KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday 11 July 2012

PIDATO KH. HASYIM MUZADI HEBOH


Pada tahun 2005 (kalau salah tidak salah), ketika itu saya masih tercatat sebagai salah seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berada di luar negeri. Kami sebagai warga Indonesia pada tahun itu kedatangan beberapa rombongan tamu dari tanah air, dan salah seorang dari tamu tersebut adalah KH. Hasyim Muzadi. Sebagaimana tamu-tamu lain yang berkunjung ke negara tersebut, baik presiden, anggota DPR, menteri, atlit olahraga, seniman ataupun lainnya, selalu mengadakan pertemuan atau silaturrahim dengan WNI, demikian juga halnya dengan KH. Hasyim Muzadi beserta rombongan. 
Silaturrahim dilaksanakan pada malam hari setelah shalat Isya di Aula Budaya Nusantara KBRI. Itulah pertama kali saya bertemu langsung dan bersalaman dengan KH. Hasyim Muzadi, dan keesokan harinya saya dan beberapa rekan menyempatkan diri sarapan pagi bersama beliau di hotel tempat beliau menginap.
Dalam acara silaturrahim tersebut, KH. Hasyim Muzadi memaparkan kondisi bangsa Indonesia pada saat itu. Beliau menilai bahwa euforia reformasi yang terjadi sejak tahun 1998 telah membawa Indonesia kepada kondisi yang tidak sehat. Beliau mengibaratkan Indonesia pada masa kepemimpinan presiden Soeharto sebagai sebuah rumah yang pengap, panas, tidak nyaman serta tidak sehat. Hal tersebut terjadi karena seluruh jendela, ventilasi, serta pintu-pintu ditutup rapat-rapat sedemikian rupa. Kondisi tersebut membuat penghuninya (masyarakat Indonesia) memberontak sehingga terjadilah reformasi pada Mei 1998. Euforia reformasi menurut beliau ternyata dinikmati secara berlebihan oleh rakyat Indonesia, ibarat rumah yang tadinya tertutup pada zaman Soeharto, maka pada zaman reformasi ini seluruh jendela, ventilasi, pintu-pintu dibuka selebar-lebarnya, bahkan sebagian penghuni yang lain berusaha menghancurkan tembok, atap serta sekat-sekat lainnya. Lalu apa yang terjadi? Rumah tersebut ternyata tidak semakin nyaman, bahkan tidak lebih baik dari pada sebelumnya. Penghuninya mulai tidak sehat karena terlalu banyak angin, debu, nyamuk, yang masuk tanpa ada halangan sedikitpun. Rumah tersebut telah dirusak oleh sebagian penghuninya sendiri menurut beliau. Itu sebagian isi ceramah yang disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi dalam acara tersebut terkait dengan kondisi Indonesia pada saat itu. Ceramah tersebut disampaikan dengan sangat-sangat menarik, runtut, mudah dipahami, dengan bahasa yang sederhana, sesekali diselingi dengan gurauan, serta menampak sisi intelektualitas dan keíulamaaní seorang KH. Hasyim Muzadi.
Hari ini, ketika saya membuka laman facebook, saya mendapat kiriman berupa tautan yang berisi sebuah berita dengan judul ìPidato Hasyim Muzadi yang Menghebohkan Beredar Luasî. Merasa penasaran saya coba mengikuti tautan tersebut, saya baca dan saya pahami isi pidato beliau. Isi pidato tersebut mengingatkan saya kepada apa yang beliau sampaikan 7 tahun yang lalu tentang kondisi Indonesia di hadapan kami WNI di KBRI, yaitu sebuah pidato yang menarik, runtut, mudah dipahami, dengan bahasa yang sederhana, bermutu, serta menampak sisi intelektualitas dan keíulamaaní seorang KH. Hasyim Muzadi. Perbedaannya adalah, ceramah 7 tahun yang lalu disampaikan di hadapan segelintir WNI, sedangkan pidato kali ini ditujukan ke seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi renungan bersama atas kondisi negeri yang tercinta ini.
Menurut saya, isi pidato tersebut menggambarkan sebuah kondisi yang sesungguhnya yang sedang terjadi di Indonesia, terutama menyangkut isu intoleransi, apalagi disampaikan oleh seorang yang memang berkecimpung dalam masalah tersebut. Sebagai presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) & Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars), tentu beliau paham betul tentang apa yang sebenarnya terjadi, ditambah lagi pengalaman beliau berinteraksi dengan berbagai masyarakat internasional lainnya. Terkait dengan adanya indikasi laporan dari dalam negeri tentang intoleransi di Indonesia, menurut analisa saya inilah yang beliau maksudkan 7 tahun yang lalu bahwa diantara penghuni rumah (rakyat Indonesia) ada yang berusaha untuk menghancurkan dinding serta atap rumahnya sendiri, sehingga dengan mudah akan masuk ënyamuk-nyamukí asing dengan dalih kebebasan dan HAM.
Hal yang penting menurut saya setelah membaca pidato KH. Hasyim Muzadi adalah, kita sebagai bangsa Indonesia harus berani menentukan sikap, apakah kita akan mengikuti paham humanisme seperti yang dianut Gandhi atau paham Weternisme. Jika kita menganut paham humanisme seperti yang dianut Gandhi, maka kita harus bangga dengan bangsa dan budaya kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dengan ciri-ciri dan karakter yang mungkin tidak selalu sejalan dengan bangsa lain. Namun, jika Westernisme yang kita anut, jadilah kita bangsa pengekor yang tidak memiliki jati diri, karena menganggap benar segala hal yang datang dari orang lain khususnya Barat, walaupun bertentangan dengan budaya dan jati diri sendiri. Kalau hal ini yang menjadi pilihan kita, maka ada baiknya kita ingat kembali wasiat Bung Karno tentang harga diri suatu bangsa yang akan diperoleh dengan tiga faktor, yaitu: 1. Berdikari dalam bidang ekonomi, 2. Berdaulat dalam bidang politik, dan 3. Berkepribadian dalam bidang budaya.
Satu hal yang menggembirakan menurut saya dan merupakan bagian dari pidato KH. Hasyim Muzadi adalah, sampai saat ini Indonesia menurut beliau masih tercatat sebagai negara Muslim yang paling toleran jika dibandingkan dengan negara-negara lain, walaupun terdapat beberapa masalah dalam negeri terkait masalah ini. Selain itu, ternyata pidato beliau juga direspon positif oleh kurang lebih 402 komentator (baru beberapa jam setelah dipublish), bahkan diantaranya komentator menulis “ibarat setitik air di saat musim kemarau”. legaaaa saya membacanya, masih ada orang yg seperti bapak, jernih berpikirî. Walaupun ada yang menanggapinya dengan sinis, bahkan menganggap sebagai sebuah pencitraan menghadapi 2014, menurut saya sebuah penilaian yang berlebihan
Akhirnya, saya berharap akan muncul lebih banyak lagi tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang berani mengatakan apa adanya tentang apa yang terjadi di Indonesia untuk kebaikan bangsa ini ke depan, bukan sebaliknya, menjual bangsa ini kepada orang lain sekedar untuk mendapatkan keuntungan materi maupun kedudukan semata, dengan kata lain menjadi komprador asing di negeri sendiri.
Sumber : NU Online


No comments: