KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday 25 December 2013

PENGAMANAN NATAL SUDAH SESUAI SYARI'AH




Pada hari Natal kita ummat Islam dilelahkan dengan perdebatan-perdebatan seputar Natal. Secara logika cukup aneh, wong mereka yang merayakan tapi kita yang teributkan. Ini belum ditambah hujatan sebagian golongan ke semisal Banser NU yang mengamankan beberapa gereja saat Misa

Aku tidak tahu, hujatan ini dilancarkan apa sebab saking nggak senengnya ke NU atau apa sebab melanggar syariat. Jika tidak suka dengan NU, maka bukan bahasan, namanya orang nggak seneng apa saja yang dilakuin walau baik ya tetap nggak seneng. Tapi jika menghujat atas dasar tudingan bahwa yang dilakukan Banser NU itu menyalahi syariat, maka ini saatnya mempreteli hal itu

Apa benar ataukah salah Banser NU mengamankan Misa? Sebab ada dialog seperti ini (yang cukup tidak logis dan tak sesuai kaidah mantiq):

Bagaimana hukum menjaga orang berzina? “Haram.”
Berat mana dosa zina dengan dosa syirik? “Berat syirik.”
Berarti bagaimana hukum menjaga keamanan orang berbuat kesyirikan? “Lebih haram.”

Dialog yang muqaddimah sughra dan kubra tidak nyambung. Dan tentu saja menghasilkan natijah (kesimpulan dialog) yang kacau dan tidak atas dasar dalil. Sangat tertolak secara ilmiah, karena jika memaksakan logika dalam dialog itu bisa jadi Rasulullah Saw. berdosa besar sebab beliau mengijinkan pendeta-pendeta Nasrani Najran untuk melakukan ritualnya di Masjid Nabawi.

Ketahuan sekali pengarang dialog tadi tidak memahami sejarah Nabi Saw. dengan baik. Soal Banser NU menjaga keamanan Misa jika boleh diperkuat dengan dalil akan sangat bisa kita baca dengan jelas di QS. al-Hajj ayat 40:

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Bahwa permasalahannya adalah bukan mensetujui misa itu secara akidah, namun mengamankan manusianya. Dan kemanusiaan adalah inti dari segala hal yang diatur dan ditetapkan dalam syariah. Jadi kalau boleh pinjam istilah, justru Banser NU ini sedang tathbiq syariah.

Maka menyalahkan atau menghujat Banser NU sebab menjaga misa jika dipelajari lebih dalam adalah bukan soal benar tidak secara hokum. Tetapi lebih pada ketidaksukaan klasik kepada organisasi berbasis orang-orang pesantren ini. Tidak lebih tidak kurang dan juga tidak suudzann. Hanya saja dibungkus dengan isu berbau SARA yang memang disukai oleh para pengacau keamanan itu yang sudah berani pakai atribut jubah dan jenggot .

Alhasil, kembali kepada bahasan Syar’i mengamankan-mengamankan ini, jika kita mempelajari sikap Nabi Saw. pada non Muslim yang tidak memerangi adalah membiarkan mereka dengan ritual-ritualnya. Bahkan saat perang pun Nabi Saw. berpesan untuk jangan membunuh yang sedang ibadah di rumah-rumah ibadah.

Makanya sering saya katakan bahwa mereka yang mengaku Muslim namun beraksi membakar atau meledakkan tempat ibadah artinya melawan al-Quran dan secara spesifik pada ayat 40 dalam QS. al-Hajj tadi. Lagi pula tak ada satupun dalil di al-Quran atau as-Sunnah memerintahkan membakar gereja misalkan. Yang ada malah perintah membakar masjid yang sengaja didirikan untuk memecah belah semisal kasus masjid Dhirar di Madinah. (Oleh: Al-Ustadz Qultu Män Änà)

Wallahu al-Musta’an A’lam
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 26 Desember 2013

Tuesday 24 December 2013

MENGHINA AGAMA LAIN, SAMA SAJA MENGHINA AGAMA SENDIRI

Solo, NU Online
Tindakan perusakan tempat ibadah pemeluk lain agama oleh sekelompok orang, menodai nama baik agama Islam. Karena, umat Islam selama ini menebarkan nilai-nilai Islam yang merahmati segenap umat beragama termasuk menghargai praktik ibadah dan rumah ibadah mereka.

Demikian dinyatakan Pengasuh Pesantren Al-Inshof KH Abdullah Saad menanggapi bentuk pengamanan yang diadakan Ansor dan Banser untuk umat agama lain. “Sebab apabila mereka melakukan perusakan terhadap tempat ibadah agama lain, ini akan merusak citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin,” ungkapnya.

“Sebetulnya pengamanan ini perlu, justru untuk menjaga dan menyelematkan umat Islam sendiri,” terang Kiai Abdullah Saad.

Sementara itu PC GP Ansor Solo turut mengamankan perayaan Natal dan tahun baru 2014 di tiap gereja yang dinilai rawan. Dari hasil rapat koordinasi dengan Polres, Ketua GP Ansor Solo Muhammad Anwar akan menempatkan anggotanya di 16 Gereja yang jadi prioritas.

"Kita kemarin sudah koordinasi dengan Polresta soal pengamanan Natal. Fokusnya di 16 gereja. Nanti kami akan menempatkan 4 anggota Ansor di tiap Gereja yang jadi fokus," terangnya, Senin (23/12) malam.

Selain di gereja, pihaknya juga menyiagakan anggota Ansor di tiap PAC GP Ansor. Untuk tahun ini sebanyak 60 anggota Ansor disiagakan di gereja. Jumlah ini hampir sama dengan tahun sebelumnya, pungkas Anwar. (Ajie Najmuddin/Alhafiz K)

