KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday 4 December 2013

NU DAN TAREKAT ( Bag.5 Habis) Mazhab Ali



Tasawuf: Mazhab Ali.
Ketika menjelaskan arti tasawuf, Al-Suhrawardi mengutip sabda Rasulullah saw., Perumpamaan risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk dan ilmu seperti hujan deras yang jatuh ke bumi. Ada sebagian dari bumi yang menerima air dan menumbuhkan tanaman dan pohon-pohonan yang banyak. Ada sebagian lagi yang menyerap, menampung air, yang dengan air itu Allah memberikan manfaat kepada manusia. Dari air itulah mereka minum, menyiram, dan bercocok tanam. 
Ada juga bagian bumi lain yang gersang, tidak dapat menampung air, dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah, (yang pertama adalah) perumpamaan orang yang mengerti agama Allah dan memperoleh manfaat dari risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk ilmu. (Yang kedua adalah) perumpamaan orang yang tidak mau memerhatikan dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.

Kemudian, ia menjelaskan hadits itu: Untuk menerima apa yang dibawa Rasulullah saw., Tuhan telah mempersiapkan hati yang paling suci dan diri yang paling bersih. Maka, tampaklah perbedaan tingkat kesucian dan kebersihan karena perbedaan faidah dan manfaat. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah yang baik, subur dengan pepohonan dan tanaman. Inilah hati orang yang memperoleh manfaat dari ilmunya untuk dirinya dan memperoleh petunjuk. Ilmunya berguna bagi dia, membimbingnya ke jalan yang lurus dengan mengikuti Rasulullah saw. 
Ada hati yang kedudukannya seperti tanah penyerap (akhadzat), yaitu seperti kolam, ia mengumpulkan dan menampung air. Inilah perumpamaan kebersihan diri para ulama yang zahid dari kalangan sufi dan syuyukh (guru-guru sufi) serta kesucian hati mereka. Hati mereka berlimpah dengan faedah dan jadilah mereka akhadzat. Masruq berkata, Aku pernah bergaul dengan sahabat Nabi saw. Aku dapatkan mereka itu seperti akhadzat. Hati mereka menjadi penyimpan ilmu dan diberi kesucian pemahaman.

Untuk memberi contoh hati yang menyimpan, Al-Suhrawardi membawakan hadits Nabi saw. Ketika turun ayat, Agar kamu jadikan peristiwa itu pelajaran dan agar disimpan oleh telinga yang bersifat penyimpan. (QS 69: 12). Telinga yang bersifat penyimpanan adalah terjemahan yang kurang tepat untuk udzunun wa’iyyah. Wa’iyyah bermakna mengandung, yang menyimpan, yang memeilihara dalam ingatan, yang mengingat, yang mengetahui dengan hati, yang menyadari, yang memperhatikan, yang melihat dengan jelas.

Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, Aku bermohon kepada Allah Swt. agar Dia menjadikan telinga penyimpanan itu adalah telingamu. Kata Ali, Sejak itu, aku tidak pernah melupakan apa pun. Tidaklah mungkin bagiku untuk lupa. Kata Abu Bakar Al-Wasithi, Itulah telinga yang menyimpan rahasia Allah. (Lihat Abdul Qahir Al-Suhrawardi, Awarif Al-Maíaraif, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, 1983: 12-13).

Para sahabat Nabi saw., kata Masruq, mempunyai hati yang wa’iyyah. Dalama kemampuan menyimpan rahasia Allah, di antara mereka, Ali bin Abi Thalib adalah puncaknya. Ia digelari Taj Al-Arifin atau mahkota orang-orang arif. Ia disebut oleh mahagurunya, yaitu Rasulullah saw. sebagai pintu kota ilmu. Beliau bersabda, Aku kota ilmu dan Ali pintunya. Siapa yang menginginkan ilmu, datangilah pintunya. Siapa yang datang tidak melewati pintu, ia dihitung sebagai pencuri dan ia menjadi tentara iblis. (Lihat Al-Hakim dalam Mustadarak, 3: 126; Al-Khatib, Tarikh Baghdad, 2:377; Al-Qanzudi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm 183; Ibnu Hajar, Shawaíiq Al-Muhriqah, hlm 37; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wal Nihayah, 7: 358; Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-íUmmal, 5: 30, dan sebagainya). Ia menyimpan rahasia Allah Swt. yang disampaikan kepadanya oleh Rasulullah saw. yang mulia, atau yang ia peroleh selama perjalannya menuju Allah Swt.

