KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Sunday 30 June 2013

NU MODEL ISLAM DUNIA



Pada tanggal 4-8 Juni, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diundang oleh para ulama Afganistan dan Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) untuk menghadiri Workshop Peran Ulama dalam Pembangunan dan Rekonstruksi Afganistan di Afganistan. PBNU yang diwakili empat delegasi berbicara di hadapan para ulama dan ilmuwan dari 12 provinsi tentang pentingnya perdamaian serta rekonsiliasi.
Dalam kesempatan itu, NU diminta berbagi pengalaman tentang peran ulama di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan umat beragama beserta manajemen konflik di dalamnya.
Yang menarik dalam pertemuan itu adalah potensi NU sebagai model Islam di dunia, sebab ia menjadi ìcerminî, khususnya bagi Afganistan, dalam rangka hubungan Islam dengan kemodernan. Hubungan yang berhasil dijaga NU secara harmonis ini, telah meminimalisir konflik, baik konflik antar umat beragama maupun antara Islam dan Barat. Dengan demikian, NU bisa menjadi model bagi hubungan Islam dan kemodernan yang melahirkan hubungan harmonis antar-umat beragama.
Model yang dibangun NU itu merujuk pada integrasi Islam ke dalam perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses signifikan. Pertama, integrasi Islam ke dalam nasionalisme. Kedua, partisipasi Islam dalam demokratisasi. Kita akan membahas poin pertama dulu, yakni integrasi Islam ke dalam nasionalisme.
Yang dimaksud oleh poin ini adalah penyatuan visi Islam tentang kehidupan ke dalam tujuan utama dari pendirian negara-bangsa. Hal ini berangkat dari kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan metode), di mana NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, jika tujuan Islam adalah rahmatan lil ëalamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam. Oleh karena itu, NKRI yang memuat ìkeadilan sosialî sebagai tujuan konstitusional bernegara, diterima oleh NU meskipun ia bukan negara Islam yang formal.
Pada ranah historis, proses integrasi ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam). Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-11 (1936), di mana para ulama NU menetapkan Nusantara sebagai dar al-Islam. Menariknya, istilah dar al-Islam ini tidak dimaknai sebagai ìnegara Islamî, melainkan ìwilayah Islamî sebab di dalamnya umat Islam bebas melaksanakan syariat. Dengan cara ini, NU telah membentuk ìkebangsaan Islamî (Islamic nationalism) sebab dar al-Islam tersebut dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai dar al-Islam, maka wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa dari muslim Indonesia.
Kedua, penerimaan atas negara-bangsa (NKRI), bukan negara Islam pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil NU di sidang PPKI, yakni Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur dan Zainul Arifin, telah mensepakati bangunan NKRI dalam kerangka perawatan kemajemukan bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis ego-kelompok demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.
Ketiga, penetapan pemerintah RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syariat (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama (1954) ini ditetapkan agar syariat Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syaríi. Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekular, karena ia bermuara pada syariat Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.
Keempat, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), di mana Pancasila diterima sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai akidah. Antara akidah beragama dan dasar bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasila yang memuat sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan dari syariat Islam.
Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah melerai ketegangan antara Islam sebagai ìideologi universalî dengan Pancasila sebagai ìideologi nasionalî, serta antara Islam sebagai ìpaham teokratikî dengan NKRI sebagai ìbangunan negara-bangsaî. Sebuah pola hubungan yang hingga saat ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur-Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan kemodernan.
Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI digerakkan melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan. Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ëala al-raíiyyah manuthun bi al-mashlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan demokrasi prosedural melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak sipil-politik maupun hak sosial-ekonomi.
Khasanah Tradisi
Dari paparan di atas terlihat bahwa NU telah membangun model Islam yang selaras dengan kemodernan, nasionalisme dan demokrasi. Menariknya, NU melakukan ini melalui khasanah tradisi Islam. Tradisi yang kemudian menjadi metodologi ini misalnya terdapat pada legal maxim (qawaíid al-fiqhiyah), legal theory (ushul fiqh), dan legal philosophy (hikmah al-tasyrií).
Legal maxim menyediakan kaidah praktis yang bertujuan menselaraskan ketaatan normatif dengan keluwesan menghadapi realitas. Misalnya, kaidah ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (Apa yang tidak bisa dicapai semuanya jangan ditinggal prinsip dasarnya). Kaidah ini membuat NU tidak menolak NKRI, sebab terdapat prinsip-prinsip Islam di dalamnya, meliputi syura (musyawarah), ëadalah (keadilan) dan musawah (persamaan). Sementara itu legal theory menyediakan metode penerapan syariat dengan mengakomodir perkembangan zaman. Adapun legal philosophy menjadi jembatan antara hukum Islam dengan ilmu pengetahuan.
Dengan metode tradisional yang bernuansa modern ini, NU bisa menghadapkan Islam dengan tantangan zaman secara setara. Dampaknya, ia tidak terjebak di dalam asumsi Barat sebagai ancaman dengan posisi ìIslam terancamî selayak pemahaman kalangan fundamentalistik. NU dengan tradisinya telah menempatkan Islam sebagai kebijaksanaan hidup yang menyempurnakan sistem kehidupan yang ada. Oleh karenanya dalam kaitan dengan pembangunan, peran Islam tidak sebatas suplementer (tambahan), melainkan komplementer (penyempurna) dengan ikut menentukan arah ideal pembangunan.
Kesadaran dunia Islam seperti Afganistan untuk bercermin dari NU membuktikan bahwa jamíiyyah ini memiliki potensi besar, tidak hanya dalam kehidupan berbangsa melainkan terlebih kehidupan global. Tak heran jika pemikir muslim asal Mesir, Hassan Hanafi melihat potensi ìIslam Indonesiaî sebagai pemimpin dunia Islam. Pandangan ini disampaikan oleh Hanafi kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat presiden ke-4 RI. Tentu yang dimaksud Hassan Hanafi tersebut adalah NU. 