Wednesday 18 December 2013

TANPA TASAWUF, ISLAMNYA BELUM SEMPURNA



Jakarta, NU Online
Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah asuhan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj hari ini, Kamis (19/12), membuka Kursus Singkat Tasawuf sebagai Etika Sosial. Peserta kursus ialah pengasuh pesantren, ustadz, dan santri utusan dari berbagai pesantren di Jakarta dan sekitarnya.
Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pesantren Al-Tsaqafah dan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementrian Agama RI. Pembukaan kegiatan ini disaksikan KH Said Aqil Siroj, seorang narasumber KH Wahfiyudin, dan Kasie Ketenagaan Subdit PD Pontren Kemenag RI Suwendi.
Latar belakang kursus ini adalah bahwa tasawuf merupakan sebuah misi kemanusiaan yang menggenapi misi Islam secara kaffah baik dari dimensi iman, islam, maupun ihsannya. Karenanya, Yayasan Said Aqil Siroj (SAS) Pondok 
Pesantren Luhur al-Tsaqafah berupaya menjadi mediator dan fasilitator dalam membumikan tasawuf sebagai etika sosial.
Tema Tasawuf sebagai Etika Sosial merupakan bentuk refleksi dari upaya memperkuat pola pikir tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), i'tidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran) dalam Islam.
Tasawuf ditinjau kembali dari dimensi partikularnya, yang hanya sebatas ritual dan kesalehan individu. Tasawuf selanjutnya menempati posisi sebagai aktualisasi dimensi ihsan. Dalam praktik umat Islam sehari-hari, dimensi ihsan ini diwujudkan dalam bentuk dan pola beragama.
Melalui ini, Pesantren Al-Tsaqafah berupaya menjadikan tasawuf sebagai metodologi dalam memahami realitas sosial sekaligus sebagai kritik sosial,î kata Kiai Said dalam sambutannya di Pesantren Al-Tsaqafah jalan M Kahfi I nomor 22 Cipedak Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).
Ketua Panitia Ashif Shofiyullah mengatakan, bicara etika dalam Islam berarti berbicara tentang prinsip pokok dan misi dasar Islam sebagai agama bumi yang diturunkan oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
Urgensi tasawuf dengan menelaah dan meninjaunya kembali melalui perspektif universalitas dan partikularitasnya sebagai sebuah disiplin ilmu yang menitikberatkan pada nilai, menemukan konteksnya, ujar Ashif. 
(Muhammad Idris Masudi/Alhafiz K)

Wednesday 4 December 2013

NGAJI TANPA GURU "GURUNYA SETAN"

Surabaya, NU Online
Di dunia pesantren, ada ragam ketimpangan yang terjadi. Setidaknya ada beberapa hal yang patut didiskusikan. Pertama, pemaknaan kiai dan ulama. Persoalan ini harus dipahami secara mendalam agar tidak menimbulkan ketimpangan baru.
Hal ini dikatakan Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir saat menjadi pembicara sesi kedua pada Halaqah Ulama yang dihelat oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI di Hotel Singgasana Jl Gunungsari Surabaya, (2/12), siang.
Kiai Afif menjelaskan, antara kiai dan ulama memiliki perbedaan signifikan, baik khusus maupun umum.
Menurut saya, ulama itu adalah man jamaía baina al-khasyyah wa al-fiqh (orang yang menggabungkan antara ketakutan kepada Allah dengan keilmuan mendalam). Sementara kiai belum tentu ulama. Mereka kadang keilmuannya tak mendalam apalagi takut kepada Allah, jelas Kiai Afif.
Di Madura, lanjutnya, banyak kiai namun tak layak disebut ulama lantaran keilmuannya sangat tidak mumpuni. Sementara di tempat lain ada yang kualitas keilmuan sangat tinggi namun justru tidak disebut kiai, seperti Prof Dr M Quraish Shihab yang terkenal sebagai mufassir Indonesia abad ini.
Saya kira, topik diskusi hari ini bukan meningkatkan pesantren, tapi mengembalikan nilai-nilai yang hilang (dari pesantren-red), tegas Wakil Pengasuh Bagian Ilmiah Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo Jawa Timur ini.
Menurutnya, ketimpangan yang mendasar di pesantren ada tiga. Pertama, musykilat al-futhur al-himam. Sekarang ini banyak pesantren yang memiliki sekolah formal para santrinya justru mengatakan sekolah sambil mengaji, bukan sebaliknya, mengaji sambil sekolah. Jadi, adanya kesalahan niat ini menjadikan para santri gamang. Sehingga yang jarang bercita-cita tinggi untuk menjadi ulama seperti Mbah Hasyim Asy’ari, apalagi seperti ulama sekaliber Imam Syafi’i.

Yang kedua, lanjutnya, musykilat al-mutalaqqi. Dari siapa orang mendapat ilmu? Ada yang menjawab dari internet, dari buku, dan lainnya. Menurut Kiai Afif, Khudhori Beik dalam kitab Tarikh Tasyrií al-Islamiy berpendapat bahwa kitab tidak layak dijadikan guru. Yang menjadi guru harus manusia, khususnya yang memiliki kebaikan dan kesantunan.
Jika tidak berguru, bukan tidak mungkin gurunya adalah setan. Dampaknya adalah kesalahpahaman terhadap ilmu tersebut. Pada dasarnya, ilmu yang mestinya indah menjadi tidak indah lantaran tidak disampaikan dengan indah, ujarnya.
Yang ketiga, tambahnya, musykilat al-kutub al-muqarrarah. Baginya, kriteria kitab kuning (Kutub al-Turats) musti dipahami. Mengutip pendapat mufti Mesir, kutub al-turats adalah kitab yang dikarang kira-kira 100 tahun silam. 
(ali musthofa asrori/mukafi niam)

MURAHNYA TAUBAT DENGAN SHOLAWAT





Pada malam Miíroj, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadist qudsi, saat Rasulullah sedang melakukan perjalanan di dampingi Malaikat Jibril, tiba-tiba ada sesosok malaikat yang jatuh didepan beliau. Bulu-bulu malaikat itu telah rontok dan bentuk amat berbeda dengan kebanyakan malaikat lain.
Beliau pun terkejut, dan bertanya pada Jibril:

Ya Jibril, siapa malaikat ini?
Ia adalah malaikat yang termasuk dalam golongan malaikat muqarrabin,î tegas Jibril. Malaikat muqarrabin merupakan malaikat-malaikat yang sangat dekat dengan Allah SWT.
Apa yang telah terjadi padanya?, tanya Rasulullah kemudian.

Jibril terdiam sejenak. Lalu Jibril pun bertutur:
Suatu saat, malaikat yang termasuk dalam golongan malaikat muqarrabin† itu di utus oleh Allah untuk menghancurkan suatu kaum yang durhaka pada Allah, namun ia menolaknyaî.
Aku tak kuasa melakukannya, Tuhanku. Aku kasihan pada mereka. Di antara mereka ada anak-anak kecil dan kaum wanita yang tak berdaya. Aku tak sanggup melakukannya, Tuhanku. Maafkan aku, ujarnya sambil menangis.
Mendengar penolakannya itu Allah pun murka. Hal itu berlangsung hingga empat ribu tahun lamanya. Keadaanya pun cukup mengedihkan, seperti telah di saksikan Rasulullah dalam perjalanan Miíroj-nya itu.

Rasulullah pun trenyuh mendengarnya.
Apakah tak ada taubat baginya, wahai Jibril?
Ada, Muhammad. Allah telah mewahyukan padaku, bahwa taubatnya akan diterima jika ia menyampaikan shalawat untukmu sebanyak sepuluh kali, ungkap Jibril.

Maka malaikat itupun bershalawat untuk Rasulullah sebanyak 10 kali. Sesaat kemudian, malaikat itu kembali ke tempat semula. Dan ia dikaruniai 70 ribu wajah. Pada setiap wajahnya terdapat 70 ribu mulut. Sedangkan pada tiap mulut itu masing-masing terdapat 70 ribu lisan. Lisan-lisan itu bertasbih pada Allah sebanyak 70 ribu tasbih.
Tak hanya itu, dari tasbih-tasbih yang dilantunkan oleh lisan-lisan itu terciptalah malaikat, dimana malaikat-malaikat itu akan memohonkan ampunan Allah untuk orang-orang yang bershalawat padamu.