Rasulullah saw. dididik Allah Swt. secara langsung. Kepada beliau berguru Ali bin Abi Thalib. Kepada beliau dan Ali berguru para sahabat Nabi untuk memperoleh petunjuk dalam mengarungi samudera Ilahi. Abu Bakar ra. berkata, Tinggalkan aku. Aku bukan yang paling baik di antara kamu selama ada Ali di tengah-tengah kamu. Ucapan ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati yang berbicara, tetapi juga menunjukkan keutaman orang yang dibicarakannya. Berkata At-Tirmidzi, yang meriwayatkan hadist ini, Ia (Abu Bakar) mengatakan itu karena ia tahu keadaan Ali kw. dan martabatnya dalam khilafah sebenarnya, yang pokok dan yang pasti, berdasarkan urutan, secara hakikat, menurut akal, dan atas keterikatan kepada Allah Swt. (takhallufan, wa tahaqquqan, wa ta’aqquqan, wa ta’alluqan) (Lihat Al-Bahrani, Ghayat Al-Maram, bab 53).

Umar berkata, Tentang Ali, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda dan menyebut tiga hal. Sekiranya satu saja dari yang tiga itu berkenaan dengan aku, ia lebih berharga dari apa pun yang dinaungi cahaya matahari. Waktu itu, aku berada bersama Abu Ubadah, Abu Bakar, dan banyak sahabat lainnya. Tiba-tiba Nabi saw. menepuk bahu Ali seraya berkata, wahai Ali. Kamu adalah Mukmin yang pertama beriman, Muslim yang pertama berisalam, dan kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa. (Ibnu Ali Al-Hadid, Syarh Najh Al-Balaghah. Al-Khawarizmi juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Manaqib).

Tidak cukup tempat dalam tulisan ini untuk memuat penilaian sahabat lain tentang Ali. Cukuplah di sini dikutip ucapan Muíawiyah, yang sepanjang hidupnya memusuhi Ali. Sekali waktu, demi menyenangkan hati Muíawiyyah, Al-Dhabi menceritakan kedatangannya dari pertemuan dengan Ali, Aku datang kepadamu dari manusia yang paling bakhil (maksudnya Ali).î Di luar dugaan, Mu’awiyyah berkata, ìCelakalah kamu. Bagaimana mungkin kamu menyebut dia manusia yang paling bakhil, padahal sekiranya ia memiliki rumah dari emas dan rumah dari jerami, ia akan memberikan rumah emasnya sebelum rumah jeraminya. Dia sendiri yang menyapu Baitul Mal dan melakukan shalat di dalamnya. Dia juga yang berbicara kepada emas dan perak, Wahai kuning dan putih. Tipulah orang selainku, Dialah yang tidak akan meninggalkan warisan, walaupun seluruh dunia menjadi miliknya.

Sebenarnya, Mu’awiyah hanya mengulang apa yang pernah dilaporkan kepadanya oleh Dhahar bin Dhamrah. Ketika Dhahar berada di istana Mu’awiyah, ia diminta untuk menceritakan sifat-sifat Ali. Anda tahu, pada waktu itu, Mu’awiyah mengharuskan para khatib Jumat mengutuk Ali di mimbar-mimbar dan menghukum orang yang tidak mau melakukannya. Siapa saja yang memuji Ali, maka ia akan dianggap subversif. Bahkan diam saja, tidak mengecam Ali, akan dipandang menentang penguasa. Misalnya, Hujur bin Adi dan kawan-kawannya, mereka dihukum mati (sebagian dikubur hidup-hidup) karena tidak mau mengutuk Ali pada waktu shalat Jumat. Dalam kadaan seperti itu, tentu saja Dharar keberatan. Jika ia menceritakan yang sebenarnya, ia akan dianggap memuji dan mengkultuskan Ali. Bagi yang tidak senang bunga mawar, menyebut mawar itu harus sudah dianggap pujian, padahal harum adalah sifat mawar.

‘Bebaskan saya,’ kata dharar, Tidak akan aku bebaskan,’ tegas Mu’awiyah. Berkatalah Dharar, Jika harus tetap aku ucapkan juga demi Allah Ali adalah orang yang cendikia lagi perkasa, berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari segenap pribadinya. Hikmah berbicara dari seluruh dirinya. Ia menjauhkan diri dari dunia dengan segala perhiasannya. Ia menyendiri di malam hari bersama kegelapannya. Ia demi Allah banyak berurai air mata dan banyak berpikir. Ia membolak-balik tangannya seraya meneysali dirinya. Ia senang pakaian yang kasar dan makanan yang keras. Ia, demi Allah, seperti orang kebayakan. Jika kita minta tolong, ia memenuhinya. Jika kita undang, ia mendatanginya. 

