Di Saung Apung, Sentul Cisaria - Bogor |
Jakarta, NU Online
Peserta bahtsul masail pra muktamar NU di pesantren Krapyak, Yogyakarta, membuat sejumlah rumusan perihal penanda khas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan NU. Sidang yang dipimpin KH Muqsith Ghozali dari Situbondo ini menampung pendapat peserta yang didasarkan pada rujukan kitab dan praktiknya oleh walisongo.
Pada kegiatan yang berlangsung Sabtu hingga Ahad dini hari (28-29/3), Muqsith membuka sidang dengan penetapan gambaran konsep khosois Awaja yang sudah jelas secara syariah ialah Ma ana alaihi wa ashhabi. Sedangkan secara isthilah merujuk pada salah satu dari empat mazhab di bidang fiqih, di bidang aqidah mengikuti Asy’ari dan Maturidi, dan di bidang tasawuf mengikuti Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghozali.
“Padahal kalau kita merujuk pada Irsyadus Sari, Mbah Hasyim menyebut Abul Hasan As-Syazili dan Al-Ghozali. Tetapi tidak masalah, kita konsisten pada yang sudah maklum saja,” kata Muqsith.
Menambahkan poin penanda kekhasan Aswaja NU dari kelompok lain, Ketua LBM PWNU Yogyakarta KH Muzammil mengajak para kiai untuk merujuk pada sejarah masuknya Islam di Indonesia dan walisongo. NU dengan bintang 9 itu diartikan sebagai walisongo.
“Aswaja NU tidak cukup sekadar ‘Ma ana alaihi wa ashabi’, tetapi juga mengikuti cara-cara Walisongo dalam mempraktikkan dan mendakwahkan Islam di tengah masyarakat. Termasuk khosois Aswaja an-Nahdliyah ialah menempatkan ulama sebagai panutan baik sebagai pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” kata Muzammil.
Ia juga menyebut keramahan terhadap budaya lokal sebagai penanda khas Aswaja NU. “Yang dilakukan para wali ialah tidak melakukan pemberangusan tetapi mengisi budaya lokal sesuai nilai Islam, bukan pembumihangusan. Mengedepankan maslahat, membangun harmoni. Secara garis besar, khosois Aswaja NU mengacu pada cara beragama para wali.”
Sementara Kiai Aniq Muhammadun dari Pati menyebut Aswaja ala NU itu sudah tertuang pada Qanun Asasi yang dikonsep oleh Mbah Hasyim. “Sebab yang di luar NU, itu tidak mau bermadzhab dan bertasawuf. Menurut saya, itulah khosois Aswaja bagi NU,” kata Kiai Aniq.
Di akhir sidang, Muqsith menyebutkan kembali secara umum bahwa aqidah ushuliyah merupakan titik temu NU dengan kelompok Islam lainnya. Sementara aqidah furu’iyah seperti tahlil, tawassul, ziarah kubur, talqin, fidyah, tarekat, manaqib, menjadi penanda khas NU. “Aqidah furuiyah ini menjadi titik beda NU dengan yang lainnya. Kalau yang di sini tahlil, yang di sana tidak maka yang di sana tidak mesti kafir,” ujar Muqsith.
Di bidang politik, kekhasan Aswaja NU terletak pada penerimaan Pancasila dan NKRI. Demikian juga dalam bidang ekonomi, Aswaja NU tidak mendukung kapitalisme atau komunisme. Bahan-bahan ini akan disempurnakan pada forum bahtsul masail di Muktamar NU Agustus mendatang. Kekhasan ini sengaja diangkat mengingat kini banyak kelompok yang juga mendaku sebagai kelompok ahlus sunnah wal jamaah, kata Muqsith. (Alhafiz K)