Demikianlah, orang-orang yang membaca shalawat untuk Rasulullah akan dimintakan ampunan oleh malaikat. Betapa besar karunia Allah pada yang melantunkan shalawat untuk kekasih-Nya itu.* 

Dari Buku Rahasia Shalawat Rasulullah saw 
(M. Syukron Maksum,Ahmad fathoni el-Kaysi)
penerbit : Mutiara Media
(Khazinatul Asrar karya Muhammad Haqqi an-Naziliy)


NU DAN TAREKAT ( Bag.5 Habis) Mazhab Ali



Tasawuf: Mazhab Ali.
Ketika menjelaskan arti tasawuf, Al-Suhrawardi mengutip sabda Rasulullah saw., Perumpamaan risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk dan ilmu seperti hujan deras yang jatuh ke bumi. Ada sebagian dari bumi yang menerima air dan menumbuhkan tanaman dan pohon-pohonan yang banyak. Ada sebagian lagi yang menyerap, menampung air, yang dengan air itu Allah memberikan manfaat kepada manusia. Dari air itulah mereka minum, menyiram, dan bercocok tanam. 
Ada juga bagian bumi lain yang gersang, tidak dapat menampung air, dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah, (yang pertama adalah) perumpamaan orang yang mengerti agama Allah dan memperoleh manfaat dari risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk ilmu. (Yang kedua adalah) perumpamaan orang yang tidak mau memerhatikan dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.

Kemudian, ia menjelaskan hadits itu: Untuk menerima apa yang dibawa Rasulullah saw., Tuhan telah mempersiapkan hati yang paling suci dan diri yang paling bersih. Maka, tampaklah perbedaan tingkat kesucian dan kebersihan karena perbedaan faidah dan manfaat. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah yang baik, subur dengan pepohonan dan tanaman. Inilah hati orang yang memperoleh manfaat dari ilmunya untuk dirinya dan memperoleh petunjuk. Ilmunya berguna bagi dia, membimbingnya ke jalan yang lurus dengan mengikuti Rasulullah saw. 
Ada hati yang kedudukannya seperti tanah penyerap (akhadzat), yaitu seperti kolam, ia mengumpulkan dan menampung air. Inilah perumpamaan kebersihan diri para ulama yang zahid dari kalangan sufi dan syuyukh (guru-guru sufi) serta kesucian hati mereka. Hati mereka berlimpah dengan faedah dan jadilah mereka akhadzat. Masruq berkata, Aku pernah bergaul dengan sahabat Nabi saw. Aku dapatkan mereka itu seperti akhadzat. Hati mereka menjadi penyimpan ilmu dan diberi kesucian pemahaman.

Untuk memberi contoh hati yang menyimpan, Al-Suhrawardi membawakan hadits Nabi saw. Ketika turun ayat, Agar kamu jadikan peristiwa itu pelajaran dan agar disimpan oleh telinga yang bersifat penyimpan. (QS 69: 12). Telinga yang bersifat penyimpanan adalah terjemahan yang kurang tepat untuk udzunun wa’iyyah. Wa’iyyah bermakna mengandung, yang menyimpan, yang memeilihara dalam ingatan, yang mengingat, yang mengetahui dengan hati, yang menyadari, yang memperhatikan, yang melihat dengan jelas.

Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, Aku bermohon kepada Allah Swt. agar Dia menjadikan telinga penyimpanan itu adalah telingamu. Kata Ali, Sejak itu, aku tidak pernah melupakan apa pun. Tidaklah mungkin bagiku untuk lupa. Kata Abu Bakar Al-Wasithi, Itulah telinga yang menyimpan rahasia Allah. (Lihat Abdul Qahir Al-Suhrawardi, Awarif Al-Maíaraif, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, 1983: 12-13).

Para sahabat Nabi saw., kata Masruq, mempunyai hati yang wa’iyyah. Dalama kemampuan menyimpan rahasia Allah, di antara mereka, Ali bin Abi Thalib adalah puncaknya. Ia digelari Taj Al-Arifin atau mahkota orang-orang arif. Ia disebut oleh mahagurunya, yaitu Rasulullah saw. sebagai pintu kota ilmu. Beliau bersabda, Aku kota ilmu dan Ali pintunya. Siapa yang menginginkan ilmu, datangilah pintunya. Siapa yang datang tidak melewati pintu, ia dihitung sebagai pencuri dan ia menjadi tentara iblis. (Lihat Al-Hakim dalam Mustadarak, 3: 126; Al-Khatib, Tarikh Baghdad, 2:377; Al-Qanzudi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm 183; Ibnu Hajar, Shawaíiq Al-Muhriqah, hlm 37; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wal Nihayah, 7: 358; Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-íUmmal, 5: 30, dan sebagainya). Ia menyimpan rahasia Allah Swt. yang disampaikan kepadanya oleh Rasulullah saw. yang mulia, atau yang ia peroleh selama perjalannya menuju Allah Swt.

Rasulullah saw. dididik Allah Swt. secara langsung. Kepada beliau berguru Ali bin Abi Thalib. Kepada beliau dan Ali berguru para sahabat Nabi untuk memperoleh petunjuk dalam mengarungi samudera Ilahi. Abu Bakar ra. berkata, Tinggalkan aku. Aku bukan yang paling baik di antara kamu selama ada Ali di tengah-tengah kamu. Ucapan ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati yang berbicara, tetapi juga menunjukkan keutaman orang yang dibicarakannya. Berkata At-Tirmidzi, yang meriwayatkan hadist ini, Ia (Abu Bakar) mengatakan itu karena ia tahu keadaan Ali kw. dan martabatnya dalam khilafah sebenarnya, yang pokok dan yang pasti, berdasarkan urutan, secara hakikat, menurut akal, dan atas keterikatan kepada Allah Swt. (takhallufan, wa tahaqquqan, wa ta’aqquqan, wa ta’alluqan) (Lihat Al-Bahrani, Ghayat Al-Maram, bab 53).

Umar berkata, Tentang Ali, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda dan menyebut tiga hal. Sekiranya satu saja dari yang tiga itu berkenaan dengan aku, ia lebih berharga dari apa pun yang dinaungi cahaya matahari. Waktu itu, aku berada bersama Abu Ubadah, Abu Bakar, dan banyak sahabat lainnya. Tiba-tiba Nabi saw. menepuk bahu Ali seraya berkata, wahai Ali. Kamu adalah Mukmin yang pertama beriman, Muslim yang pertama berisalam, dan kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa. (Ibnu Ali Al-Hadid, Syarh Najh Al-Balaghah. Al-Khawarizmi juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Manaqib).

Tidak cukup tempat dalam tulisan ini untuk memuat penilaian sahabat lain tentang Ali. Cukuplah di sini dikutip ucapan Muíawiyah, yang sepanjang hidupnya memusuhi Ali. Sekali waktu, demi menyenangkan hati Muíawiyyah, Al-Dhabi menceritakan kedatangannya dari pertemuan dengan Ali, Aku datang kepadamu dari manusia yang paling bakhil (maksudnya Ali).î Di luar dugaan, Mu’awiyyah berkata, ìCelakalah kamu. Bagaimana mungkin kamu menyebut dia manusia yang paling bakhil, padahal sekiranya ia memiliki rumah dari emas dan rumah dari jerami, ia akan memberikan rumah emasnya sebelum rumah jeraminya. Dia sendiri yang menyapu Baitul Mal dan melakukan shalat di dalamnya. Dia juga yang berbicara kepada emas dan perak, Wahai kuning dan putih. Tipulah orang selainku, Dialah yang tidak akan meninggalkan warisan, walaupun seluruh dunia menjadi miliknya.

Sebenarnya, Mu’awiyah hanya mengulang apa yang pernah dilaporkan kepadanya oleh Dhahar bin Dhamrah. Ketika Dhahar berada di istana Mu’awiyah, ia diminta untuk menceritakan sifat-sifat Ali. Anda tahu, pada waktu itu, Mu’awiyah mengharuskan para khatib Jumat mengutuk Ali di mimbar-mimbar dan menghukum orang yang tidak mau melakukannya. Siapa saja yang memuji Ali, maka ia akan dianggap subversif. Bahkan diam saja, tidak mengecam Ali, akan dipandang menentang penguasa. Misalnya, Hujur bin Adi dan kawan-kawannya, mereka dihukum mati (sebagian dikubur hidup-hidup) karena tidak mau mengutuk Ali pada waktu shalat Jumat. Dalam kadaan seperti itu, tentu saja Dharar keberatan. Jika ia menceritakan yang sebenarnya, ia akan dianggap memuji dan mengkultuskan Ali. Bagi yang tidak senang bunga mawar, menyebut mawar itu harus sudah dianggap pujian, padahal harum adalah sifat mawar.

‘Bebaskan saya,’ kata dharar, Tidak akan aku bebaskan,’ tegas Mu’awiyah. Berkatalah Dharar, Jika harus tetap aku ucapkan juga demi Allah Ali adalah orang yang cendikia lagi perkasa, berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari segenap pribadinya. Hikmah berbicara dari seluruh dirinya. Ia menjauhkan diri dari dunia dengan segala perhiasannya. Ia menyendiri di malam hari bersama kegelapannya. Ia demi Allah banyak berurai air mata dan banyak berpikir. Ia membolak-balik tangannya seraya meneysali dirinya. Ia senang pakaian yang kasar dan makanan yang keras. Ia, demi Allah, seperti orang kebayakan. Jika kita minta tolong, ia memenuhinya. Jika kita undang, ia mendatanginya. 

Walaupun begitu, demi Allah, walaupun ia dekat dan akrab dengan kami, kami tidak sanggup berbicara kepadanya karena kewibawannya. Kami tak mampu mulai berkata karena kemuliannya. Jika ia tersenyum, senyumnya bagaikan untaian mutiara. Ia memuliakan ahli agam. Ia mencintai orang miskin. Di hadapannya, yang kuat tidak mau melakukan kebatilan, dan yang lemah tidak putus asa akan keadilan. Aku bersaksi kepada Allah, aku pernah menyaksikannya dalam bberapa penggalan malam. Ketika malam sudah menjulurkan tirainya, gemintang sudah tenggelam, ia berada di mihrab shalatnya. Ia memegang janggutnya. Ia menggigil seperti orang sakit yang menderita demam. Ia menangis seperti tangisan orang yang menderita. Seakan-akan masih kudengar ia berkata, ëHai dunia, tipulah orang selainku. Di depanku kamu berhias? Di hadapanku kamu mencumbu? Menjauhlah dariku. Aku sudah mentalakmu tiga kali. Tidak mungkin lagi rujuk. Usiamu singkat. Hidupmu rendah. Bahayamu besar. Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan.

Dalam keluhan Ali, Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan tercermin makna tasawuf. Al-Suhrawardi menghimpun banyak definisi tentang tasawuf dan mengakhirinya dengan mengatakan, Pendapat para guru sufi tentang definisi tasawuf lebih dari seribu. Akan terlalu panjang mengutipnya. Di sini, cukuplah bagi kita menjelaskan tasawuf tidak dengan definisi, tetapi dengan perilaku dan ucapan Ali. Lalu mengapa tidak mencontoh Rasulullah saw. saja secara langsung?



Mengapa Harus Mencontoh Ali?

Ada dua jawaban: yang sederhana dan yang sulit. Pertama, yang sederhana. Dari manakah kita belajar sunnah Nabi? Jawabnya, dari para sahabat. Dari Aisyah ra., kita tahu bahwa Rasulullah saw. menangis ketika melakukan shalat malam sampai janggut beliau menjadi basah. Dari Umar ra., kita tahu kalau Nabi saw. berbaring pada tikar yang kasar sehingga tikar itu meninggalkan bakas pada wajahnya. Dari Ibnu ëAbbas ra., kita tahu kalau Rasulullah saw. pernah menjama’ shalat Zuhur dan Asahr di Madinah bukan karena sakit, bukan karena bepergian, dan bukan karena hujan. Hanya melalui ucapan dan perilaku sahabatlah kita dapat meneladani sunnah-sunnah beliau.
Walhasil, Anda tidak dapat mencontoh Rasulullah saw. secara langsung. Karena itulah, untuk memperoleh petunjuk jalan dalam safar ruhani kita yang panjang, ikutilah Ali. Ia pasti sudah mengikuti Rasulullah saw. Kalimat yang benar bukan pertanyaan, Apakah kita meneladani Nabi saw. atau Ali? Yang benar adalah pernyataan, Kita meneladani Nabi saw. dengan meneladani Ali.

Jawaban kedua agak sulit dijelaskan. Ketika saya ingin mengikuti Imam Ali, Anda pasti bertanya mengapa tidak mengikuti Rasulullah saw. saja? Baiklah, Anda mengikuti Rasulullah saw. Saya pun akan balik bertanya, Mengapa tidak mengikuti Allah saja? Pertanyaan semacam ini pernah diajukan kepada saya, ketika saya mendirikan Pesantren Muthahhari. Saya ingin mendidik para santri agar mereka kelak menjadi ulama seperti Muthahhari: pemikir, aktivis, ahli agama, dan ahli ilmu sekaligus. Kawan saya menegur, mengapa tidak langsung mencontoh Nabi Muhammad saw. saja? Ketika saudara saya mengikuti Imam Syafiíi, ia juga bertanya, mengapa tidak mengikuti Nabi saw. saja.