Walaupun begitu, demi Allah, walaupun ia dekat dan akrab dengan kami, kami tidak sanggup berbicara kepadanya karena kewibawannya. Kami tak mampu mulai berkata karena kemuliannya. Jika ia tersenyum, senyumnya bagaikan untaian mutiara. Ia memuliakan ahli agam. Ia mencintai orang miskin. Di hadapannya, yang kuat tidak mau melakukan kebatilan, dan yang lemah tidak putus asa akan keadilan. Aku bersaksi kepada Allah, aku pernah menyaksikannya dalam bberapa penggalan malam. Ketika malam sudah menjulurkan tirainya, gemintang sudah tenggelam, ia berada di mihrab shalatnya. Ia memegang janggutnya. Ia menggigil seperti orang sakit yang menderita demam. Ia menangis seperti tangisan orang yang menderita. Seakan-akan masih kudengar ia berkata, ëHai dunia, tipulah orang selainku. Di depanku kamu berhias? Di hadapanku kamu mencumbu? Menjauhlah dariku. Aku sudah mentalakmu tiga kali. Tidak mungkin lagi rujuk. Usiamu singkat. Hidupmu rendah. Bahayamu besar. Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan.

Dalam keluhan Ali, Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan tercermin makna tasawuf. Al-Suhrawardi menghimpun banyak definisi tentang tasawuf dan mengakhirinya dengan mengatakan, Pendapat para guru sufi tentang definisi tasawuf lebih dari seribu. Akan terlalu panjang mengutipnya. Di sini, cukuplah bagi kita menjelaskan tasawuf tidak dengan definisi, tetapi dengan perilaku dan ucapan Ali. Lalu mengapa tidak mencontoh Rasulullah saw. saja secara langsung?



Mengapa Harus Mencontoh Ali?

Ada dua jawaban: yang sederhana dan yang sulit. Pertama, yang sederhana. Dari manakah kita belajar sunnah Nabi? Jawabnya, dari para sahabat. Dari Aisyah ra., kita tahu bahwa Rasulullah saw. menangis ketika melakukan shalat malam sampai janggut beliau menjadi basah. Dari Umar ra., kita tahu kalau Nabi saw. berbaring pada tikar yang kasar sehingga tikar itu meninggalkan bakas pada wajahnya. Dari Ibnu ëAbbas ra., kita tahu kalau Rasulullah saw. pernah menjama’ shalat Zuhur dan Asahr di Madinah bukan karena sakit, bukan karena bepergian, dan bukan karena hujan. Hanya melalui ucapan dan perilaku sahabatlah kita dapat meneladani sunnah-sunnah beliau.
Walhasil, Anda tidak dapat mencontoh Rasulullah saw. secara langsung. Karena itulah, untuk memperoleh petunjuk jalan dalam safar ruhani kita yang panjang, ikutilah Ali. Ia pasti sudah mengikuti Rasulullah saw. Kalimat yang benar bukan pertanyaan, Apakah kita meneladani Nabi saw. atau Ali? Yang benar adalah pernyataan, Kita meneladani Nabi saw. dengan meneladani Ali.

Jawaban kedua agak sulit dijelaskan. Ketika saya ingin mengikuti Imam Ali, Anda pasti bertanya mengapa tidak mengikuti Rasulullah saw. saja? Baiklah, Anda mengikuti Rasulullah saw. Saya pun akan balik bertanya, Mengapa tidak mengikuti Allah saja? Pertanyaan semacam ini pernah diajukan kepada saya, ketika saya mendirikan Pesantren Muthahhari. Saya ingin mendidik para santri agar mereka kelak menjadi ulama seperti Muthahhari: pemikir, aktivis, ahli agama, dan ahli ilmu sekaligus. Kawan saya menegur, mengapa tidak langsung mencontoh Nabi Muhammad saw. saja? Ketika saudara saya mengikuti Imam Syafiíi, ia juga bertanya, mengapa tidak mengikuti Nabi saw. saja.

Saya menjawab kalau Rasulullah saw. adalah sumber syariat yang kedua setelah Allah. Pada Allah dan Rasul-Nya berpangkal semua pemahaman kita tentang agama. Allah dan Rasul-Nya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah air hujan yang turun drai langit. Kita adalh tanah yang menerima tetesan dan curahan hujan itu. Di antara bidang-bidang tanah itu ada petak demo yang menjadi percontohan bagi tanah-tanah yang lain. Perilaku Rasulullah saw. adalah sunnah. Kita mengamalkan pemahaman kita tentang sunnah. Sebagaimana tanah yang memiliki kemampuan menampung air yang berbeda, seperti itulah penerimaan kita pada sunnah. Sepanjang sejarah, kaum Mukmin berusaha memahami dan menjalankan sunnah Nabi saw. Sebagian kecil dari mereka ada yang sudah memahami sunnah dengan baik, menjadi akhadzat. Mereka mengamalkan sunnah itu dalam kehidupannya, dan sebagian besar kaum Mukmin mencontoh mereka yang disebut pertama. Dari madrasah Nabi saw., murid tladan yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib. Kepadanya para sahabat merujuk. “Law la Ali, lahalak Umar, kata Umar bin Khathab.Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar.

Ketika kawan saya tidak paham atau tidak mau paham, saya hrus menjelaskannya dengan konsep isnad dalam ilmu hadits atau silsilah dalam tarekat.

Perhatikan hadits Nabi saw. berikut, ìPerumpamaanku dan perumpamaan apa yang aku bawa seperti lelaki yang mendatangi kaumnya: Hai kaumku, aku melihat pasukan musuh dengan mataku sendiri. Al-Suhrawardi menurunkan hadits ini dalam kitab ëAwarif Al-Maíarif. Ia menerima hadits itu dari Al-Husain bin Muhammad Al-zaini, yang menerimanya dari Karimah binti Ahmad, dari Abu Al-Haitsam, dari Muhammad bin Yusuf Al-farbari, dari Muhammad bin Ismaíil Al-Bukhari. 

Al-Bukhari menerimanya dari Abu Akrib, dari Abu Usamah, dari Abu Barid, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Anshari, dari Rasulullah saw. Rangkaian nama yang panjang ini disebut sanad. Untuk pertanggungjawaban ilmiah, Al-Suhrawardi tidak langsung mengatakan ia mendengar hadits dari Nabi saw. Ia merinci jalur periwayatan hadits itu dari gurunya, dari guru gurunya, dan seterusnya. Tidak ada agama tanpa isnad, kata ahli hadits. Cukuplah meniru Nabi saw., tidak perlu meniru Muthahhari, kata kawan saya.


Dalam tarekat, sanad itu disebut silsilahómata rantai yang menghubungkan guru kita dan guru-guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah saw. Misalnya silsilah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabadiyyah, ada guru-guru yang sampai kepada Ali Ar-Ridha. Ia menerima dari ayahnya, kakeknya, sampai kepada Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Dari Ali Ar-Ridha, tarikat Qadariyah-Naqsyabandiyyah bersambung dengan apa yang dikenal sebagai silsilah emas (al-silsilah al-dzahabiyyah), yaitu untaian mata rantai keluarga Nabi saw. yang terkenal dalam kemakrifatannya dan kesalehannya. Inilah rangkaian imam yang oleh Nabi saw. disebut Safinah Nuh (Perahu Nuh) dan gemintang umat. 

Terekat yang tidak bersambung kepada Rasulullah saw. tidak boleh diikuti. Ikutilah guru (mursyid), yang memperoleh ilmunya dari rangkaian guru yang bersambung kepada Ali bin Abi Thalib dan sampai kepada Rasulullah saw., kata pengikut tarekat. Kawan saya masih bertanya, ìMengapa harus melewati rantai yang panjang? Ikuti saja langsung Rasulullah saw.? Mengapa harus melewati Ali? Saya tidak bisa menjelaskan lagi keculai mengatakan peribahasa Melayu lama: mengeja dari awal, mengaji dari alif.
ìTinggalkan semua hal yang berkaitan dengan guru atau keharusan mengikuti Ali. Yang jelas, tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah. Pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya, tidak dikenal kata tasawuf. Jadi, untuk apa mengikuti tasawuf, siapa pun gurunya, atau siapa pun imamnya. Tugas kita adalah menjalankan Al-Quran dan sunnah. Titik. Tidak perlu nama-nama itu, argumen kawan saya yang lain.

Betul, kata tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah secara spesifik, sebagaimana juga kata ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tauhid, rkun iman, atau rukun Islam. Apakah karena tidak ada kata tauhid dalam Al-Quran dan sunnah, akidah kita tidak perlu ditegakkan di atas dasar tauhid? Apakah karena tidak ada kata fikih dalam Al-Quran dan sunnah, kita tidak perlu memelajarinya? Anda lupa bahwa ilmu tasawuf, seperti juga fikih, tafsir, dan tauhid muncul dan berkembang dari upaya umat Islam untuk menjalankan Al-Quran dan sunnah?

Wassalam


No comments: