KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Monday, 30 March 2015

INILAH KHASNYA NU







Di Saung Apung, Sentul Cisaria - Bogor

Jakarta, NU Online
Peserta bahtsul masail pra muktamar NU di pesantren Krapyak, Yogyakarta, membuat sejumlah rumusan perihal penanda khas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan NU. Sidang yang dipimpin KH Muqsith Ghozali dari Situbondo ini menampung pendapat peserta yang didasarkan pada rujukan kitab dan praktiknya oleh walisongo.

Pada kegiatan yang berlangsung Sabtu hingga Ahad dini hari (28-29/3), Muqsith membuka sidang dengan penetapan gambaran konsep khosois Awaja yang sudah jelas secara syariah ialah 
Ma ana alaihi wa ashhabi. Sedangkan secara isthilah merujuk pada salah satu dari empat mazhab di bidang fiqih, di bidang aqidah mengikuti Asy’ari dan Maturidi, dan di bidang tasawuf mengikuti Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghozali.



                                      


“Padahal kalau kita merujuk pada Irsyadus Sari, Mbah Hasyim menyebut Abul Hasan As-Syazili dan Al-Ghozali. Tetapi tidak masalah, kita konsisten pada yang sudah maklum saja,” kata Muqsith.

Menambahkan poin penanda kekhasan Aswaja NU dari kelompok lain, Ketua LBM PWNU Yogyakarta KH Muzammil mengajak para kiai untuk merujuk pada sejarah masuknya Islam di Indonesia dan walisongo. NU dengan bintang 9 itu diartikan sebagai walisongo.

“Aswaja NU tidak cukup sekadar ‘
Ma ana alaihi wa ashabi’, tetapi juga mengikuti cara-cara Walisongo dalam mempraktikkan dan mendakwahkan Islam di tengah masyarakat. Termasuk khosois Aswaja an-Nahdliyah ialah menempatkan ulama sebagai panutan baik sebagai pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” kata Muzammil.

Ia juga menyebut keramahan terhadap budaya lokal sebagai penanda khas Aswaja NU. “Yang dilakukan para wali ialah tidak melakukan pemberangusan tetapi mengisi budaya lokal sesuai nilai Islam, bukan pembumihangusan. Mengedepankan maslahat, membangun harmoni. Secara garis besar, khosois Aswaja NU mengacu pada cara beragama para wali.”

Sementara Kiai Aniq Muhammadun dari Pati menyebut Aswaja ala NU itu sudah tertuang pada Qanun Asasi yang dikonsep oleh Mbah Hasyim. “Sebab yang di luar NU, itu tidak mau bermadzhab dan bertasawuf. Menurut saya, itulah khosois Aswaja bagi NU,” kata Kiai Aniq.

Di akhir sidang, Muqsith menyebutkan kembali secara umum bahwa aqidah ushuliyah merupakan titik temu NU dengan kelompok Islam lainnya. Sementara aqidah furu’iyah seperti tahlil, tawassul, ziarah kubur, talqin, fidyah, tarekat, manaqib, menjadi penanda khas NU. “Aqidah furuiyah ini menjadi titik beda NU dengan yang lainnya. Kalau yang di sini tahlil, yang di sana tidak maka yang di sana tidak mesti kafir,” ujar Muqsith.

Di bidang politik, kekhasan Aswaja NU terletak pada penerimaan Pancasila dan NKRI. Demikian juga dalam bidang ekonomi, Aswaja NU tidak mendukung kapitalisme atau komunisme. Bahan-bahan ini akan disempurnakan pada forum bahtsul masail di Muktamar NU Agustus mendatang. Kekhasan ini sengaja diangkat mengingat kini banyak kelompok yang juga mendaku sebagai kelompok ahlus sunnah wal jamaah, kata Muqsith. (
Alhafiz K)

Friday, 27 March 2015

PERAMPOK ITU TERSIMPUH DI HADAPAN SYEKH ABDUL QODIR JAELANI

KH. Sohibulwafa Tajul Arifin ( Abah Anom ) Suryalaya


KelahiranSyekh Abdul Qodir Al Jaelani

AbdulQadir Jailani adalah seorang ulama terkenal. Ia bukan hanya terkenal di mana ia tinggal, Baghdad, Irak saja. Tetapi hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenalnya. Hal itu dikarenakan kesalihan dan ilmunya yang demikian tinggi dalam bidang ajaran Islam, terutama dalam bidang tasawuf.
Nama sebenarnya adalah Abdul Qadir. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar atau sebutan seperti; Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan sebagainya. Abdul Qadir Jailani masih keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qadir Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 1077 M. Pada saat melahirkannya, ibunya sudah berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang namanya terdapat julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang suka menambah nama mereka dengan nama tempat tinggalnya.
Abdul Qadir dan Perampok

Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Dengan beat hati sang Ibu mengizinkannya. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian ilmunya.
Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Abdul Qadir, dan bertanya,
“Apa yang engkau punya?”

Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qadir. Bagaimana mungkin ada orng engaku jika memiliki uang kepada perampok. Kemudian perampok itupun melapor pada pemimpinnya.
Sang pemimpin perampokpun segera menghampiri Abdul Qadir. Ia menggeledah baju Abdul Qadir. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kepala perampokitu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada Abdul Qadir,
“Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?”
Maka Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”
Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”
Kemudian kepalaperampok itu menyerahkan kembali uang itu pada Abdul Qadir dan melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolannya.
Mengembara

Pencarian ilmunya berlanjut. Kemudian berangkatlah Abdul Qadir ke Baghdad. Baghdad adalah ibukota Irakl. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang paling ramai di dunia. Di Baghdad berkembang segala aktiitas manusia. Ada yang datang untuk berdagang atau bisnis, mencari pekerjaan atau menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar pada saat itu.
Saat itu tahun 488 H. Usia Abdul Qadir baru 18 tahun. Pada saat itu, khalifah atau penguasa yang memimpin Baghdad adalah Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.
Ketika Syaikh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh Nabi Khidir as. Nabi Khidir adalah seorang Nabi yang disebutkan dalamAl-Qur'an dan diyakini para ulama masih hidup hingga kini. Saat menemui Abdul Qadir itu, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke kota Bagdad itu.
Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.”
Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai

Tentu saja Abdul Qadir bingung.mengapa ia tidak diperbolehkan masuk ke kota Baghdad selamatujuh tahun? Tetapi Abdul Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah Nabi Khidir, tentu dia harus mengikuti perntahnya tersebut.
Oleh karena itu, Abdul Qadir pun kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Tentu sangat berat. Ia yang selama di umah bisa hidup bersamaorang tua dan saudara-saudaranya di rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sebuah sungai. Tidak ada yang dapat dimakannya kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa dimakan.
Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam. Ketika itu ia mendengar suara yang jelas ditujukan kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Keesokan harinya, iapun mengadakan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun masuk ke Baghdad. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syaikh Yusuf al Hamadani. Dari dialah Abdul Qadir mendapat ilmu tentang tasawuf. Syaikh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qadir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali.
Berguru Kepada Para Ulama Besar

Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, Kakiku ada di atas pundak para wali.”
Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, Abdul Qadir mendapatkan ilmu Tariqah. Adapun akar dari tariqahnya adalah Syari’ah. Dalam taiqahnya itu beliau mendekatkan diri pada Allah dengan doa siang malam melalui dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun shadaqah, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Sa'ad al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada Abdul Qadir. Di situlah Syaikh Abdul Qadir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.
Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.
Menjadi Ulama Besar

Syaikh Abdul Qadir tidak hanya berguru kepada para ulama di atas. Dia juga memperdalam ilmunya kepada para ulama besar yang lain. Di antaranya adalah Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Seluruh guru-guru Syaikh Abdul Qadir tersebut adalah para ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam bidang agama. Sebab itulah, tidak heran jika kemudian Syaikh Abdul Qadir menjadi ulama besar menggantikan para ulama tersebut.
Sebegaimana telah disebutkan, suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi, guru Syaikh Abdul Qadir, membangun sekolah atau Madrasah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak cukup untuk menampung orang yang datang ingin berguru kepada Syaikh Abdul Qadir.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab. Ia berdakwah kepada semua lapisan masyarakat, hingga dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq. Akhirnya beliau dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya, Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M). Kemudian diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M). Namun sayang sekali, sekolah yang besar itu akhirnya hancur ketika Baghdad diserang oleh tentara Mongol yang biadab pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia bernama tarekat Qadiriyah.
Kesaksian Para Syaikh

Syaikh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syaikh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syaikh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syaikh Bisri al Hafi, 4) Syaikh Mansur ibn Amar, 5) Syaikh Junaid al-Baghdadi, 6) Syaikh Siri as-Saqoti, 7) Syaikh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syaikh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh Abdul Qadir Jailani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Dalam hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Hafidz al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”
Abdullah al Jubba’i mengatakan:
“Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah Syaikh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”
Kisah Yang terkenal

Pada suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba muncullah seberkas cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan segala pengabadian dan penghambaanmu, maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan kubebaskan kau dari segala ibadah”.
Abdul Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan menghardik “Pergilah kau syetan laknatullah!”.
Cahaya itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,”
Syaikh Abdul Qadir menjawab, Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau berkata telah menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan Nabi Muhammad SAW saja kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan yang haram.
Syetan berkata lagi, Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu.
Syaikh Abdul Qadir berkata, Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena rahmat dari Alah Swt. bukan karena keluasan ilmuku.
Syaikh Abdul Qadir dan Anak Seorang Wanita Miskin

Suatu saat, seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Wanita itu berkata, Ya Sayyidii, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi, engkau memberi.

Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin. Ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia melihat seluruh murid Syaikh menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Di hadapan setiap orang ada seekor ayam yang kemudian mereka makan.
Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, "Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina Abdul Qadir kaya baik di dunia maupun di akhira. Aku akan suruh anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan ikut makan di pagi dan malam hari."
Ia berkata, "Aku ingin anakku menjadi muridmu."
Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhamad Ahmad, Bawa dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya award (roti kering) untuk khalwat (menyepi). Berikan untuknya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari.
Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam setiap harinya. Saat datang itu, ia melihat para murid Syaikh duduk dan sedang makan ayam.
Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Syaikh Abdul Qadir menjawab, œIa sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa.
Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi.
Wanita itupun turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya. Dilihatnya anaknya tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya memancar dari wajahnya.
Wanita itu mendatanginya.ia melihat sekerat roti di situ. Ia berkata, Apa ini?
Anaknya menjawab, Itulah yang aku makan, sekerat roti setiap hari.
Wanita itu kecewa. Ia kemudian mendatangi Syaikh Abdul Qadir dan berkata, Aku membawa anakku untuk bersamamu.
Saat wanita itu berbicara sang Syaikh memerintahkan para muridnya, "Makan."
Setiap murid memakan ayam di hadapannya masing- masing. Yang dimakan bukan potongan-potongan, tapi ayam yang utuh yang telah masak, beserta tulang-tulangnya. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, 

"Jika kau ingin anakmu mencapai suatu tingkat untuk dapat memakan ayam beserta tulang-tulangnya, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyah atau pelatihan."
Tarbiyah itu adalah untuk membina dan melatih pikiran, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan.
Seorang yang ingin senang tentu harus berusaha keras untuk mencapainya. Demikian juga orang yang ingin berhasil, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh sebagaimana dikatakan yekh Abdul Qadir di atas.
Dalam Suatu Perjalanan

Pada suatu saat, Syaikh Abdul Qadir sedang berada dalam suatu perjalanan. Perjalanan yang ditempuhnya benar-benar berat. Ia harus melewati gurun padang pasir. Berhari-hari lamanya ia tidak menemukan air. Syaikh Abdul Qadir sudah sangat kehausan.
Tiba-tiba muncul segerombolan awan di langit. Awan itu seolah melindunginya. Dari awan itu jatuh tetesan air. Maka Syaikh Abdul Qadir segera meminum tetesan air dari atas itu. Hilanglah rasa dahaganya.
Kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, "Wahai Abdul Qadir, Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu."
Maka Abdul Qodir berkata: "Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk."
Tiba-tiba awan itu berubah menjadi gelap dan berasap. Kemudian ada suara yang mengucapkan: "Wahai Abdul Qadir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu." Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.

Syaikh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab
Al-Fathu Ar-Rabbani,

Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
Futuh Al-Ghaib.
Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi'ul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau 90 tahun.

Pertemuan Jailani dengan al-Hamadani

Abu Sa'ad Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi'i, berkata, "Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya.
Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, "Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui."
Aku menimpali, "Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan."
Sementara Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, "Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu ketuhanannya."
Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, "Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini!" dan ia melanjutkan, "Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu."
Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, "Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku."
Kemudian ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, "Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu."
Ibn Abi Asrun melanjutkan, "Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syaikh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, "Kedua kakiku berada di atas leher semua wali." Syaikh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.
Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.
Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya.

Kegelapan Menutupi Mukanya.
Suatu hari seseorang melihat Ibnu al-Saqa. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan bahwa ia bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi kepadamu?"
Ibn al-Saqa menjawab, "Aku terperosok ke dalam godaan"
Orang itu bertanya lagi, "Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?"
Ibnu al-Saqa menjawab, â"Aku ingat ayat yang berbunyi, "Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam (Q.S. al-Hijr [15]: 2)."
Orang itu menceritakan Ibnu al-Saqa gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari jasadnya, ia berkata, "Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani.
Sementara salah satu orang yang dulu menemui yaikh al-Hamadani, Ibn Abi Asrun menceritakan, 

Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku 

BOLEHKAH, MENJUAL DAGING QURBAN ?




Dua pekan sebelum hari raya Idul Adha, pasar hewan dadakan bermunculan di tepi jalan raya. Sepekan menjelang hari H, pasar hewan itu makin ramai baik oleh pembeli maupun anak-anak yang terkagum girang melihat kambing, sapi, atau kerbau berkumpul. Ini yang disebut “Dijual Hewan Qurban”. Lalu bagaimana dengan menjual daging qurban?

Mereka yang menjual daging qurban memang sulit ditemukan di tepi jalan seperti penjual hewan qurban. Mereka juga biasanya jadi penjual dadakan paket daging qurban yang mereka terima dari panitia masjid atau tetangganya yang menyembelih hewan qurban.

Menjual hewan qurban jelas mubah. Lalu bagaimana dengan menjual daging qurban? Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya 
Busyrol Karim Bisyarhi Masa’ilit Ta‘lim mengatakan,

وتردد البلقيني في الشحم، وقياس ذلك أنه لا يجزئ كما في التحفة، وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره أي لمسلم، بخلاف الغني إذا أرسل إليه شيء أو أعطيه، فإنما يتصرف فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة، لأن غايته أنه كالمضحي
Al-Bulqini sangsi perihal lemak hewan qurban. Berdasar pada qiyas, tidak cukup membagikan paket qurban berupa lemak seperti keterangan di kitab Tuhfah. Sementara orang dengan kategori faqir boleh mendayagunakan daging qurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang muslim. Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging qurban. Ia boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berqurban.

Kategori kaya kasarannya ialah mereka yang memunyai kelebihan rezeki untuk menyembelih hewan qurban saat hari raya Id. Ketentuan ini merupakan anjuran bagi orang kaya untuk berqurban selagi tidak ada halangan. Sementara si faqir tidak perlu bimbang untuk menjual daging yang sudah menjadi haknya kepada orang lain bila kondisi menuntut. Dijual mentah boleh, dijual matang tidak masalah. 
Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Thursday, 26 March 2015

CARA BERAGAMA DAN BERNEGARA NU, DIPERHITUNGKAN DUNIA

Putriku Bribda Amalia Ulfah, di Museum Polri

Kudus, NU Online
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang menggabungkan dua ukhuwah yakni Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan Wathaniyah (persaudaraan berbangsa dan bernegara). Karena menggabungkan dua hal itu organisasi yang berdiri tahun 1926 itu banyak diperhitungkan dunia Islam.

Demikian dikemukakan KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU dalam Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) kerjasama PC Lakpesdam NU Kudus dan PP Lakpesdam NU yang dilaksanakan di pesantren Raudlatul Muta’allimin Langgar Dalem Kudus, Jawa Tengah, Sabtu (21/3) lalu.  

Sebab menggabungkan dua hal itulah Indonesia, kata Kiai Said, tidak layaknya di negara Islam macam Afganistan dan Somalia. Meski di kedua negara Islam tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi di sana sering terjadi peperangan. “Virus takfir, saling mengafirkan serta tafjir saling mengebom menjadi menu sehari-hari,” terangnya.

Berbeda dengan di Nusantara, NU merupakan jam’iyah yang tidak arogan dan tidak sombong. Terhadap kelompok minoritas, NU melindungi kelompok kecil seperti kepada umat Hindu, Buddha dan Konghucu. “Berbeda dengan di Amerika, disana malah cenderung diskriminatif terhadap kelompok minoritas,” tegasnya.

"Sehingga tidak salah jika NU lewat PBNU sering disambangi Kedutaan Luar Negeri misalnya Qatar dan Swedia tidak lain untuk ngangsu kaweruh tentang semangat nasionalisme NU,” tambahnya.

Melindungi minoritas lanjut lelaki 61 tahun itu sejalan dengan tasamuh. Toleran dengan non-muslim dan non-aswaja. “Siapapun orangnya atau kelompoknya meski berbeda agama maka ia sedulur dan siapa yang mengajak ‘bermusuhan’, termasuk salafi wahabi, maka ia termasuk musuh kita,” paparnya.

Berbeda dengan di Irak. Di sana sejak 2006-2013 terjadi pertumpahan darah yang telah menelan 700.000 korban. Karena itu, sudah saatnya Indonesia menjadi kiblatul adabil Islam, kiblat peradaban Islam bagi dunia. Sebab Islam Nusantara mensinergikan nash dan akal. 


(Syaiful Mustaqim/Fathoni)

Wednesday, 25 March 2015

PUNYA SUAMI LEBIH DARI SATU, JIKA MASUK SURGA, YANG MANA SUAMINYA?

