mandarin.
”Kebanyakan kiai mengajarkan agar menguasai Bahasa Arab. Tetapi Gus Dur lebih dari itu,” tuturnya.
Nyai Sahal yang putri KH Abdul Fatah Hasyim, sering melihat Gus Dur bermain skak atau catur dengan ayahnya. ”Di sela-sela kesibukan ngaji di pondok, Gus Dur nantang gurunya bermain skak,” katanya sambil tertawa. Secara kebetulan, sejak Ibtidaiyah (setingkat SD), Muallimat Bahrul Ulum, Tambakberas Jombang hingga tamat Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nafisah Sahal selalu bersama-sama dengan Mbak Nur (Shinta Nuriyah) yang akhirnya menjadi istri Gus Dur.
Menurut Nyai Sahal, pernyataan kakaknya memang seringkali terasa aneh di telinga awam bahkan sering kali membuat heboh terutama media massa. ”Coba lihat saat Mas Dur bilang DPR seperti Taman Kanak-kanak, semua orang seperti tersengat listrik. Gus Dur dikecam sana-sini. Tetapi kenyataanya?” tuturnya.
Dua Guru
KH Masruri Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH Abdul Fatah Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. ”Kamar saya dan Gus Dur bersebalahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar Pangeran Diponegoro 6,” katanya.
”Tapi dia berkali-kali bilang kalau yang benar-benar menjadi gurunya adalah Mbah Fatah (KH Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH Chudlori) Tegalrejo Magelang,” katanya.
Ketika semua orang mengecam Gus Dur karena mau berangkat ke Israel, ia mengatakan, ”Biar semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni (memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah banyak yang yakin cucu KH Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi dengan dunia ghaib. ”Gus Dur yakin betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,” tutur Kiai Masruri, pengasuh pondok pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog, Brebes itu.
Demikian pula saat terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH Abdurrahman Wahid di Bali malah mengatakan, ”Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia adalah wali besar.”
Pernyataannya itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata ”Kalau”. Sehingga seolah-olah Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.
”Saya sedih dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya senang karena umat Islam India tidak ditembaki lagi,” tuturnya seperti ditirukan Kiai Masruri.
Banyak hal yang sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Contoh bagaimana humanisnya cucu KH Hasyim Asy’ari itu disampaikan Drs H Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui Gus Dur di kantor PBNU.
”Gus Dur satu mobil bersama pamannya, KHMA Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil honor tulisan di Kantor Majalah Tempo,” katanya.
Pada saat tiba kembali di kantor PBNU, tiba-tiba datang seorang temanya yang mengeluh butuh biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop honor tulisan yang baru saja diambil dari Majalah Tempo, langsung diserahkan kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu.
Ya, Gus Dur telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhirus zaman.
(Agus Fathuddin Yusuf-60)
No comments:
Post a Comment