Saya menjawab kalau Rasulullah saw. adalah sumber syariat yang kedua setelah Allah. Pada Allah dan Rasul-Nya berpangkal semua pemahaman kita tentang agama. Allah dan Rasul-Nya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah air hujan yang turun drai langit. Kita adalh tanah yang menerima tetesan dan curahan hujan itu. Di antara bidang-bidang tanah itu ada petak demo yang menjadi percontohan bagi tanah-tanah yang lain. Perilaku Rasulullah saw. adalah sunnah. Kita mengamalkan pemahaman kita tentang sunnah. Sebagaimana tanah yang memiliki kemampuan menampung air yang berbeda, seperti itulah penerimaan kita pada sunnah. Sepanjang sejarah, kaum Mukmin berusaha memahami dan menjalankan sunnah Nabi saw. Sebagian kecil dari mereka ada yang sudah memahami sunnah dengan baik, menjadi akhadzat. Mereka mengamalkan sunnah itu dalam kehidupannya, dan sebagian besar kaum Mukmin mencontoh mereka yang disebut pertama. Dari madrasah Nabi saw., murid tladan yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib. Kepadanya para sahabat merujuk. “Law la Ali, lahalak Umar, kata Umar bin Khathab.Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar.

Ketika kawan saya tidak paham atau tidak mau paham, saya hrus menjelaskannya dengan konsep isnad dalam ilmu hadits atau silsilah dalam tarekat.

Perhatikan hadits Nabi saw. berikut, ìPerumpamaanku dan perumpamaan apa yang aku bawa seperti lelaki yang mendatangi kaumnya: Hai kaumku, aku melihat pasukan musuh dengan mataku sendiri. Al-Suhrawardi menurunkan hadits ini dalam kitab ëAwarif Al-Maíarif. Ia menerima hadits itu dari Al-Husain bin Muhammad Al-zaini, yang menerimanya dari Karimah binti Ahmad, dari Abu Al-Haitsam, dari Muhammad bin Yusuf Al-farbari, dari Muhammad bin Ismaíil Al-Bukhari. 

Al-Bukhari menerimanya dari Abu Akrib, dari Abu Usamah, dari Abu Barid, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Anshari, dari Rasulullah saw. Rangkaian nama yang panjang ini disebut sanad. Untuk pertanggungjawaban ilmiah, Al-Suhrawardi tidak langsung mengatakan ia mendengar hadits dari Nabi saw. Ia merinci jalur periwayatan hadits itu dari gurunya, dari guru gurunya, dan seterusnya. Tidak ada agama tanpa isnad, kata ahli hadits. Cukuplah meniru Nabi saw., tidak perlu meniru Muthahhari, kata kawan saya.


Dalam tarekat, sanad itu disebut silsilahómata rantai yang menghubungkan guru kita dan guru-guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah saw. Misalnya silsilah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabadiyyah, ada guru-guru yang sampai kepada Ali Ar-Ridha. Ia menerima dari ayahnya, kakeknya, sampai kepada Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Dari Ali Ar-Ridha, tarikat Qadariyah-Naqsyabandiyyah bersambung dengan apa yang dikenal sebagai silsilah emas (al-silsilah al-dzahabiyyah), yaitu untaian mata rantai keluarga Nabi saw. yang terkenal dalam kemakrifatannya dan kesalehannya. Inilah rangkaian imam yang oleh Nabi saw. disebut Safinah Nuh (Perahu Nuh) dan gemintang umat. 

Terekat yang tidak bersambung kepada Rasulullah saw. tidak boleh diikuti. Ikutilah guru (mursyid), yang memperoleh ilmunya dari rangkaian guru yang bersambung kepada Ali bin Abi Thalib dan sampai kepada Rasulullah saw., kata pengikut tarekat. Kawan saya masih bertanya, ìMengapa harus melewati rantai yang panjang? Ikuti saja langsung Rasulullah saw.? Mengapa harus melewati Ali? Saya tidak bisa menjelaskan lagi keculai mengatakan peribahasa Melayu lama: mengeja dari awal, mengaji dari alif.
ìTinggalkan semua hal yang berkaitan dengan guru atau keharusan mengikuti Ali. Yang jelas, tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah. Pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya, tidak dikenal kata tasawuf. Jadi, untuk apa mengikuti tasawuf, siapa pun gurunya, atau siapa pun imamnya. Tugas kita adalah menjalankan Al-Quran dan sunnah. Titik. Tidak perlu nama-nama itu, argumen kawan saya yang lain.

Betul, kata tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah secara spesifik, sebagaimana juga kata ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tauhid, rkun iman, atau rukun Islam. Apakah karena tidak ada kata tauhid dalam Al-Quran dan sunnah, akidah kita tidak perlu ditegakkan di atas dasar tauhid? Apakah karena tidak ada kata fikih dalam Al-Quran dan sunnah, kita tidak perlu memelajarinya? Anda lupa bahwa ilmu tasawuf, seperti juga fikih, tafsir, dan tauhid muncul dan berkembang dari upaya umat Islam untuk menjalankan Al-Quran dan sunnah?

Wassalam


Monday 2 December 2013

NU DAN TAREKAT (Bag.4)


H. M. Soeharto  saat mengunjungi KH. Abah Anom, 
Musyid Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah
di Ponpes Suryalaya-Tasikmalaya Jawa Barat

Tasawuf: Mazhab Cinta.

Cinta dan kerinduan, adalah inti keberagamaan yang disebut tasawuf. Apa arti cinta? Dalam bahasa Arab, cinta disebut hubb. Kata Abdurrahman Al-Sulami, seorang sufi besar abad ke-5, Hubb terdiri dari dua huruf, ha dan ba. Ha adalah huruf akhir pada ruh, dan ba adalah huruf awal pada kata badan. Badan menjadi ruh tanpa badan. Badan menjadi badan tanpa ruh. Segala sesuatu bisa dijelaskan kecuali cinta. Cinta itu terlalu lembut dan terlalu halus untuk diterangkan. Karena itulah, Allah Swt. menciptakan malaikat untuk berkhidmat, jin untuk kekuasaan, setan untuk laknat, dan menciptakan para arif untuk cinta. Saya juga tidak mengerti apa yang dimaksud Al-Sulami. Simpanlah ini untuk bahan renungan Anda.

Akan tetapi, Al-Sulami memberikan anekdot-anekdot sufi tentang cinta. Junaid Al-Baghdadi, salah seorang sufi terkemuka, menjelaskan cinta dengan cinta. Aku melihat seorang anak memukuli orang tua. Tetapi orang tua itu hanya tertawa. Aku bertanya, Mengapa Anda tertawa?  Orang tua itu menjawab, Bagaimana aku tidak tertawa, tangannya ruhku, cambuknya hatiku, hidupnya hidupku. Bagaimana mungkin aku mengadukan diriku kepada diriku?

Pada waktu yang lain, Abul Al-Husain Al-Nuri bertanya kepada Junaid tentang cinta yang menjadi dasar tasawuf. Kata Junaid, Akan aku kisahkan sebuah cerita. Pada suatu hari aku bersama sekelompok orang berada di kebun. Kami menunggu seseorang yang akan menemui kami. Orang itu rupanya datang terlambat. Kami pun naik untuk melihat-lihat. Tiba-tiba kami melihat ada orang buta berjalan bersama anak yang sangat cantik sekali rupanya. Orang buta itu berkata, Engkau perintahkan aku begini dan begini. Semuanya aku lakukan. Engkau melarang, semuanya aku tinggalkan. Aku tidak pernah membantahku. Sekarang, apa lagi yang engkau inginkan? Anak itu menjawab, Aku ingin engkau mati. Si buta itu pun berkata, Baiklah. Aku akan mati. Lalu ia berbaring dan menutup wajahnya. Aku pun berkata kepada sahabat-sahabatku, Lihat, si buta itu tidak bergerak sama skali. Keadaannya seperti sudah mati. Padahal tidak mungkin ia mati. Kami segera menghampirinya. Kami gerak-gerakkan tubuhnya. Ia betul-betul telah mati.

Kisah-kisah Junaid Al-Baghdadi tampaknya sukar kita cerna. Marilah kita ngatkan Dzunnun Al-Mishri. Ia berkunjung kepada orang sakit dan ia dapatkan si sakit sedang mengaduh. Dzunnun berkata,  Tidak sejati ia mencintai jika tidak sabar akan pukulannya. Si sakit berkata, Tidak sabar dalam mencintai jika tidak menikmati pukulannya. Dari sudut rumah ada suara, Tidaklah mncintai Kami secara sejati orang yang masih mengharap kecintaan selain Kami. Ketika ditanya bagaimana ia mencintai sahabatnya, ia menjawab, Jika aku melihatnya, aku ingin agar aku tidak melihat apa pun selain dia. Jika aku mendengar suaranya, aku ingin tidak mendengar apa pun selain suaranya. Al-Mutanabbi bersyair, Sekiranya aku bisa mengendalikan mataku, aku tidak akan membukanya kecuali ketika melihatmu.

Kita akhiri perbincangan tentang cinta dengan penjelasan singkat dari Al-Syibli (walaupun katanya, cinta itu tidak dapat dijelaskan). Ia berkata, Hakikat cinta adalah engkau berikan seluruh dirimu kepada yang engaku cintai sehingga tidak tersisa milikmu padamu sedikit pun.

Memang, semua sufi sepakat bahwa tasawuf adalah mazhab cinta. Tetapi cinta adalah maqam tertinggi dalam perjalanan tasawuf. Dan memang, cinta sangat sulit untuk dijelaskan. Cintaódengan memakai istilah filosof agama, Truebloodóbukanlah ìa matter of contemplatoin (sesuatu untuk direnungkan). Cinta adalah ”a matter of enjoyment” (sesuatu untuk dinikmati). Karena itu, sebaiknya kita melihat tasawuf dalam artinya yang paling sederhana dan rujukannya dalam hadits-hadits Rasulullah saw.

Wassalam.


Sunday 1 December 2013

NU DAN TAREKAT AHLUL BAIT ( Bag 3 )


Habib Muhammad Luthfi bin Hasyim bin Yahya Pekalongan
Pemimpin Tharekat Al-Muktabarah An Nahdliyah bersama dr. Rahmat Efendi Walikota Bekasi



TAREKAT AHLUL BAIT

Apa sebetulnya tarekat itu? Mengapa pula kita harus membahas tarekat Ahlul Bait? Sebelumnya, saya akan berbicara tentang tarekat. Tarekat itu sendiri berhubungan erat dengan tasawuf. Kalau kita bicara tarekat, maka kemudian kita akan dibawa dan diantar orang menuju tasawuf. Karena itu, kita akan membicarakan tasawuf lebih dahulu.

Dalam bahasa Inggris, tasawuf disebut mistisme (mysticism). Kata mistisme (mysticism), misteri (mystery), dan mitos (myth) berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani mystheon, yang artinya menutup mulut. Karena itu, mistisme, misteri, dan mitos adalah sesuatu yang disampaikan sambil tutup mulut. 

Akan tetapi, memang, kata tasawuf tidak berasal dari mistisme. Ada banyak teori tentang asal-usul kata tasawuf. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti baju bulu atau wol yang dulu dipakai oleh orang-orang fakir. Ada yang mengatakan kalau tasawuf berasal dari kata shafa, yang artinya membersiahkan diri, dan sufi adalah orang yang membersihkan dirinya. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu theos dan sophos. Theos berarti Tuhan dan sophos bermakna mencintai. Jadi, tasawuf bisa kita artikan mencintai Tuhan. Memang ada betulnya juga, karena tasawuf adalah sebuah mazhab yang ditegakkan di atas kecintaan kepada Tuhan. Tasawuf adalah mazhab cinta.

Saya mulai pembahasan ini dengan doa munajat penempuh jalan tarekat. Doa ini berasal dari Imam Zainal Abidin. Saya kutipkan sebagai kecil darinya.  Dengan asma Allah Yang Mahakasih dan mahasayang. Mahasuci Engkau Subhanaka. Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak memiliki jalan. 

Alangkah terangnya kebenaran bagi orang yang Kau tunjuki jalan. Ilahi, bimbinglah kami menuju ke banyak jalan menuju-Mu. Lapangkanlah kepada kami jalan terdekat ke arah-Mu. Dekatkan bagi kami yang jauh. Mudahkan bagi kami yang berat dan sulit. Gabungkan kami dengan hamba-hamba-Mu yang berlari cepat mencapai-Mu, yang selalu mengetuk pintu-Mu, yang malam dan siangnya selalu beribadah kepada-Mu, yang bergetar takut karena keagungan-Mu, yang Kau bersihkan tempat minumnya, yang Kau sampaikan keinginannya, yang Kau penuhi permintaan-Nya, yang Kau puaskan dengan karunia-Mu
kedambaannya, yang Kau penuhi dengan kasih-Muósanubarinya, yang kau hilangkan dahaganya dengan kemurnian minuman-Mu.

Pada bagian awal doa ini sebenarnya tersimpul inti dari tasawuf. Jadi, tasawuf adalah perjalanan menuju Allah Swt. Istilah tasawuf dikenakan untuk orang yang tengah menempuh jalan tarekat, yang tengah melangkahkan kaki menuju perjalanan tak terhingga menuju Allah Swt. Jalan ini tidak gampang dan sangat tidak mudah, sebagaimana diungkapkan Imam Zainal ëAbidin, Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak punya jalan.

Kalau tidak ada dalil, petunjuk atau pembimbing, sempit betul rasanya jalan ini. Akan tetapi, di antara kafilah ruhani yang berjalan menuju Allah itu, ada sebagian dari mereka yang sudah mencapai rumah Tuhan, yang sudah mengetuk pintu-Nya, yang telah disambut Tuhan dengan anugerah-Nya, dan diberinya minum kecintaan-Nya, dan mereka pun melepaskan dahaga di sana. Itulah kelompok wali (auliya) Allah dan kekasih-kekasih-Nya.

Saya kutipkan lagi doa Imam Ali Zainal Abidin, yang menggambarkan situasi kejiwaan orang yang sudah sampai ke rumah Tuhan, sudah mengetuk pintu-Nya, dan sudah dibukakan. Saya percaya bahwa Anda sekalian sudah mengalami pencerahan yang cukup tinggi sehingga tidk menafsirkan ucapan saya dengan pemahaman orang awam. Inilah ungkapan orang yang sudah dekat dengan Allah Swt. Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku. Kepada-Mu kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu gelora rinduku. Ridha-Mu tujuanku. Melihat-Mu keperluanku. Mendampingi-Mu keinginanku. Mendekati-Mu puncak permohonanku. Dalam menyeru-Mu damai dan tenteramku.

Inilah kelompok kekasih Tuhan, para wali Allah. Di dalam menyeru Tuhan, ketika menyebut nama-Nya, waktu berzikir dan berdoa kepada-Nya, mereka menikmati dan merasakan kedamaian serta ketenteraman. Mereka laksana bayi-bayi lapar yang menghentikan tangisannya dalam dekapan bundanya. Lalu, dengan penuh kebahagiaan, mereka memandang wajah bundanya itu. Mereka adalah orang-orang yang menderita, yang menemukan kawan yang mau mendengar jeritannya, yang memahami kesulitannya dan memberikan jalan keluar. Mereka seperti pengelana di padang pasir, yang berkali-kali dikecoh fatamorgana dan kemudian berhasil menemukan oase yang memancarkan air bening, bersih, dan sejuk.

Nah, doa ini seperti kita ketahui berasal dari Imam Ali Zainal Abidin, salah seorang di antara mereka yang sudah singgah di halaman rumah Tuhan. Beliau digelari As-Sajjad karena banyaknya melakukan sujud. Dikisahkan bahwa ada banyak tempat di kota Madinah yang tanahnya menjadi keras karena seringnya Imam Ali Zainal Abidin bersujud di situ. 

Padahal, ketika bersujud, tanah itu beliau siram dan basahi dengan linangan air mata. Dulu banyak orang yang datang ke temapt itu untuk meminta berkah. Setiap malam bintang-gemintang menyaksikan beliau merintih di rumah Tuhan atau di tempat shalatnya. Padahal, beliau termasuk keluarga Rasulullah saw. (Ahlul Bait) yang disucikan sesuci-sucinya. ÖInnama yuridullah li-yudzhiba ëankum al-rijsa ahl al-bait wa yuthahhirakum tathhiran.

‘Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa-dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. (QS Al-Ahzab [33]: 33).

Berikut ini saya bacakan sebuah doa yang dibaca Imam Ali Zainal ëAbidin ketika beliau bersujud disudut Kabah di bawah mizab, yaitu pancuran air. Nah, di bahwa pancuran iar inilah Imam Ali Zainal Abidin berdoa sambil bersujud. ìInilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. 

Inilah pengemis-Mu di halaman kebesaran-Mu. Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu, sekiranya sejak Engkau menciptakan aku, sejak masa permulaanku aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu, dengan setiap lembar rambutku, setiap kejam mataku sepanjang masa, dengan pujian dna syukur segenap makhluk-Mu, maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku.

Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku, dan menanami buminya dengan lmbar-lembar alis mataku, dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu. Sekiranya, setelah itu, Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk, Engkau besarkan tubuh dan ragaku, Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi yang disiksa selainku, tidak ada lagi kayu bakar selain diriku, maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.

Doa ini sangat indah dan menyentuh. Kepada Imam Ali Zainal Abidin ini bersambung hampir semua silsilah tarekat. Lewat beliau, silsilah itu naik kepada ayahnya, dan kepada kakeknya, yaitu Rasulullah saw. Dari beliau, para penempuh jalan kesucian belajar mengetuk pintu Tuhan. Dari beliau, mereka belajar doa yang mengungkapkan kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dari beliau pula, mereka belajar mensucikan batin agar layak berdampingan dengan Dzat Yang Mahasuci.

Imam Ja’far Ash-Shaddiq cucu Imam Zainal Abidin yang melanjutkan tradisnya menyimpulkan inti tarekat beliau, tarekat keluarga Nabi saw.,  Ad-dinu huwa al-hubb. Agama itu cinta. Para filosof pun menyimpulakn keberagaman mereka dengan mengatakan, Addinu huwal aqlu. La dina liman la aqla lahu. Agama itu akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.
Ketika Islam dimaknai dengan berserah diri atau pasrah, maka para pengikut tarekat menambahkan cinta sebagai syarat mutlak penyerahan diri dan kepasrahan. Para filosof menyerahkan diri kepada Tuhan setelah akal mereka menunjukkan mereka kepada-Nya. Para fakih atau ahli hukum Islam pasrah kepada-Nya setelah mengetahui hukum-hukum-Nya, seperti taatnya warga negara kepada hukum negerinya. Para sufi merbahkan diri di hadapan-Nya, mau melakuka apa pun yang diperintahkan oleh-Nya, asalkan mereka tidak diusir dari sisi-Nya sebagaimana seorang pecinta yang pasrah di depan kekasihnya. 

Karena boleh jadi, seseorang pasrah kepada-Nya karena takut siksa, hukuman, atau kekuasaan-Nya. Mungkin juga ia menyerahkan diri karena mengharapkan pamrih, pahala, atau ganjaran. Para sufi menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada Tuhan karena cinta. Ketika mereka berdoa, mereka memohonkan agar semua balasan itu diberikan kepada orang lain, sebagaimana diungkapkan dengan indah oleh L.A.Ara, seorang penyair muslim dari Aceh, dalam puisinya yang berjudul Doa Orang Buta.

Tuhan, beri sinar kepada mereka yang awas matanya.
Tuhan, beri cahaya kepada mereka yang memandang dunia dengan mata terbuka.
Tuhan, kepadaku kirim saja percik kasih-Mu, tidak untuk membuka mataku, tapi untuk menyiram hatiku.

Salahkah dia yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah dia yang pasrah karena takut akan hukuman-Nya, atau karena takut menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi, yaitu mereka yang ingin dikirimi percik kasih Tuhan untuk menyiram hatinya.

Jadi, secara singkat, tasawuf adalah sebentuk keberagamaan yang didasarkan pada cinta. Kalau orang bertanya apa mazhab tasawuf, maka tasawuf itu akan menjawab, “Madzhabuna madzhab al-hubb”. Mazhab kami adalah mazhab cinta.


Wednesday 27 November 2013

NU DAN TAREKAT (Bag 2)




Tarekat Qadiriyah di Indonesia.

Seperti halnya tarekat di Timur Tengah.Sejarah tarekat Qadiriyah†di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor ñ Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya ñ Jawa Barat, Mranggen ñ Jawa Tengah, Rejoso Jombang ñ Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang ñ Jawa Timur. Syaikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qadiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qadiriyah.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya ‘Mystical Dimensions of Islam’ hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten, Jawa Barat, dilanda perlawanan terhadap penjajah. Perjuangan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering terjadi perlawanan.

Tapi, perlawanan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena perlawana itu dipimpin oleh para ulama dan kyai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qadiriyah, Syaikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH. Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 perlawana terhadap penjajah  yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903, KH. Khasan Mukmin dari Sidoarjo, Jatim serta KH. Khasan Tafsir dari Krapyak, Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qadiriyahadalah organisasi terbesar Islam, Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.

Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH. Ahmad Shohibulwafaí Tadjul Arifin (Abah Anom), Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jabar, dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad Saw., Sayyidina Ali ra. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ke-34.

Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH. Mustaíin Romli, Pengasuh Pondok Pesantren Rejoso Jombang, Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ke-35. 
Bahwa Beliau mendapat talqin dan bai’at dari KH. Moh. Kholil Rejoso, Jombang, KH. Moh. Kholil dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifbillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. 
Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. 
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. 
Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di†kota†yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. 
Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

b Inti Ajaran Dasar Tarekat Qodiriyah.
da 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qodiriyah, yaitu:
. Berserah diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib menyerahkan segala hal kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

. Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah.

Hal ini merujuk pada hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
ebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
edua hal ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang manusia senantiasa bersama Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau juga menandaskan bahwa keimanan ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan sosial yang lebih baik lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan memenuhi aspek kebaikan universal.

Baiíat.

Bentuk mengamalkan tarekat ini melalui tahapan-tahan seperti:

. Adanya pertemuan guru (syekh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan ìinfahna binafhihi minkaî dan dilanjutkan dengan ayat mubayaíah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid dan berdoa .

. Tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
engan mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir), maka seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan syariíat dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki ilmu keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan (maírifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir. Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang akan dengan ringan dapat melaksanakan syariíat Allah.

Kenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup, kenyakinan para sufi memang ìMengenal Allah adalah permulaan orang beragamaî. Dan karena secara empiris kebenaran logika ini telah terbukti, bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang berkepribadian baik.

Silsilahnya:
1. M Mustain Romli,
 2, Usman Ishaq, 
3. Moh Romli Tamim, 
4. Moh Kholil, 
5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 
6. Abdul Karim, 
7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 
8. Syamsuddin, 
9. Moh. Murod, 
10. Abdul Fattah, 
11. Kamaluddin, 
12. Usman, 
13. Abdurrahim, 
14. Abu Bakar, 
15. Yahya, 
16. Hisyamuddin, 
17. Waliyuddin, 
18. Nuruddin, 
19. Zainuddin, 
20. Syarafuddin, 
21. Syamsuddin, 
22. Moh Hattak, 
23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 
24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 
25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 
26. Abul Faraj al-Thusi, 
27. Abdul Wahid al-Tamimi, 
28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 
29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 
30. Sari al-Saqathi, 
31. Maíruf al-Karkhi, 
32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 
33. Musa al-Kadzim, 
34. Jaífar Shodiq, 
35. Muhammad al-Baqir, 
36. Imam Zainul Abidin, 
37. Sayyidina Husein, 
38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 
39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 
40. Sayyiduna Jibril dan 
41. Allah Swt. 

Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.


Kepada mereka yang berpegang teguh kepada agama Islam, menyebarkan kemuliaan dalam bentangan sejarah, menghidupkan toleransi, memerangi kejumudan, menumpaskan kebodohan, melawan kezaliman dan kesesatan, membentangkan kebebasan berfikih hingga berkibar, optimis dengan lahirnya persaudaraan antara pengikut madzab-madzab dalam Islam,

Konflik antara Sunni dengan Syiah bisa dicegah dengan mengembangkan nilai-nilai tarekat. Ini pas, karena Sunni di Indonesia suka tarekat, yang juga deket dengan Syiah.

Demikian dinyatakan Wakil Rais Syuriyah PCI NU Mesir Ahmad Syaifuddin pada NU Online, melalui yahoo massenger, Selasa sore (28/8).

Syiah dan Sunni yang sufi itu sama-sama mencintai ahli bait, khususnya Sayidina Ali bin Abi Thalib. Semua sanad tarekat bermuara ke Imam Ali, kecuali Naqsyabandiyah yang juga punya sanad ke Abu Bakar. Bedanya kalau sufi itu taídhim (penghormatan), kalau syiah itu taqdis (pengkultusan). Nah, di situ kesamaan kita dengan Syiah, jelasnya.

Dia mencontohkan bahwa Sunni yang sufi dan Syiah bisa saja mengadakan haul Imam Ali, Hasan Husein bersama-sama, dengan catatan pihak Syiah tidak menampakkan ghuluw atau melampaui batas.
Keduanya sama-sama tanazul. Yang beda dari mereka jangan diperlihatkan, yang beda dari kita jangan diperlihatkan,  ujar mahasiswa program doktor di Universitas Al-Azhar tersebut.

Dia melanjutkan, konflik Sunni-Syiah tidak bisa diselesaikan dengan debat, bahsul masail, atau munazharah. “Ndak mungkin berhasil itu diskusi”, tegasnya.

Syaifuddin berpesan, Syiah di Indonesia jangan seperti Syiah Iran. Teman-teman Syiah di Indonesia harus melakukan pribumisasi. Kalau di Jawa ya harus njawani, pakai blangkon, pakai bubur abang bubur putih. Kalau di Sumatera yang harus menyesuaikan dengan Sumetera.



Referensi:
[1] Muhammad Aqil bi Ali al-Mahdali, Dirasah fi al-Thuruq al-Shufiyah, (Kairo: Dar al-Hadis), terj.   Futuhalarifin, S.Ag.Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, (Jakarta: Azan, 2002), cet. I, h. 201.
[2] Abu al-Wara al-Ghanimi al-taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami, h. 237.
[3] Amir,al-Thuruq, h. 110. Dikutip dari Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, Futuhal Arifin, S.Ag, h.203.
[4] Seyyed Hosein, Ensiklopedi, h. 19.
[5] Abdul Majid Hj. Khatib, Rahasia Sufi Syaikh Abd alQadir Jilani, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 
[6] Syaikh  Abd al-qadir, Rahasia, h. 267.
[7] Sayyid ibn Musfir, Buku Putih, h. 506.