AS'AD SAID ALI 
 Wakil Ketua Umum PBNU

Thursday 27 June 2013

HTI DAGELAN WAYANG

Sebagai orang luar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saya kerap mendengar dan membaca mengenai konsep Khilafah yang dibicarakan oleh anggota HTI. Terlepas dari apa agama, kepercayaan, dan aliran saya, secara jujur saya akui perbincangan mengenai Khilafah ini cukup menarik untuk diikuit dan (kini) dikritisi. Namun saya menyadari dengan posisi saya sebagai orang luar dari keluarga dan lingkungan HTI, informasi dan pemahaman komprehensif saya mengenai campaign Khilafah yang dibawakan HTI ini sangatlah terbatas dan selalu ada kemungkinan tidak lengkap. Maka dari itu tulisan ini saya batasi pada sumber-sumber bawah (akar rumput) yang langsung saya terima dalam kehidupan sehari-hari saya

Salah satu substansi yang sering dibicarakan oleh kelompok HTI selain Khilafah adalah anti-demokrasi. Bahkan beberapa ustadz populer juga turut berbicara tentang anti-demokrasi ini (walaupun saya tidak tahu apakah beliau anggota HTI atau bukan) Beberapa bulan lalu, hashtag (istilah dalam dunia twitter) #antidemokrasi bahkan sempat melejit menjadi trending topic Twitter, dan dipopulerkan oleh seorang ustadz mualaf yang tidak perlu saya sebut namanya. Kelompok HTI menganggap bahwa demokrasi adalah suatu dosa: produk gagal dari kebudayaan barat yang liberal dan jauh dari peraturan keislaman. Mereka memberikan contoh kondisi Indonesia sekarang ini sebagai bukti kegagalan demokrasi dalam misi membawa kesejahteraan bagi komunitas muslim. Karena itulah HTI melihat bahwa demokrasi tidak cocok bagi bangsa Indonesia dan mulai mengkampanyekan Khilafah sebagai sistem pemerintahan alternatif bagi Indonesia.

Satu hal yang menjadi pertanyaan besar saya: Demokrasi apakah yang mereka maksud?. Bagi pembaca yang pernah belajar ilmu politik atau pernah kuliah FISIP tentu tahu bahwa makna demokrasi itu sangat luas: mulai dari komunisme hingga republik, dari fasisme hingga monarki semuanya bisa disebut demokrasi. Memang ada semacam stigma dalam masyarakat awam bahwa demokrasi adalah sistem politik ala Amerika Serikat dimana selalu ada Presiden, parlemen, parlemen daerah, pemilu, pembagian kekuasaan dan lain-lain, dan stigma inilah yang menurut asumsi saya, digunakan oleh HTI untuk mengkampanyekan ide anti demokrasi.

Apakah hal itu salah? Bagi saya hal itu adalah kesalahan besar dan fatal. Secara peyoratif bahkan saya bisa katakan hal itu adalah proses pembodohan publik yang dilakukan oleh HTI kepada anggotanya sendiri. Karena dengan mengkampanyekan anti demokrasi tanpa penjelasan lebih lanjut (yang terbukti dari tidak pahamnya para anggota HTI akar rumput tentang substansi demokrasi) maka HTI telah menjebak anggotanya dalam suatu kondisi paradoks: membenci demokrasi tapi menggunakan produk demokrasi.

Sederhananya seperti ini: HTI kemarin (02-06-2013) menggelar muktamar akbar di Senayan dengan topik sama, Khilafah. Dalam muktamar itu tentu saja ada selipan-selipan kalimat yang bernuansa anti demokrasi. Lucu sebenarnya, karena mereka bisa menggelar Muktamar adalah berkat lingkungan demokrasi di Indonesia. Bila kita turunkan level demokrasi itu, katakanlah seperti di Korea Utara, mana mungkin HTI bisa menggelar muktamar? Bicara didepan publik saja bisa ditembak mati apalagi muktamar akbar yang dihadiri ribuan orang? HTI bisa berdemo, bisa berkhotbah, melakukan muktamar, melakukan pertemuan dan bahkan mendirikan organisasi HTI itu sendiri adalah berkat demokrasi Indonesia pasca reformasi 1998. Andaikan kita menganut demokrasi komunisme ala China, belum tentu HTI bisa lahir ke bumi.

HTI juga kembali melakukan blunder besar dengan mengkampanyekan ide anti demokrasi namun mendukung Khilafah. Apakah Khilafah adalah demokrasi? Sebenarnya saya pun kurang mengerti konsep sistem politik Khilafah karena memang sebenarnya (sepengetahuan saya) tidak ada yang namanya sistem politik Islam. Yang ada adalah sistem politik kontemporer dengan landasan hukum Islam. Jikapun HTI ingin menggunakan Khilafah sebagai sistem operasi negara Indonesia, maka sistem politik yang dipakaipun bisa macam-macam mulai demokrasi parlementer, demokrasi presidensial, monarki absolut, monarki konstitusional, komunisme, despotisme (monarki absolut), negara federal dan lain sebagainya.

Argumen jawaban mereka yang menjawab sistem khilafah adalah sistem pemerintahan yang digunakan oleh Baginda Rasullullah ketika memimpin Medinah dan Mekah, maka itu jelas adalah demokrasi. Nabi Muhammad yang dalam pemerintahannya mendengar aspirasi pengikutnya secara langsung dari mulut ke telinga sebenarnya sudah masuk dalam demokrasi, walaupun dalam bentuk primitif (demokrasi langsung). Lantas apakah HTI ingin mempraktekkan demokrasi langsung di Indonesia? Silahkan saja kalau sang pemimpin siap (dan mampu) mendengarkan kritik, masukan, kecaman dari 210 juta rakyat Indonesia secara satu per satu tanpa perwakilan dan tanpa agregasi kepentingan yang mana menurut akal sehat saya sebagai manusia tidak mungkin bisa dilakukan manusia.

Ide HTI tentang anti demokrasi dan khilafah terdengar dangkal dan jujur saja, menjadi bahan olok-olok mahasiswa dan dosen-dosen politik karena konsepnya yang tidak jelas dan kabur seperti yang telah sedikit saya tuliskan diatas. Ada baiknya HTI memperdalam konsepnya mengenai khilafah Indonesia yang disintesiskan dengan demokrasi, karena khilafah itu sendiri adalah demokrasi. Kecuali jika kaum intelek HTI mampu membuat sebuah teori dan ide baru yang diakui oleh komunitas ilmuwan ilmu politik internasional mengenai sebuah sistem politik dan sistem pemerintahan yang terpisah dari demokrasi dan sesuai dengan istilah Khilafah mereka. Atau HTI sederhanakan saja idenya, tidak perlu muluk-muluk kampanye anti demokrasi namun cukup kampanyekan ide mengenai hukum Islam di Indonesia. Tidak lucu bagi organisasi sebesar HTI saat kader-kader dibawahnya berapi-api menyuarakan anti demokrasi tapi ternyata ide khilafah dan perilaku mereka sendiri memanfaatkan lingkungan demokrasi.

Sekian kritik saya mengenai gagasan HTI mengenai Demokrasi dan Khilafah, semoga menjadi masukan berguna untuk gerakan HTI kedepannya bila memang HTI serius ingin merubah sistem pemerintahan dan hukum bangsa ini.

Sumber : www.dagelanwayang.com  

Tuesday 18 June 2013

KHILAFAH CUMA MIMPI DI SIANG BOLONG



Jakarta, NU Online
Merwujudan negara khilafah menjadi mimpi di siang bolong. Negara dengan bentuk khilafah merupakan sebuah utopia di tengah perkembangan umat Islam saat ini. Selain bukan sistem politik Islam, negara khilafah juga menafikan perkembangan sosial politik masyarakat Islam.
Perihal ini dikatakan oleh Katib Aam PBNU KH Malik Madani saat ditanya NU Online perihal bentuk negara khilafah di Gedung PBNU lantai empat, Jakarta Pusat, Selasa (18/6) siang.


Ia menambahkan, negara khilafah merupakan suatu bentuk negara yang mempersatukan umat Islam sedunia di dalam satu kepemimpinan seorang khalifah.
Islam memang berbicara negara, tapi dalam konteks prinsip bernegara, etika dan prinsip bernegara. Prinsip musyawarah, prinsip keadilan misalnya sangat dijunjung tinggi oleh Islam, katanya.
Adapun bentuk negara dan sistem pemerintahan, sambung KH Malik, Islam tidak mengatur sejauh itu. Perihal bentuk dan sistemnya termasuk hal yang direkomendasikan Islam kepada umatnya sendiri untuk menentukan.


Penyerahan kepada umatnya, tegas KH Malik, dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW, Antum aílamu bi umuri atau bi amri duniyakum. Kalian lebih mengerti perihal duniamu.
Ini sangat dipahami oleh umat Islam. Karenanya, timbullah di zaman sahabat sistem khilafah, lalu berkembang menjadi sistem almulk, sulthan, al-imarah, almamlakah, aljumhuriyah al-islamiyah, atau aljumhuriyah seperti di Saudi, Iran, Mesir, tambah KH Malik Madani.
Umat Islam di Indonesia, sambung KH Malik Madani, menentukan sendiri bentuk negara dan sistem pemerintahannya. Mereka setelah lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, mengambil bentuk ad-daulah al-qaumiyyah, negara kebangsaan.


Kesepakatan nasional itu bersifat mengikat sebagai alwafa bil ahdi. Karenanya, umat Islam wajib melakukan kesetiaan pada negara kebangsaan, bukan berdasarkan agama. Bentuk negara dan sistem pemerintahannya bisa apa saja, tetapi prinsip etika bernegara tidak boleh keluar dari substansi etika Islam, tutup KH Malik Madani.
 
Penulis: Alhafiz Kurniawan

Sunday 9 June 2013

BULAN RAJAB SAATNYA MEMBERSIHKAN HATI


Seperti telah termasyhur diceritakan bahwa diantara kejadian istimewa yang terjadi pada diri Rasulullah saw sebelum perjalanan mi’roj adalah pencucian hati beliau oleh malaikat Jibril dan Mikail as dengan air zam-zam. Mengapa yang dicuci adalah hati, bukan usus atau ginjal, alat vital dalam metabolime tubuh? 


اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا لله. اَلْحَمْدُ لله   الذى مُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ، وَعَلاَّمِ الْغُيُوْبِ، وَقَابِلِ التَّوْبَةِ مِمَّنْ يَتُوْبُ، شَدِيْدِ الْعِقَابِ عِنْدَ قَسْوَةِ الْقُلُوْبِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، أَمَرَ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ، وَنَهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ كَانَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ. صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى أله وَصَحْبِهِ مَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. أَيَّهُا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بتقوالله وقد فازالمتقون



Pertama-tama Marilah kita bersama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. dengan sesungguh hati tanpa basa-basi. Karena kesungguhan dalam bertaqwa akan berimplikasi dalam sikap laku ta’at terhadap syari’at dan menghindar dari ma’siat. Sesungguhnya syariat bawaan rasul Muhammad adalah kebenaran mutlaq yang tidak bisa diragukan lagi. Shalat, zakat, puasa dan haji menjadi bukti formal ketaatan seseorang dalam ber-Islam.  
Hadirin Jama’ah Jum’ah yang dimulayakan Allah
Bulan Rajab adalah bulan istimewa. sebuah bulan yang yang memuat banyak makna. Makna-makna itu muncul dari anugerah Allah swt dalam memberikan keistimewaan bagi Rasul tercinta-Nya Muhammad saw. berupa perjalanan rural-spiritual yang kemudian hari dikenal dalam sejarah umat manusia sebagai Isro’ mi’roj.  
Seperti telah termasyhur diceritakan bahwa diantara kejadian istimewa yang terjadi pada diri Rasulullah saw sebelum perjalanan mi’roj dimulai adalah pembedahan dan pencucian hati oleh malaikat Jibril dan Mikail as untuk selanjutnya dicuci dengan air zam-zam tiga kali dan diisinya hati mulia itu dengan hikmah dan iman. Ibarat sebuah adegan dalam film, pembedahan ini pada bagian awal sebelum memasuki inti cerita perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho, utuk selanjutnya diteruskan hingga Shidratil Muntaha.
Inilah yang menjadi focus khutbah kali ini. Mengapa hati yang dibedah dan dibersihkan ? kenapa bukan usus atau ginjal yang mempunyai peran penting dalam metabolism tubuh? Yang secara bilogis lebih kotor dan selalu bersinggungan dengan makanan? Atau alat pencuci anggota tubuh lainnya yang menjadi jalur kotoran bagi manusia? Dan mengapa pula pembedahan ini dilakukan sebelum perjalanan, kenapa tidak setelah perjalanan usai? Atau di tengah perjalanan?

Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia
Sesungguhnya dalam kejadian ini terdapat hikmah yang sangat dalam. Semakin tinggi kadar kepandaian spiritual seorang manusia, akan makin dalam ia memaknai sebuah hikmah. Namun, sebagai seorang yang minim pengetahuan khatib hanya dapat mengingatkan beberapa hal di balik kejadian tersebut yang mungkin telah banyak difahami tetapi sering dilupakan dan diabaikan. Pertama, bahwa hati adalah hal terpenting dalam diri manusia. Hati sebagai pusat metabolism keimanan dan ketaqwaan. Bagaikan pailot, hati mengarahkan kehidupan spiritual manusia, dan kwalitas spiritual itu secara langsung turut menentukan dan mempengaruhi laku social seseorang. Karena itu sebuah hadits yang masyhur tentang hati perlu saya tegaskan di sini:

إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، و إذا فسدت فسد الجسد كله ألا و هي القلب " ( متفق عليه(

Sesungguhnya di dalam tubuh seseorang terdapat segumpal daging, apabaila gumpalan itu baik, maka baiklah seluruh tubuh itu. Namun jika gumpalan itu jelek, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ingatlah… gumpalan itu adalah hati. (hadits ini disepakati kesahihannya oleh semua ahli hadits) 

Betapa pentingnya posisi hati bagi tubuh dan diri manusia. Betapa hati menjadi satu-satunya perkara yang menentukan tubuh dan diri manusia. Karena sebuah pribahasa Arab mengatakan

القلب ملك ، و الأعضاء جنوده ؛ فإذا صلح القلب ، صلحت الرعية ، و إذا فسد ، فسدت.
Hati bagaikan raja, dan balatentaranya adalah amggota tubuh manusia. Jikalau baik sang hati, maka baiklah ra’yatnya. Namun jika rusak sang hati rusaklah segalanya

Dengan demikian, apa yang terjadi pada diri Rasulullah saw adalah simbol bagi umatnya, bahwa hati adalah perkara yang paling penting untuk dirawat mengalahkan berbagai anggota lainnya. Menyehatkan hati dan meriasnya jauh lebih penting dari pada merias wajah, dari pada bersolek tubuh, bahkan lebih penting dari pada mengasah otak.
Inilah yang sering kita lupakan. Hati tidak lagi menjadi panglima dalam kehidupan ini. Sejak lama kedudukannya telah digantikan oleh otak yang mengandalkan logika dan rasio. Padahal berbagai pertimbangan keadilan dan kebenaran sumbernya adalah hati, bukan otak. Karena itu tidak salah apa yang diungkapka oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin
إستفت قلبك ولوأفتوك وأفتوك وأفتوك
Mintalah petunjuk pada hati (kecil) mu, walaupun mereka memberikan petunjuk padamu, walaupun mereka memberikan petunjuk padamu, walaupun mereka memberikan petunjuk padamu.     

Maka jikalau hendak memutuskan sebuah keadilan maka pertama kali bertanyalah kepada hati kecil, jangan bertanya dulu kepada bukti yang yang ada di TKP. Karena semua itu bisa dipalsukan oleh otak dan logika. Jika hati membawa kita kepada kebaikan universal, sedangkan otak hanya akan mengantarkan kita kepada kebaikan parsial, kebaikan yang telah tercampur dengan berbagai kepentingan.

Jika demikian adanya, jika Rasulullah saw adalah seorang yang ma’shum terjaga dari salah dan dosa, walaupun tanpa dibedah dan dicuci hatinya oleh malaikat. Bagaimanakah dengan kita? bagaimana merawat hati kita dan menghiasinya agar tetap jernih dan mampu menjadi pelita bagi diri dan tubuh ini?
Agar selalu terawat hindarkanlah hati kita dari empat perkara;  riya’, ujub, takabbur, serta hasad. Riya’ adalah pamer, Riya menurut imam al-Ghazali adalah, mencari kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan ibadah dan amal. Dengan kata lain riya’ selalu saja mengajak manusia untuk mencari modus dalam setiap kelakuan dan amalnya. Kedua ‘ujub Menurut imam al-Ghazali ujub adalah sifat merasa diri serba berkecukupan dan berbangga hati atas nikmat yang ada, dan lupa jika kelak akan sirna, ujub merupakan induk dari sifat takabbur, bedanya jika takabbur berdampak pada pihak yang ditakabburi, kalau ujub terbatas pada dirinya sendiri.  Sabda Rosulullah saw :

ujub itu bisa memakan amal amal baik sebagaimana api makan kayu bakar” (al-hadist)
Ketiga adalah takabbur adalah merasa dirinya lebih sempurna dari yang lainnya, Kesombongan adalah kemaksiatan yang pertama dilakukan oleh makhlukNya (iblis) terhadap Allah swt

Firman Allah swt :
Turunlah engkau dari surga karena engkau menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya engkau termasuk orang orang yang hina” (Al-A’raf:13)

Keempat adalah hasad atau dengki. Untuk menjelaskan hal ini cukuplah petikan seorang sufi dalam kitab Risalah Qusyairiyah “orang dengki adalah orang yang tak beriman sebab dia tidak merasa puas dengan takdir Allah”sementara ulama yang lain berpendapat orang yang dengki adalah orang yang selalu ingkar karena tidak rela orang lain mendapatkan kenikmatan. Indikasi dari sifat dengki adalah menipu apabila dihadapan orang lain, mengumpat apabila orang lain itu pergi, dan mencaci maki apabila musuh tak kujung tiba pada orang itu”

Mengenai pendalaman keempat penyakit ini sudah bisalah kiranya kita meraba diri masing-masing. Selaku khatib saya hanya bisa mengingatkan saja, saya merasa belum pantas untuk memberikan nasehat. Namu yang jelas, biasanya keempat penyakit tersebut saling terkait antara satu dan lainnya. Sehingga apabila mengidap salah satu maka dapat pula mengidap yang lainnya.

Lantas bagaimana cara menghiasai hati? al-Ghazali berpesan dalam kitab mizanul amal, bahwa hendaknya hati dihias dengan empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan (‘iffah), keberanian (syaja’ah) dan keadilan (‘adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja’ah) yang sempurna. Kesempurnaan ‘iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna.

Demikianlah semoga kita semua dapat menarik hikmah dari bulan rojab ini. Mengapa Allah memerintahkan Malaikat Jibril dan Mikali membedah dada dan mencuci hati Rasulullah? Bukan karena di hati Rasulullah terdapat kotoran, bukan. Karena beliau adalah ma’shum. Namun semua itu adalah perlambang bagi kita selaku umatnya. Bahwa membersihkan, merawat dan menghias hati adalah pekerjaan utama yang harus didahulukan dari lainnya. seperti halnya Allah swt mendahulukan pembedahan dan pencucian hari Rasulullah sebelum melakukan perjalanan Isro’ mi’roj.

Sumber : Nu Online