Tarekat Qadiriyah di Indonesia.
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah.Sejarah tarekat Qadiriyah†di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor ñ Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya ñ Jawa Barat, Mranggen ñ Jawa Tengah, Rejoso Jombang ñ Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang ñ Jawa Timur. Syaikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qadiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qadiriyah.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya ‘Mystical Dimensions of Islam’ hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten, Jawa Barat, dilanda perlawanan terhadap penjajah. Perjuangan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering terjadi perlawanan.
Tapi, perlawanan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena perlawana itu dipimpin oleh para ulama dan kyai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qadiriyah, Syaikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH. Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 perlawana terhadap penjajah yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903, KH. Khasan Mukmin dari Sidoarjo, Jatim serta KH. Khasan Tafsir dari Krapyak, Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qadiriyahadalah organisasi terbesar Islam, Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH. Ahmad Shohibulwafaí Tadjul Arifin (Abah Anom), Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jabar, dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad Saw., Sayyidina Ali ra. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH. Mustaíin Romli, Pengasuh Pondok Pesantren Rejoso Jombang, Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ke-35.
Bahwa Beliau mendapat talqin dan bai’at dari KH. Moh. Kholil Rejoso, Jombang, KH. Moh. Kholil dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifbillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani.
Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali.
Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di†kota†yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam.
Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
b Inti Ajaran Dasar Tarekat Qodiriyah.
da 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qodiriyah, yaitu:
. Berserah diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib menyerahkan segala hal kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
. Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah.
Hal ini merujuk pada hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
ebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
edua hal ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang manusia senantiasa bersama Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau juga menandaskan bahwa keimanan ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan sosial yang lebih baik lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan memenuhi aspek kebaikan universal.
Baiíat.
Bentuk mengamalkan tarekat ini melalui tahapan-tahan seperti:
. Adanya pertemuan guru (syekh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan ìinfahna binafhihi minkaî dan dilanjutkan dengan ayat mubayaíah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid dan berdoa .
. Tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
engan mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir), maka seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan syariíat dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki ilmu keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan (maírifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir. Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang akan dengan ringan dapat melaksanakan syariíat Allah.
Kenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup, kenyakinan para sufi memang ìMengenal Allah adalah permulaan orang beragamaî. Dan karena secara empiris kebenaran logika ini telah terbukti, bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang berkepribadian baik.
Silsilahnya:
1. M Mustain Romli,
2, Usman Ishaq,
3. Moh Romli Tamim,
4. Moh Kholil,
5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura,
6. Abdul Karim,
7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar,
8. Syamsuddin,
9. Moh. Murod,
10. Abdul Fattah,
11. Kamaluddin,
12. Usman,
13. Abdurrahim,
14. Abu Bakar,
15. Yahya,
16. Hisyamuddin,
17. Waliyuddin,
18. Nuruddin,
19. Zainuddin,
20. Syarafuddin,
21. Syamsuddin,
22. Moh Hattak,
23. Syeikh Abdul Qadir Jilani,
24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi,
25. Abu Hasan Ali al-Hakkari,
26. Abul Faraj al-Thusi,
27. Abdul Wahid al-Tamimi,
28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli,
29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi,
30. Sari al-Saqathi,
31. Maíruf al-Karkhi,
32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho,
33. Musa al-Kadzim,
34. Jaífar Shodiq,
35. Muhammad al-Baqir,
36. Imam Zainul Abidin,
37. Sayyidina Husein,
38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib,
39. Sayyidina Nabi Muhammad saw,
40. Sayyiduna Jibril dan
41. Allah Swt.
Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.
Kepada mereka yang berpegang teguh kepada agama Islam, menyebarkan kemuliaan dalam bentangan sejarah, menghidupkan toleransi, memerangi kejumudan, menumpaskan kebodohan, melawan kezaliman dan kesesatan, membentangkan kebebasan berfikih hingga berkibar, optimis dengan lahirnya persaudaraan antara pengikut madzab-madzab dalam Islam,
Konflik antara Sunni dengan Syiah bisa dicegah dengan mengembangkan nilai-nilai tarekat. Ini pas, karena Sunni di Indonesia suka tarekat, yang juga deket dengan Syiah.
Demikian dinyatakan Wakil Rais Syuriyah PCI NU Mesir Ahmad Syaifuddin pada NU Online, melalui yahoo massenger, Selasa sore (28/8).
Syiah dan Sunni yang sufi itu sama-sama mencintai ahli bait, khususnya Sayidina Ali bin Abi Thalib. Semua sanad tarekat bermuara ke Imam Ali, kecuali Naqsyabandiyah yang juga punya sanad ke Abu Bakar. Bedanya kalau sufi itu taídhim (penghormatan), kalau syiah itu taqdis (pengkultusan). Nah, di situ kesamaan kita dengan Syiah, jelasnya.
Dia mencontohkan bahwa Sunni yang sufi dan Syiah bisa saja mengadakan haul Imam Ali, Hasan Husein bersama-sama, dengan catatan pihak Syiah tidak menampakkan ghuluw atau melampaui batas.
Keduanya sama-sama tanazul. Yang beda dari mereka jangan diperlihatkan, yang beda dari kita jangan diperlihatkan, ujar mahasiswa program doktor di Universitas Al-Azhar tersebut.
Dia melanjutkan, konflik Sunni-Syiah tidak bisa diselesaikan dengan debat, bahsul masail, atau munazharah. “Ndak mungkin berhasil itu diskusi”, tegasnya.
Syaifuddin berpesan, Syiah di Indonesia jangan seperti Syiah Iran. Teman-teman Syiah di Indonesia harus melakukan pribumisasi. Kalau di Jawa ya harus njawani, pakai blangkon, pakai bubur abang bubur putih. Kalau di Sumatera yang harus menyesuaikan dengan Sumetera.
Referensi:
[1] Muhammad Aqil bi Ali al-Mahdali, Dirasah fi al-Thuruq al-Shufiyah, (Kairo: Dar al-Hadis), terj. Futuhalarifin, S.Ag.Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, (Jakarta: Azan, 2002), cet. I, h. 201.
[2] Abu al-Wara al-Ghanimi al-taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami, h. 237.
[3] Amir,al-Thuruq, h. 110. Dikutip dari Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, Futuhal Arifin, S.Ag, h.203.
[4] Seyyed Hosein, Ensiklopedi, h. 19.
[5] Abdul Majid Hj. Khatib, Rahasia Sufi Syaikh Abd alQadir Jilani, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003),
[6] Syaikh Abd al-qadir, Rahasia, h. 267.
[7] Sayyid ibn Musfir, Buku Putih, h. 506.