 KH. Baban, ( Putra Abah Anom Ponpes Suryalaya )
di Villa Jatibening Estate Bekasi, Maret 2015

Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi bahtsul masail yang saya hormati. Kelak di surga kita akan mendapatkan pasangan kita kembali, dan saya pernah ditanya oleh seseorang perihal seseorang perempuan yang menikah lebih dari satu kali. Bagaimana kelak kalau ia masuk surga, siapa di antara suaminya yang akan menjadi suaminya kelak di surga? Suami yang pertama atau yang kedua, atau yang lainnya? Mohon penjelasannya, kurang lebihnya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb (Ahmad Ghazali/Lampung)

Jawaban
Assalamu’alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Kelak di surga tidak ada orang yang melajang. Dan kita akan dipertemukan kembali dengan pasangan kita masing-masing sampai anak cucu. Pertemuan kembali keluarga tersebut telah ditegaskan dalam firman Allah swt;
  وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ  
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan dengan apa yang dikerjakan” (Q.S. Ath-Thur: 21)
Pertemuan tersebut terlaksana sepanjang mereka adalah orang yang beriman, meskipun terdapat perbedaan dalam amal kebajikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas. 
 أَيْ: أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ فِي الْمَنْزِلَةِ الرَّفِيعَةِ فِي الْجَنَّةِ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا قَدْ شَارَكُوهُمْ فِي الْأَعْمَالِ بَلْ فِي أَصْلِ الْإِيمَانِ
“Maksudnya, Kami (Allah) pertemukan mereka dengan keluarga anak cucu mereka di tempat yang mulia di dalam surga meskipun mereka tidak sama amal kebajikannya, tetapi lebih karena keimanan” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, Mesir-Dar Thayyibah, cet ke-2, 1420 H/1999 M, juz, 3, h. 384)      
Lantas bagaimana jika seorang perempuan pernah menikah berkali-kali dan masuk surga, sedang mantan-mantan suaminya juga masuk surga, siapa di antara mereka yang akan menjadi suaminya di surga? Jawaban atas hal ini adalah bahwa kelak di antara mantan-mantan suaminya yang akan menjdai suaminya di surga adalah yang paling baik akhlaknya.
Jawaban ini diambil dari keterangan yang terdapat dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyyah karya Ibnu hajar al-Haitami. Beliau pernah di tanya dalam soal ini, dan untuk menjawbanya diajukan sebuah hadits yang diriwayatkan ath-Thabarani dari Ummi Salamah ra.
Ummi Salamah ra pernah bertanya kepada  Rasulullah saw tentang perempuan yang seorang perempuan menikah lebih dari satu kali kemudian meninggal dunia dan masuk surga, siapa yang menjadi suaminya di surga? Rasulullah saw pun menjawab, “Sungguh, ia (perempuan) diberi pilihan, kemudian ia akan memilih di antara mereka yang paling baik akhlaknya”.  
وَسُئِلَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ أَزْوَاجاً لِمَنْ تَكُونُ لَهُ مِنْهُمْ فِي الْآخِرَةِ ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ أَخْرَجَ الطَّبَرَانِي عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي صِفَةِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَدِيثاً طَوِيلاً وَفِيهِ ( قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ اَلْمَرْأَةُ تَتَزَوَّجُ الزَّوْجَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ وَالْأَرْبَعَةَ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ تَمُوتُ فَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَيَدْخُلُونَ مَعَهَا مَنْ يَكُونُ زَوْجُهَا مِنْهُمْ ؟ قَالَ  (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ):  إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقاً
“Ibnu Hajar ra pernah ditanya tentang perempuan yang menikah dengan beberapa orang, kelak di akhirat ia menjadi istri siapa di antara mereka? Kemudian beliau menjawab dengan mangajukan hadits Nabi saw yang panjang yang diriwayatkan ath-Thabari dari Ummi Salamah ra tentang gambaran penduduk surga. Di dalam hadits tersebut terdapat dialog antara Ummi Salamah ra dengan Rasulullah saw; ‘Saya (Ummi Salamah ra) bertanya kepada Rasulullah saw. Wahai Rasulullah, seorang perempuan semasa hidupnya menikah dua kali, tiga kali, atau empat kali kemudian ia meninggal dunia dan masuk surga, sedang mantan-mantan suaminya juga masuk surga bersamanya, siapakah di antara mereka yang menjadi suaminya di surga? Rasulullah saw pun menjawab; ‘Sungguh ia diberi pilihan, kemudian ia akan memilih di antara mereka yang paling baik budi pekertinya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 36)
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami kepada para suami, jadilah suami yang baik bagi istri dan cintailah dengan tulus. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)

