KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Thursday, 31 October 2013

TIGA MAKNA HIJRAH ROSULULLAH SAW.



Ada tiga makna utama dari momentrum hijrah Rasulullah saw yang dapat diterapkan dalam kehidupan masa kini. Pertama, memaknai hijrah Rasulullah sebagai Hijrah Insaniyyah, Hijrah Tsaqafiyyah, dan Hijrah Islamiyyah.

الحمد لله على نعمه فى أول الشهر من السنة الهجرة التامة, الذى جعل هذا اليوم من أعظم الأيام الرحمة, أحمده حمد الحامدين, واستعينه أنه خيرالمعين, وأتوكل عليه انه ثقة المتوكلين أشهد أن لااله الا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المجتبى وسيد الورى رحمة للعالمين. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين وسلم تسليما 
كثيرا...اما بعد.

Marilah pada jum’at kedua bulan Muharram ini kita lebih memanfaatkan berbagai keutamaan yang disediakan oleh Allah guna meningkatkan ketaqwaan kita kepada-Nya. Karena sesungguhnya Muharram adalah salah satu bulan yang istimewa dan dimuliakan.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Bulan Muharram dalam tradisi Islam memiliki keistimewaan dan sisi kesejarahan yang panjang. Diantara kelebihan bulam Muharram terletak pada hari ‘asyura atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam,menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’.

Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.

Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah
Semua itu adalah sejarah. Masalalu yang tersisa ceritanya untuk kita di masa kini. Sejarah memang perlu diingat dan dipelajari demi kemaslahatan masa depan. Dalam rangka menjaga ingatan yang telah melewati bentangan waktu yang bergitu panjang. Manusia membutuhkan tradisi. Yaitu segala macam tata nilai yang masih tersisa hingga kini dari masa lalu. Merawat tradisi sama artinya dengan usaha menghadirkan masa lalu dalam kerangka kehidupan masa kini. Oleh karena itu kita sering merasakan kehadiran tradisi di tengah-tengah kita sebagai sesuatu yang aneh dan lain. Maklum saja karena tradisi merupakan potongan masa lalu yang dihadirkan kembali di masa kini.

Maka menjadi wajar jika orang masa kini terheran-heran melihat munculnya tradisi yang nampak arkaik dan kuno. Banyak sekali orang masa kini yang mengacuhkan dan menyepelekan tradisi, karena dianggap sebagai sesuatu yang mubadzir atau tidak rasional. Perayaan haul, maulidan, baca diba’, dan shalawat lengkap dengan hadrohnya juga syuro-an dianggap sebagai bid’ah dan khurafat. Hal ini sesungguhnya menunjukkan betapa kesedaran orang tersebut akan sejarah sangat dangkal. Mereka tidak mau mengerti dan memahami masa lalunya.

Namun, di sisi lain, tidak baik juga apabila manusia selalu menjunjung dan terlalu silau dengan zaman keemasan masa lalu. Karena sesungguhnya kita hidup pada masa kini. Oleh karena itu manusia masa kini harus mampu menempatkan tradisi agar tidak menggunakannya hanya sebagai asesoris kehidupan. Maka menjadi perlu bagi kita orang muslim merawat tradisi dan juga memaknainya kembali untuk kontekstual masa kini. Begitu pula pentingnya memaknai momentum hijrah Rasulullah saw yang dijadikan pedoman penghitungan masa dalam Islam.

Jama’ah yang berbahagia
Ada tiga makna utama dari momentrum hijrah Rasulullah saw yang dapat diterapkan dalam kehidupan masa kini. Pertama, memaknai hijrah Rasulullah sebagai Hijrah Insaniyyah. Sebagai transformasi nilai-nilai kemanusiaa. Perubahan paradigma masyarakat Arab setelah kedatangan Islam dan pola pikir mereka menunjukkan betapa sisi-sisi kemanusiaan dijadikan materi utama dakwah Rasulullah saw. bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, hanya Allahlah satu-satunya Zat yang memiliki perbedaan dengan manusia. Itulah inti kalimat Syahadat أشهد أن لا اله الا الله  bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah.

Pernyataan syahadat ini secara langsung mengeliminir segala macam perbudakan dan penguasaan atas seseorang. Dan inilah yang paling ditakutkan oleh para bangsawan Makkah semacam Abu Jahal pada waktu itu. Karena misi kemanusiaan ini dapat merobohkan dominasi mereka atas para budak belian. Dengan demikian, sungguh Islam telah meletakkan sebuah pondasi tata nilai kemanusiaan. 

Sebagaimana dengan tegas disampaikan Rasulullah saw dalam khutbahnya ketika haji wada’
إن دمائكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام  "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Kemudian kita harus memaknai momentum hijrah ini sebagai Hijrah Tsaqafiyyah, yaitu hijrah kebudayaan. Hijrah dari kebudayaan jahiliyyah menuju kebudayaan madaniyah. Kebudayaan yang sarat dengan makna dan kemuliaan sebagaimana diperlihatkan oleh Rasulullah dalam tata krama keseharian. Dalam pergaulannya, beliau menghargai dan menggauli semua orang dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan. Bahkan lebih dari itu, beliau selalu bertindak sopan dan ramah kepada semua orang tidak pernah pandang bulu. Sebagaimana sabda beliau إنما البعثت لأتمم مكارم الأخلاق  Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.

Inilah sejatinya fondasi kebudayaan dalam kacamata Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan. Termasuk di dalamnya adalah kebersamaan, gotong royong dan kesetia kawanan. Inilah nilai-nilai yang kini mulai lenyap dari kehidupan kita digantikan dengan individualism dan kapitalime.

Yang ketiga, Jama’ah Jum’ah yang Dimuliakan Allah
Adalah memaknai hijrah sebagai Hijrah Islamiyyah, yaitu peralihan kepeasrahan kepada Allah secara total. Momentum hijrah ini harus kita maknai sebagai upaya peralihan diri menuju kepasrahan total kepada Allah Yang Maha Kuasa. Artinya setelah modernism menggiring kita kepada rasionalisme yang tinggi, hingga menyandarkan kehidupan kepada teknologi. Dan mengandalkan struktur sebuah system. Maka kini saatnya kita berbalik kepada Allah Yang Maha Pencipta. Sadarlah bahwasannya berbagai pertunjukan modernisme semata merupakan hasil kreatifitas manusia belaka.
Oleh karenanya, marilah di awal tahun baru ini kita memulai hidup baru dengan paradigma yang baru sesuai dengan makna hijrah tersebut.

Sumber Nu Online

KYAINYA PARA KYAI



KH. MUHAMMAD KHOLIL MADURA

Tak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air. 

Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan Wali Songo.
Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadil akhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu agama.

Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.
Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan dan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara membacanya (kiraah).

Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang.

Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri ulama asal Patani ini.

Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan. Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura yang mengajarkan kitab itu.

Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi.
Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegon bersama dua ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini kawin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para santrinya itu adalah :

1. KH Hasyim Asyíari (Pendiri Pondok-Pesantren Tebuireng, Jombang, dan   pengasas berdirinya Nahdhatul Ulama),
2. KH Abdul Wahhab Hasbullah (Pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang);
3. KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar)
4. KH Maíshum (Pendiri Pondok Pesantren Lasem Rembang).
5. KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang).
6. KH. Muhammad Hasan Genggong (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong).
7. KHR. Syamsul Arifin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiíiyah Sukorejo Situbondo).
8. KHR. Asíad Syamsul `Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiíiyah Sukorejo Situbondo).
9. KH. Muhammad Shiddiq (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember ).
10. KH. Zaini Muníim (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo).
11. KH. Abdullah Mubarak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
12. KH. Asyíari (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tholabah Wonosari Bondowoso).
13. KH. Abi Sujak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep).
14. KH. Abdul Aziz Ali Wafa (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul ëUlum Jember ).
15. KH. Masykur (Banyak berkiprah di bidang politik dan kenegaraan. Menjadi Panglima Sabilillah, Ketua Umum PBNU).
16. KH. Asmuni (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Asmuni Tarateh Sumenep).
17. KH. Karimullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Taman, Bondowoso, sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Miftahul Ulum).
18. KH. Abdul Karim (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboya Kediri ).
19. KH. Munawwir (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ).
20. KH. Khozin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo ).
21. KH. Nawawi Bin KH. Nur Hasan (Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ).
22. KH. Abdullah Faqih Bin Umar (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Cemoro Rogojampi Banyuwangi ).
23. KH. Yasin Bin Rais (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Pasuruan ).
24. KH. Tholhah Rawi (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Sumur Nangka †Mudung ).
25. Kh. Abdul Fatah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fatah Tulungagung ).
26. KH. Ridwan Bin Ahmad (Sedayu Gresik, Hafidz Al-Qurían, Pakar Ilmu Hisab )
27. KH. Ahmad Qusyairi (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan ).
28. Kh. Ramli Tamim (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Darul íUlum Paterongan Jombang ).
29. KH. Ridwan Abdullah ( Pencipta Lambang NU ).
30. KH. Abdul hamid bin Itsbat (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul íUlum Banyuanyar Pamekasan Madura ).
31. KH. Abdul Madjid bin KH. Abdul Hamid (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Manbaíul íUlum Bata-bata Pamekasan Madura ).
32. KH. Muhammad Thoha Jamaluddin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Simbergayam Pamekasan Madura ).
33. KH. Djazuli Utsman (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri ).
34. KH. Hasan Musthofa ( Garut, Jawa Barat ).
35. KHR. Faqih Maskumambang ( Gresik Jawa Timur ).
36. KH. Yatawi ( Puger Jember )
37. KH. Abdul Wahab (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Huda Penataban Banyuwangi ).
38. KH. Maíruf ( Kedunglo, Kediri Jawa Timur ).
39. KH. Harun (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Najah Tukangkayu Banyuwangi ).
40. KH. Moh. Hasan Abdullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Hikmatul Hasan Kalipuro Banyuwangi ).
41. Dr. Ir. Soekarno ( Proklamtor Kemerdekaan Indonesia, Presiden RI Pertama ) Meskipun Bung Karno tidak resmi sebagai santri, namun ketika sowan ke Bangkalan Kiai Kholil meniup ubun-ubunnya.
42. Sayyid Ali Bafaqih ( Negara Bali )

Dan masih banyak lagi para santri yang belum sempat ditulis melalui media ini.
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.

Sumber : http://almahabbah89.wordpress.com

Keterangan : 
Perlu kami klarifikasi sesuai dengan keterangan dari keluarga Bani Khlolil di beberapa media bahwa foto yang tercantum di atas bukanlah fotonya KH Muhammad KHolil Bin Abd Latif Bangkalan, tapi Foto dari Raden Kemmoh / H.Kholil Karang Bhutoh Bangkalan
Seluruh keluarga bani kholil bangkalan telah menelusuri tentang foto KH Kholil bin Abd latif sampai saat ini belum dan tak pernah ada bahkan putra beliau yang bernama KH Imron bin KH Kholil sempat di foto namun tidak bisa tertangkap oleh kamera.
Terima Kasih.

Wednesday, 30 October 2013

PREDIKSI GUS DUR TENTANG KAPOLRI SUTARMAN



Nu Online 
Suatu pagi di tahun 2005 di media cetak Nasional memberitakan perihal mutasi Perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Sesuatu yang wajar ditubuh sebuah Institusi Negara. Berita di Koran tersebut kita bacakan kepada alm Gus Dur, dan hal tersebut sudah menjadi rutinitas tiap pagi sambil melayani tamu tamu yang datang ke kediaman beliau di Ciganjur Jakarta selatan. 

Salah satu perwira yang mendapat kenaikan pangkat dan mengemban jabatan baru tersebut adalah Kombes Pol Sutarman naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Sebelumnya Brigjen Pol Sutarman pernah menjadi ajudan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa di sapa dengan Gus Dur. Berita tersebut kami sampaikan ke Gus Dur. Pa, begitu kami memanggil Gus Dur, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu. 

GD : ya, Sebelumnya dia tugas dimana? 
NH :Di Polda Jatim pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya nek mboten klentu,NH : Pak Tarman niku ajudan sangking Polisi yang terakhir gih pak? 
GD : Ya, Sutarman ganti Pak Halba jawab Gus Dur 
NH : Gih nek pak Halba kulo ngertos wong nate dados Kapolres Kudus malah kulo nggih tepang alm ibuipun pak Halba,
GD : lah kok iso ? NH : kula nate indekost di sebelah rumah alm pak Sardjono, Kakaknya Pak Halba di Jogja.
GD : ngono toh.. NH : Menawi pak Tarman niku priyantun pundi pak? GD : Pak Tarman iku wong daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana saya gak tahu. Sejenak alm Gus Dur diam kami semuapun diamÖ.tiba-tiba GD : Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri) 
NH : ...nggaten toh pak.. Diam diam aku mencatat ucapan beliau saat itu dalam memory saya,dan mengikuti terus tour of duty nya Jendral Pol Sutarman hingga menjabat Kabareskrim, dan saat ini delapan tahun kemudian ternyata ucapan alm Gus Dur tersebut menjadi kenyataan. 

Saya sendiri tidak tahu hal tersebut diatas itu sebuah kebetulan atau kemampuan analisis alm Gus Dur yang akurat. Mungkinkah Gus Dur weruh sak durunge winarah ( mengerti hal-hal yang akan terjadi ) .Wallahu alam Bishawab.. Dan kagem njenengan Pak (Alm Gus Dur) tengok tengoklah dan do’akanlah kami semua, meski kamipun tak pernah putus untuk senantiasa mengirim do’a untuk njenengan. Al Fatehah

Monday, 28 October 2013

SEMINAR AHLUL BAIT "IMAM ALI Ra. PEMERSATU UMAT"




Jakarta (SI Online) 

Ikatan Jamah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), salah satu organisasi kaum Syiah di Indonesia pada Sabtu, 26 Oktober 2013 lalu, di Gedung Smesco, Pancoran, Jakarta Selatan, menggelar peringatan Idul Ghadir. Acara peringatan dikemas dalam bentuk seminar internasional bertajuk "Imam Ali as Putra Ka'bah Pemersatu Ummat".

Selain tokoh syiah Indonesia yang sekaligus Ketua Dewan Syuro Ijabi Jalaluddin Rahmat, panitia mengundang tokoh NU dan Muhammadiyah sebagai pembicara, yakni Rois Syuriah PBNU KH Syaifuddin Amsir, MA dan Ketua PP Aisiyah yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof Dr Masyitoh Chusnan. Selain mereka juga hadir budayawan Ridwan Saidi, Dubes Paraguay dan Dubes Iran serta seorang cendekiawan dari Iran. 
Berikut adalah kutipan lengkap isi pidato Rois Syuriah PBNU KH Syaifuddin Amsir dalam seminar yang iikuti sekitar 1500 pengikut Syiah Indonesia itu:

Saya sudah cukup lama membuat suatu kesimpulan yang saya belum pernah menemukan bagaimana rasanya membuat kesimpulan itu menjadi berubah. Yaitu sejak tahun '81, waktu datang delegasi yang diutus oleh pemerintah Iran, yang saya masih ingat namanya, Syekh Abdul Qadir Al Katiri Asy Syafii. Beliau datang mengawal salah satu orang alim besar dari Iran sana yang begitu mengesankan saya pada saat memaparkan apa yang ia rasakan tentang Indonesia dengan pernik-pernik pandangannya yang berupa-rupa, yang bermacam-macam terhadap Iran itu

Saat itu Abdul Qadir Al Katiri Asy Syafii, yang mungkin ia dari Kurdistan, memeluk saya saat saya menerjemahkan kalimat-kalimatnya buat para mahasiswa, buat anak-anak SMA, anak-anak sekolah madrasah yang datang ingin tahu rupa dari revolusi dan dari kembalinya al Imam Ayatullah Ruhullah al Khameini itu berikut pengantarnya-pengantarnya.

Ooo begini rupanya, revolusi Iran ditulis secara lengkap oleh Prof Dr Nasir Tamara yang belum jadi profesor saat itu sekitar tahun '81. Dan saya menjadi terkejut juga ketika berkomentar, sampai saya tidak tahu lagi namanya,Ayatullah dari Iran itu yang berkata, "Kalian itu masih banyak yang terkungkung dengan kejahatan pers internasional. Sebab kalian hanya mendengar info yang dilansir dari koran-koran di Indoensia bahwa kami orang Iran memenjarakan ilmuwan-ilmuwan dari kalangan sunni. Bila anda datang kesana anda akan melihat sesuatu yang sama sekali berbeda bahwa kamilah yang menghormati ilmu dan menghormati para ilmuwan sunni yang kami posisikan pada tempatnya yang benar. Dia ilmuwan kami beri jatah mereka sebagai ilmuwan."

Pada jumpa pertama di tahun '81 di Jakarta di Kedutaan Iran itu saya mendengar info seperti ini. Dan betapa hebatnya, menurut perasaan saya, ketika dalam pemaparan yang menggebu-gebu itu beliau hanya membagikan-bagikan kepingan-kepingan seperti uang dari logam, kepingan logam itu yang bersimbolkan Masjidil Haram..ee Masjidil Aqsha. Bagaimana dengan Masjidil Aqsha?. Itulah tawaran mereka. 

Siapa yang berkuasa di sana sekarang ini?. Orang tahu Masjid Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah yang kedua-duanya masih dalam kekuasaan kaum muslimin, tapi bagaimana dengan Al Aqsha?.

Eee saya kira suatu pertanyaan yang dirasakan siapa saja,
"man lam yahtamma bi amril muslimina falaysa minhum." Itulah yang tersemat dalam ingatan saya.

Hadirin hadirot yang saya cintai saya mulyakan
Kesimpulan yang saya maksud saat itu, bila tujuan sama, bila jalannya sama, bila yang disembah sama, bila kitab sucinya sama, tetapi dalam kesamaan-kesamaan yang begitu mendominasi seluruh daerah pemikiran di dunia Islam, lalu dari sesuatu yang serba sama muncul tuduhan-tuduhan saling salah dan saling berbeda maka semua orang akan berkesimpulan tidak ada yang benar di dalam dunia Islam. Tidak ada lagi yang patut diikuti di dalam dunia Islam.

Kata syi'i, antum mukhtiin, ya sunniyin kamu ini orang salah semua hai ahli sunnah. Kata sunni kamu juga orang serba salah semua hai orang-orang syiah. Lalu datang pertanyaan bila kedua pihak cuma bisa menyalahkan lantas siapa yang benar?. 
(tepuk tangan)

Untuk Indonesia, saya kan masih ikut mengalami meskipun serba sedikit ya zaman pemberontakan PKI di tahun '65 itu. Sebelumnya kan muncul ke atas, yang mereka eluk-elukkan dengan sebutan Nasakom. Maafkan saya menyebut ini, dulu simbol mereka boleh didendangkan sedikit ya sesuai dengan lagu yang ada:
(menyanyi)

Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu
asakom satu cita sosialisme pasti jaya.
saya anak SD waktu itu
Iki piye iki piye iki piye
andang pangan larange koyo ngene
kibate salah urus ranok kabeh
ulo ayo diganyang wae
o saiki yo saiki yo saiki
es ono deklarasi ekonomi
enjata ampuh mitayani
anggo mbasmi kaum korupsi..
(tepuk tangan)

Lagu itu menyembul dari ranahnya orang-orang Komunis di Indoneisa. Tapi dengan begitu gesitnya, cerdiknya, dia menggabung ini NASAKOM dia bilang. Disini nasionalis, disini agama, disini komunis. Tapi ujung cerita kata Pak Jurmawel Ahmad sang auditur saat itu, "Anda berdua-dua menggencet agama, nasionalis hurufnya tiga, komunis hurufnya tiga, orang beragama hanya satu huruf, NASAKOM". 

Itu yg masih saya ingat di zaman itu. Kalau ini bolehlah dikritisi sebagai sesuatu yang saling bertabrakan untuk menjepit yang dibuat malang, nasionalisme agama komunis. Tapi kalo syii-sunni yang ini kiblatnya ya ada di kiblat di Mekkah yang ini Qur'annya Qur'anuna wahid, kalau main salah-salahan habislah semuanya. Itulah yang saya simpulkan saat itu. 

Makanya dalam pertemuan terakhir yang saya pikirkan saya sangat terpesona dengan apa yang saya bawa pulang ke Indonesia saat saya diundang ke Iran sana. Saya ketemu banyaknya ulama ahlussunah wal jamaah dan banyaknya ulama-ulama dari kalangan syiah yang semuanya sepakat untuk berkata "falaysia ma'na taqrib bi an yanqariba an sunni syiiyan wa an yanqariba syi'i sunniyan", arti taqrib itu bukan berarti secara total membuat suatu perubahan secara total sampai orang syii berubah menjadi sunni, atau sunni berubah menjadi syii, kata mereka. 

Saya terangkan, itu diungkapkan oleh puluhan ulama baik dari kalangan sunni maupun dari kalangan syi'i. Bahkan yang benar adalah dari perbedaaan-perbedaan bisa dicari persamaan-persamaan, dari persamaan-persamaan bisa dicari alat-alat persatuan.
Sambutan saya cuma sampai disini mudah-mudahan ada manfaatnya. Maafkan bila terkhilaf.
red: shodiq ramadhan

Thursday, 24 October 2013

SALAFI WAHABI SAMA DENGAN KAUM KHAWARIJ




Ibnu Abbas ra berkata: Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali (yaitu Ali bin Abi Thalib) kw (karamallah wajhah semoga Allah memuliakannya), berkumpul di satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak) kepada khalifah Ali.
Mereka ketika itu berjumlah 6000 orang.Sejak Khawarij membuat kelompok sendiri, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali kw melainkan dia berkata mengingatkan beliau: Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.
Beliau menjawab: Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali kw. Aku berkata: Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.
Ali bin Abi Thalib kw berkata: Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!
Ibnu Abbas ra: Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.
Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.
Ibnu Abbas ra berkata: Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh LUKA (HITAM) BEKAS SUJUD, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: Marhaban, wahai Ibnu Abbas. Apa gerangan yang membawamu kemari?
Aku (Ibnu Abbas ra) berkata: Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah Saw,[*] yang kepada merekalah Al-Qur'an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qurían daripada kalian.
[**] Dikutip dari kitab Talbis Iblis, karya Ibnul Qayyim al-Jauzi (Kitab Ahlus Sunnah)Catatan Kaki :[*] Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw[**] Yang dimaksud kata mereka dalam ayat yg disampaikan Ibnu Abbas ra adalah Ahlul-Bait as.Tolong diperhatikan sifat2 kaum Khawarij yg justru banyak ditiru oleh orang2 Wahabi-Salafi, berjidat hitam,karena saking sering sujud, celana cingkrang, dsb yg menunjukkan pemahaman LITERAL mereka terhadap al-Quran maupun Hadis.

Wednesday, 23 October 2013

ISLAM KITA, BUKAN ISLAM TIMUR TENGAH

Lukisan Karikatur Ultah teman di Singapore
Lukisan di gunakan KPU sejak 2004





Sebelum ngantor, melukis dulu..



Yogyakarta, NU Online
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Mustofa Bisri kembali menegaskan perbedaan antara muslimin Indonesia dan Arab Saudi. Meski keduanya menganut agama yang sama tapi masing-masing memiliki kekhasan budaya.

“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10).
Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.


“Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya 
mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin.

Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah Air.
Turut mengisi pada acara ini dalang Wayang Suket Slamet Gundono, Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) Tegalrejo, Romo Sindunata, Kirun, Marwoto, Den baguse Ngarso, Djadug dan lainya.
(Muyassaroh Hafidzoh/Mahbib)