Monday, 23 March 2015

PEMIKIRAN GUSDUR, JAUH MENINGGALKAN ZAMANNYA


Ada yang menarik dari konferensi tahunan ketujuh yang diadakan oleh Globalization for the Common Good, From the Middle East to Asia Facific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures and Religions, 30 Juni – 3 Juli 2008, di Melbourne, Australia. Para peserta dan pembicara yang berasal dari universitas-universitas terkemuka pelbagai Negara ini hampir selalu menyebut nama mantan presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.
Prof. Muddathir Abdel-Rahim (International Institute of Islamic Thought and Civilization, Malaysia) menunjuk Gus Dur sebagai sosok yang berhasil membalik prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam yang cenderung dipersepsi tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian. Prof. Abdullah Saeed (The University of Melbourne) juga mengakui posisi penting Gus Dur dalam upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal al-Qur’an. Dr. Natalie Mobini Kesheh (Australian Baha’i Community) mengatakan bahwa satu-satunya pemimpin Islam dunia yang begitu akomodatif terhadap komunitas Baha’i adalah Gus Dur. Prof. James Haire (Charles Stuart University, New South Wales) berkali-kali memberi pujian kepada Gus Dur yang ia nilai paling gigih dalam memberi perlindungan terhadap kelompok minoritas. Sementara Dr. Larry Marshal (La Trobe University, Australia) menyebut Gus Dur sebagai pemikir cemerlang yang memiliki pandangan luas. 
Marshal bahkan sangsi Indonesia bisa melahirkan pemikir-aktivis seperti Gus Dur dalam jangka waktu seratus tahun ke depan. Apresiasi dan pujian dari masyarakat intelektual dunia ini bukan sekali ini saja. Gus Dur kerapkali menerima sejumlah penghargaan dari banyak lembaga internasional yang bersimpati terhadap perjuangannya selama ini.
Apresiasi semacam itu justru agak berbeda dengan situasi mutakhir di Indonesia. Setelah tersingkir dari jabatan struktural Nahdlatul Ulama (NU), diganti oleh bekas loyalisnya, Hasyim Muzadi, kini Gus Dur harus menghadapi tekanan politik dari kemenakannya, Muhaimin Iskandar, di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Musuh-musuh ideologisnya bahkan secara terang-terangan berani memperolok-olok mantan presiden ini di depan publik. Pada sebuah acara talk show di sebuah stasiun televisi, Rizieq Shihab menyebut Gus Dur “buta mata, buta hati.” Olok-olok dan penghinaan ini kemudian diikuti oleh pengikut-pengikut Rizieq di pelbagai daerah yang tanpa sungkan membawa poster olok-olok tersebut ke jalan-jalan.
Gus Dur tidak hanya menuai tantangan dari musuh-musuh politik dan ideologisnya. Madina, sebuah majalah yang dikenal moderat dan kerapkali menampilkan gagasan-gagasan pembaruan Islam, tidak menyebut namanya dalam daftar 25 tokoh Islam damai di Indonesia. Gus Dur tersingkir dari nama-nama beken seperti Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, atau Helfy Tiana Rosa. Bahkan di kalangan kelompok moderat Indonesia sekalipun, Gus Dur tak jarang terabaikan.
Meski begitu, apa yang terjadi pada konferensi Melbourne dan forum-forum internasional lain bukan sekedar apresiasi dan pujian, melainkan harapan. Gus Dur dianggap sebagai harapan bagi masa depan perdamaian di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya. Melalui aktivitas pembelaan terhadap kelompok pinggiran, Gus Dur telah memberi bukti bahwa Islam juga punya semangat toleransi dan perdamaian, bahkan dalam bentuk yang paling tradisional sekalipun.
Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda depan sebagai pembela hak-haknya. Bagi Gus Dur, adalah hak pengikut Ahmadiyah untuk hidup sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Jaminannya adalah Konstitusi. Perkataan Gus Dur dalam sebuah konferensi pers mungkin akan sulit dilupakan para pejuang HAM dan demokrasi: “Selama saya masih hidup, saya akan tetap membela keberadaan Jemaat Ahmadiyah, karena itu sesuai dengan amanat Konstitusi.” Bagi Gus Dur, hak hidup semua orang dengan latar belakang primordial apapun adalah harga mati.
Barangkali memang Gus Dur tidak sedang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Aktivitas dan pemikirannya terlalu jauh meninggalkan zamannya. Hanya masyarakat maju dan tercerahkan yang bisa mengapresiasi perjuangannya. Ketika Gus Dur berjibaku dengan isu-isu perdamaian bagi negeri tercinta, antusiasme masyarakat Indonesia terhadap gagasan-gagasannya justru melemah. Dalam pelbagai survey opini publik, suara Gus Dur malah anjlok ke titik terendah. Jika di dalam negeri Gus Dur dicaci dan direndahkan, untuk masyarakat internasional pecinta perdamaian, Gus Dur adalah pemimpin.
Salam

Sunday, 22 March 2015

MENCEGAH BENIH TERORIS, BUKU AJARAN SALAFI WAHABI DITARIK



Jombang, NU Online
Pemerintah Kabupaten Jombang Jawa Timur memastikan buku pendidikan agama Islam (PAI) kelas XI yang mengajarkan pemikiran radikalisme Wahabi ditarik dari seluruh sekolah. Hal ini disampaikan Wabup Hj Mundjidah Wahab menyikapi polemik adanya ajaran kekerasan yang tertuang dalam buku yang dikeluarkan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI Jombang itu.

"Mulai hari ini, penarikan buku tersebut mutlak harus dilakukan, karena materi yang tertuang berpotensi meracuni pikiran siswa terhadap ajaran radikal," ujarnya kepada sejumlah media, Ahad (22/3).

Wabup yang juga putri pendiri NU, KH Wahab Hasbullah ini menambahkan, berdasarkan pertimbangan dampak kepada siswa dan keberlangsungan negara, serta intruksi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pemkab Jombang, mulai Senin ini akan menarik seluruh Buku KLPD (Kumpulan Lembar Kerja Peserta Didik) Pendidikan Agama Islam dari peredaran dan selanjutnya akan dilakukan revisi. "Ditarik semua dari sekolah dan harus dilakukan revisi," tandasnya.

Karenanya, Pemkab Jombang akan segera berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan, MGMP Pendidikan Agama Islam Kabupaten Jombang dan sejumlah pihak terkait, untuk membahas buku pengganti dari Buku KLPD Pendidikan Agama Islam yang ditarik dari para siswa.

Seperti diketahui, salah satu bab buku tersebut membahas tokoh-tokoh pembaharu Islam termasuk pemikiran tokoh Wahabi, Muhamad bin Abdul Wahab. Pemikiran radikal tokoh Wahabi ini terdapat pada halaman 78, dengan menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah berarti musyrik dan boleh dibunuh.

Buku KLPD Pendidikan Agama Islam itu sendiri, menurut penuturan dari tim penulis buku, bersumber dari buku PAI dan Budi Pekerti yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Materi radikal Wahabi ini mendapat kecaman berbagai pihak, seperti Gerakan Pemuda Ansor, Ikatan Sarjana NU (ISNU), dan jaringan Gusdurian. Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid dan Ketua MUI Jombang KH Cholil Dahlan juga meminta buku radikal ini dicabut. "Apapun alasannya kalau membunuh orang itu sudah enggak benar. Makanya, saya berharap buku tersebut segera direvisi," ujar Gus Sholah, sapaan akrabnya.

Adik kandung Gus Dur ini mengatakan, munculnya materi berbau radikalisme tersebut menunjukkan bahwa tim penyusun buku tersebut tidak jeli alias kecolongan. Yang membuat Gus Sholah lebih heran, fenomena serupa sudah terjadi berulangkali. Dia lantas mencontohkan materi pelajaran yang pernah menyebut Presiden Gus Dur jatuh jabatannya karena korupsi. "Padahal itu tidak benar," ujar mantan Wakil Ketua Komnas HAM.
 (Muslim Abdurrahman/Mahbib)

Friday, 20 March 2015

MARS BANSER & ANSOR NU


BENARKAH Ust. ADAM AMRULLAH Di RUKQAH SYAR'I TRANS 7, BERPAHAM SALAFI WAHABI & ANGGOTA ISIS




Muslimedianews.com ~ 
Rame diperbincangkan di jejaring sosial yang mengaitkan dirinya dengan wahabi salafi ISIS, akhirnya Ustadz Adam Amrullah angkat bicara. Melalui akun Facebook resminya, Adam menyatakan klarifikasinya bahwa dirinya berakidah Ahlussunnah wal Jama'ah dan bukan bagian atau pendukung ISIS.

"Saya Adam Amrullah, akidah saya Ahlussunnah walJamaah. Saya menyatakan berlepas diri dari tuduhan bahwa saya bagian atau pendukung ISIS seperti yang dituduhkan," ungkap Adam di akun Facebook pribadinya (17/03/2015).

Terkait blog yang menyebut dirinya sebagai Panglima ISIS di Indonesia, mantan anggota LDII ini mengakui memang pernah mempunyai Blog Forum Ruju Ilal Haq. Tapi blog yang ia kelola tersebut telah lama dihapus dan dirinya pun berlepas diri dari blog baru yang mempunyai nama yang sama tersebut.

"Blog Forum Ruju Ilal Haq milik saya sudah saya hapus sejak lama, dan saya berlepas diri dari pernyataan di blog yang mengatasnamakan ruju ilalhaq," lanjut Adam.

Sedangkan foto dirinya yang terpampang di Blog Ruju Ilal Haq disebutkan bahwa itu diambil setelah BAP kasus video dakwah yang terkait dengan kelompok LDII.

"Foto-foto saya bersama Umat Islam setelah BAP kasus video dakwah saya yang dikriminalisasi oleh SENKOM LDII Islam jamaah - dengan bendera tauhid difoto sebelum berita ISIS booming - yang mana padahal itu bendera Tauhid Umat Islam biasa", jelas Adam.

Adam Amrullah pun menyatakan dirinya siap mubahalah dihadapan seluruh perwakilan Umat Islam atas isu yang mengaitkannya dengan wahabi ISIS.

"Saya siap diperiksa, bahkan siap sumpah mubahalah dihadapan seluruh perwakilan Umat Islam atas semua tuduhan yang dialamatkan di link tersebut..Saya akan doakan kepada siapapun pihak yang memfitnah saya, agar mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara terbuka atau Allah adzab di dunia dan di akhirat," tutup Adam.

Ustadz Adam Amrullah merupakan salah satu narasumber yang sering tampil di acara Ruqyah Trans7 dan Khazanah Trans7. Acara-acara tersebut acapkali bertentangan dengan faham ahlussunnah wal jama'ah yang banyak dianut umat Islam di Indonesia dan Dunia. Bahkan terkait Khazanah Trans7, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah memanggil pihak Trans7 untuk bermediasi dengan umat Islam Ahlussunnah wal Jama'ah karena dinilai acaranya yang meresahkan. 


muslimedianews Sumber MMN: 
http://www.muslimedianews.com/2015/03/inilah-klarifikasi-adam-amrullah.html

BOLEHKAH, SHOLAT SAMBIL PEGANG QURAN ?

Putriku BRIPDA AMALIA ULFAH ( no 2 dari kiri )
di Masjid Polres Kota Bekasi saat pengajian rutin, setiap hari Kamis.


Assalamualaikum. 
Pak kiai yang dirahmati Allah. Saya ingin bertanya bagaimana hukumnya shalat dengan membaca mushaf Al Qur’an, terimakasih. Wassalamualiakum wr.wb. ( Hasan – Jakarta)

Wa’alaikum salal wr. wb.
Saudara penanya yang dimuliakan Allah.
Salah satu ibadah sunat paling utama yang dilakukan oleh umat Nabi Muhammad saw adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an terlebih apabila dilakukan dalam shalat. Bahkan hukum sunat ini dapat berubah menjadi wajib seperti  membaca surat Al-Fatihah dalam shalat  menurut madzhab Syafi’i.
Menanggapi permasalahan yang saudara kemukakan terkait dengan membaca mushaf al- Qur’an ketika shalat, dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzzab karya Imam Nawawi  disebutkan sebuah redaksi: 
لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ
Artinya: “Apabila  orang yang sedang shalat membaca Al-Qur’an dari mushaf maka shalatnya tidak batal, baik dia hafal Al-Qur’an atau tidak. Bahkan dia wajib melakukan hal itu jika dia tidak hafal surat Al-Fatihah sebagamaina keterangan yang telah dijelaskan. Apabila ia sampai membolak balik lembaran mushaf maka salatnya  tetap tidak batal.”
Dari  rujukan diatas, kami memberikan beberapa gambaran sebagai  berikut:
Pertama, apabila mushaf tersebut terletak dan terpampang didepan mushalli (orang yang shalat), maka hukumnya tidak masalah  seperti  mushaf yang dipigura atau dilaminating lalu dipasang didepan pengimaman dan imam membacanya ketika shalat.
Kedua, mushaf tersebut terletak disebelah atau disaku orang yang shalat. Apabila memang demikian kondisinya, maka yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan serta meletakkannya kembali berikut membukanya. Selama dalam proses pengambilan, meletakkan serta membuka tersebut tidak tergolong melakukan  banyak aktifitas, maka hukum membaca mushaf tersebut tetap dibenarkan. Sedangkan apabila dalam proses yang kami sebutkan dianggap melakukan banyak aktifitas, maka dalam pandangan madzhab Syafii  hal ini  dianggap dapat membatalkan shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mereka.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa membaca mushaf ketika sedang melaksanakan shalat hukumnya boleh selama tidak melakukan aktifitas-aktifitas yang dapat membatalkan shalat. Pendapat ini sekali lagi mengacu kepada pandangan madzhab Syafi’i. Berbeda dengan pendapat  sebagaian pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa hal yang demikian (membaca mushaf ketika shalat) dianggap membatalkan shalat.
Saudara Hasan yang dimuliakan Allah.
Demi terhindar dari perbedaan pendapat antar madzhab sebagaimana disebutkan, alangkah lebih baik apabila diluar shalat kita memperbanyak bahkan sering membaca Al-Qur’an sehingga mampu menghafalnya, hingga dalam pelaksanaan shalat kita tidak perlu membaca atau membuka mushaf. Hal ini tentunya akan kian menambah fokus dan kekhusyu’an kita dalam beribadah.
Mudah-mudahan  jawaban ini bermanfaat dan semakin menggiatkan kita untuk lebih gemar membaca serta mencintai kalamullah. Amin.
Wallahu a’lam bi as-shawab. (Maftukhan)

Thursday, 19 March 2015

MINUM OBAT PENUNDA HAID, AGAR PUASA RAMADHAN FULL

Bribpa Amalia Ulfah binti M. Supriyanto
di Acara Car Free Day , Hut Kota Bekasi ke 18

Pertanyaan : 
Ustadz, di bulan Ramadlan yang penuh dengan keutamaan ini saya ingin melaksanakan ibadah sebanyak – banyaknya, agar penuh satu bulan saya minum obat penunda haid. Apa hukumnya? // Zakiyah,Mojosari Mojokerto

Jawaban
Mbak Zakiyah yang saya hormati, memang di bulan Ramadlan ini penuh dengan fadhilah (keutamaan), rahmah, maghfirah, dan
 ‘itqun min al-nar, bahkan di bulan

Ramadlan ini ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan yaitu ‘Lailatul Qodar. Maka beruntunglah kaum muslimin yang dapat menggunakan kesempatan ini untuk beribadah sebanyak – banyaknya, baik itu puasa, shalat Tarawih dan shalat sunah lainya, membaca al-Qur’an, shadaqah, i’tikaf dan beberapa ibadah lainnya sehingga mencapai derajat yang paling tinggi di sisi Allah SWT yaitu Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa).

Mbak Zakiyah yang dimuliakan Allah, bagi seorang muslimah, secara 
qudrati akan mengalami masa haidh setiap bulan. Dan apabila sedang haidl, maka tidak boleh berpuasa, shalat, membaca al- Qur’an dan lainnya. Tentu hal tersebut akan menjadi penyebab bagi mereka untuk dapat melaksanakan beberapa rangkaian ibadah sunnah dan wajib sebagaimana penjelasan diatas, walaupun itu bukan sebuah pelanggaran kepada Allah SWT. Dengan demikian, jika seseorang mengkonsumsi obat penunda haidl itu tidak menggangu kesehatan dan bertujuan agar lebih banyak beribadah kepada Allah SWT, maka hal itu hukumnya mubah (boleh). Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Baa Alawi menegaskan: “ … dan dalam fatwa alqumat dijelaskan bahwa boleh hukumnya menggunakan obat pencegah kehamilan (penunda haid). “ (Bughyatul Mustarsyidin: 247).

Akan tetapi jika penggunaan obat penunda haidl itu justru akan membawa madlorroh (bahaya) terhadap dirinya, maka haram hukumnya mengkonsumsi obat tersebut. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW,
Artinya: “tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya dan membahayakan orang lain”.

Mbak Zakiya, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. maka laksanakanlah amal ibadah tersebut sesuai dengan qudrah dan kemampuannya, karena yang dinilai oleh Allah bukan hanya kuantitasnya melainkan juga kualitas ibadahnya. Semoga kita semua menjadi hamba Allah yang khusyu’,
tawadlu’, patuh kepada Allah sehingga mencapai derajat muttaqin. Amiin.


Sumber via Aswaja NU Jatim

Tuesday, 17 March 2015

KOTBAH JUMAT : JAGA DIRI, Dari JAHILIYAH MODERN




Imam Syafi'i berkata bahwa bentuk jahiliyah pada masa pra Islam ada dua, pertama mereka yang mengaku punya kitab (ahlul kitab) namun mereka telah mengubah sebagian besar hukum-hukumnya, serta mencampurkan kebernaran dengan kepalsuan. Kedua, adalah orang-orang yang mengingkari Allah. Dengan tangannya sendiri dibuatnya batu dan kayu menjadi patung lalu disembahnya.

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةًوَّسُرُوْرًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحـْدَهُ لاَشـَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاَفْضلِ اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَاِبه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَاَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: اقراء باسم ربك الذى خلق خلق الانسان من علق اقراء وربك الأكرم

Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kenikmatan paling mahal berupa ketaqwaan, keimanan dan keamanan. Marilah kita bersama-sama menambahkan rasa taqwa kita kepada Allah swt. agar dalam kehidupan kita kini dan nanti selalu dianugerahi hidayah-Nya.
Rasa syukur juga harus dipanjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan kita keimanan dan keamanan di Indnesia ini. Iman sebagai modal kesuksesan hidup diakhirat dan keamanan menjadi pokok utama kehidupan di dunia. Inilah yang selalu kita minta dalam do’a kita ‘Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah’.

Keimanan dan keamanan adalah dua hal yang saling mendukung. Keamanan secara fisik sebagaimana yang diberikan Allah swt kepada bangsa ini, harus kita sykuri bersama. Bentuk syukur itu tertuangkan dalam usaha kita menjaga kemanan dan selalu mengisinya dengan berbagai hal positif yang mampu mendorong nilai-nilai keimanan kita. Oleh karena itu janganlah kita sia-siakan kondisi yang aman dan damai ini. Marilah kita isi dengan segala kegiatan dan pekerjaan yang bersifat ubudiyah, yaitu pekerjaan kita sertai dengan niat lillahi Ta’ala. Meskipun kegiatan itu terlihat sangat duniawi berangkat ke kantor, berdagang di pasar hingga kerjabakti mingguan. Semua itu bernilai ibadah dan diganjar dengan pahala Allah swt jika diniatkan sebagai ibadah. Apalagi pekerjaan-pekerjaan yang secara lahiriah menjadi sunnah Rasulullah saw secara otomatis pastilah menjadi ibadah.

Diantara karakter pekerjaan bernilai ubudiyah adalah 1) tidak melanggar norma agama, 2) membawa kemaslahatan bersama, 3) tidak merugikan pribadi atau kelompok tertentu.  Inilah makna lain dari ahlussunnah wal jama’ah yaitu beramal sesuai dengan sunnah dan juga mempertimbangkan kepentingan bersama. Tidak mementingkan diri sendiri, kelompok atupun golongan.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Demikian hubungan antara keamanan dan keimanan. Bayangkan bagaimanakah nasib saudara kita yang ada di Suriah dan Irak, dapatkah mereka beribadah dengan tenang? shalat jum’at dengan nyaman? Apabila di luaran sana saudara-saudara yang mengaku se-agama mengancam keamanan mereka, hanya demi kepentingan satu kelompok saja! Sungguh di luar ahlussunnah wal jama’ah adalah kelompok-kelompok yang tidak patut dihormati, sebagaimana mereka yang mengaku ahlussunnah wal jama’ah tetapi tidak memperdulikan nilai-nilai kebersamaan.Na’uzdubillahi min dzalik.
Demikianlah kondisi Arab Jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Mereka hidup dengan membanggakan suku dan kelompoknya masing-masing. Mereka kaum Jahiliyah memiliki Fanatisme yang tinggi, siapapun diluar suku mereka harus ditaklukkan. Tidak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal keimanan masyarakat Jahiliyah lebih suka bersekutu dengan kemusyrikan meskipun telah datang kepada mereka wahyu ketauhidan yang dibawa oleh Nabi sebelum rasulullah saw. Mengenai hal ini Imam Syafi’i dalam Muqaddimah kitab ar-Risalahmengklasifikasikan kelompok Jahiliyah menjadi dua golongan.

Pertama, mereka yang mengaku punya kitab (ahlul kitab) namun mereka telah mengubah sebagian besar hukum-hukumnya, mengingkari nikmat dan petunjuk Allah swt di dalamnya, serta mencampurkan kebernaran yang Allah swt turunkan dengan kepalsuan yang mereka ada-adakan. Demikian sebagaimana Allah singgung dalam Ali Imran ayat 78:

مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.

Dan yang lebih parah dari itu, mereka suka menilai salah kepada kelompok lainnya, bahkan mereka mengaggap yang lain kafir dan merasa dirinya paling beriman. Padahal hati kecil mereka tahu akan kebenaran yang sejati. Tetapi hati mereka terlanjur keras membeku dan malu untuk mengakui kebenaran kelompok lainnya. Surat An-nisa menggambarkannya demikian:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada berhala dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir lainnya, bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. 

Adapun golonga kedua, adalah orang-orang yang mengingkari Allah dan membuat sesuatu yang tidak diizinkan-Nya. Dengan tangannya sendiri dibuatnya batu dan kayu menjadi patung. Diberinya nama-nama yang indah dan diangkatlah patung-patung itu sebagai tuhan yang disembah. Bila mana hati mereka merasa bosan, patung tuhan itu lalu dihancurkan dan dibuatlah patung yang baru dengan nama yang baru pula. Demikianlah tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan jahiliyah sebagaimana yang diwariskan oleh para pendahulu mereka, kata mereka:

وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ 

Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka"

Para Jama’ah yang Dirahmati Allah
Itulah dua kelompok Jahiliyah pada masa sebelum Islam datang. Satu kelompok dengan fanatisme tinggi disertai upaya memalsukan kebenaran, sedangkan satu kelompok lain tenggelam dalam kemusyrikan dan penuhanan benda-benda. Benih-benih ini tidaklah lenyap keseluruhan, malahan kini terlihat mulai bermunculan kembali dengan bentuk lain. Jahiliyah yang muncul di zaman modern ini memiliki karakter yang hampir sama. Fanatisme tinggi yang membuta tanpa disertai dengan ilmu. Menyalahkan dan menganggap diri paling benar, dan tidak segan-segan melakukan kekerasan demi kepentigan pribadi dan kelompok.

Minimnya pengetahuan ini menyebabkan mereka selalu gagal mencapai hikmah dai sari pati ayat-ayat al-Qur’an. Hanya dengan berbekal bacaan buku-buku terjemahan mereka menganggap diri mereka paling benar. Kitab-kitab hadits yang begitu menumpuk difahami melalui bahasa Indonesia. Mereka lupa bahwa hadits Rasulullah saw pada mulanya berbahasa Arab, dan yang mereka baca dan fahami merupakan hasil pikiran para penerjemah yang berlomba menerbitkan buku demi pasar dan uang. Dan yang lebih mengerikan sebagain dari mereka ini faham atas kesalahnnya tetapi malu untuk merubah haluanannya. Na’udzu billah min dzalik.

Inilah bentuk pemalsuan kitab di zaman modern. Tidak kata dan kalimatnya yang diubah tetapi pemahaman yang disederhanakan dan disesuaikan demi kepentingan. Kepentingan penerbitan, perdagangan dan pasar.

Adapun bentuk kejahiliyahan kedua yang kini sangat terasa adalah mempertuhankan tehnologi dan materi. Bagaimana seseorang pada zaman sekarang ini tidak merasa nyaman dan aman kehidupannya tanpa ada tehnologi. Bagaimana kegusaran seorang pemuda yang gadgetnya tertinggal di rumah sedangkan ia dalam perjalanan. Seolah gadget itulah yang akan menyelamatkan perjalanannya. Tehnologi dan pengetahuan menjadi satu gantungan manusia modern yang posisinya hampir menggantikan tuhannya. Masyallah.

Jika demikian maka tugas mereka yang mengaku penerus Rasulullah saw pada zaman sekarang adalah mengembalikan ketuhidan, memerangi fanatisme buta dan kembali mentradisikan berfikir dan membaca keadaan sebagaimana diperintahkan dalam wahyu pertama iqra’..! bismi rabbikal ladzi khalaq,..bacalah segala macam pengetahuan dengan nama Allah swt Yang Maha Mencipta.

Demikianlah khutbah singkat jum’at kali ini semoga kita semua mendapat petunjuk-Nya amien

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ فِى اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، اِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ.