KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday, 30 January 2013

TAREKAT DITAKUTI "SALAFI WAHABI" DAN KAFIR YAHUDI



Dunia Islam telah mengetahui bahwa kelompok Salafi Wahabi adalah boneka Kafir Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Namun Kejayaan dan kesempurnaan Islam selalu Allah tunjukan seperti dalam Qur’an : 

“Sesungguhnya aku yang menurunkan Al-Qur’an dan Akulah yang menjaganya “. 

Untuk menjaga agama Islam Allah mengutus Nabi dan Rosul yang dilanjutkan oleh para sahabat lalu Tabiin dan Ahlul Bait, Para Habaib ( Keturunan Nabi Muhammad SAW). 

Telah berbagai cara yang dilakukan oleh mereka yang ingin menghancurkan Islam, namun Kelompok Salafi Wahabi dan Kafir Yahudi akan kewalahan menghadapi umat Islam, karena dalam Islam ada ajaran Tarekat. Di Indonesia ada 41 tarekat yang dinaungi oleh NU. yang bernama Ahlutharekat Al-Muktabarah An Nahdiyyah yang dipimpin oleh Habib M. Luthfi Bin Hasyim Bin Yahya Pekalongan.

Di nusantara, ada dua tarekat yang paling ditakuti penjajah Belanda. Menurut Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra, kedua tarekat yang paling dikhawatirkan penjajah itu adalah Tarekat Qadariyah dan Tarekat Naksabandiah. Mengapa penjajah takut terhadap dua tarekat tasawuf itu?
Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori tarekat memang sangat beralasan. Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin tokoh tarekat atau pengikut tarekat tertentu. Karena itulah, tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda.

Lantas mengapa tarekat sangat ditakuti prapenjajah pada masa kolonial dulu? Menurut Bruinessen, antara tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. ìPara pejabat penjajah Belanda, Prancis, Italia, dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena dalam pandangan mereka, fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik,papar Bruinessen.
Tarekat Naksabandiyah, menurut Ensiklopedi Islam, tersebar ke nusantara pada abad ke-19 M. Tarekat ini dibawa para pelajar asal Indonesia yang menimba ilmu di tanah suci Makkah atau melalui jamaah yang pulang dari menunaikan ibadah haji.
Pada abad ke-19 M, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naksabandiyah yang dipimpin oleh Sulaiman Effendi, tulis Ensiklopedi Islam. Markas Tarekat itu berada di kaki gunung Abu Qubais. Sejarawan J Spencer Trimingham, pernah menyebutkan bahwa sekitar 1845 M, seorang syekh Naksabandiyah dari Minangkabau di baiat di Makkah.
Di Indonesia, terdapat dua versi tarekat Naksabandiyah: Khalidiah dan Muzhariyah. Tarekat Naksabandiyah Khalidiah disebarkan oleh Syekh Ismail al-Khalidi di Minangkabau. Penyebaran tarekat ini dimulai dari kampung halaman sang syekh, yakni Simabur, Batusangkar, Sumatra Barat.
Dari Simabur, tarekat ini menyebar ke Riau, kemudian ke Kerajaan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Kerajaan Johor,î ungkap Ensiklopedi Islam. Sedangkan Tarekat Naksabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayid Muhammad saleh az-Zawawi. Kedua syekh penyebar tarekat dengan versi beda itu hidup sezaman.
Selain kedua Tarekat Naksabandiyah itu, di nusantara juga dikenal Tarekat Kadiriyah Naksabandiyah. Tarekat itu merupakan penggabungan antara Tarekat Kadiria dan tarekat Naksabandiah yang dipelopori oleh Syekh Ahmad Khatib sambasi, yang berasal dari kampung Dagang atau Kampung Asam di daerah Sambas, Kalimantan Barat.
Seperti halnya Tarekat Naksabandiyah, Qadariyah yang juga menyebar di Indonesia berasal dari Makkah. Ada yang menyebutkan, Tarekat Qadiriyah menyebar di nusantara pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur, dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Tarekat ini mengalami perkembangan yang amat pesat pada abad ke-19 M, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Menurut Annemerie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan guna menandingi kekuatan lain.
Pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani itu benar-benar mengguncang Belanda karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Menurut Martin van Bruneissen, para pemberontak yang melawan penjajah itu adalah pengikut Tarekat Qadiriyah yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim dan KH Marzuki. Belanda dibuat keteteran oleh gerakan kaum sufi itu.
Jejak Gerakan Tasawuf di Nusantara
Peran tarekat tasawuf dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830).
Sama halnya dengan di negara-negara Islam, tarekat tasawuf di nusantara pun tampil di garda depan untuk melawan dan mengusir penjajah. Sejarah peradaban Islam mencatat, ada sederet gerakan perlawanan yang dipimpin syekh tasawuf bersama para pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda.
Muslim di nusantara, menurut Prof Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, terbagi menjadi dua dalam menyikapi penjajah Belanda. Ada yang melakukan perlawanan secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara diam-diam.
Menurut mantan rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta itu, para ulama dan pengikutnya yang melakukan perlawanan secara diam melakukan uzlah atau menjauhkan diri dari penguasa kolonialis kafir. Uzlah para ulama itulah yang kemudian telah mendorong terjadinya radikalisasi tarekat dan tasawuf,î ungkapnya.
Gerakan Reformis Paderi di Minangkabau yang kemudian menjadi perang antikolonialisme, salah satunya dimotori tarekat tasawuf yang berkembang waktu itu. Gerakan radikalisasi tarekat terus mendapatkan momentum sepanjang abad ke-19 M.
Peran tarekat tasawuf dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para kiai, haji, dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Diponegoro, Kiai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual pemberontakan tersebut.
Guna menarik dukungan dari kalangan pondok pesantren, tokoh agama, syekh, dan pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakan yang dipimpinnya sebagai perang suci atau perang sabil. Karena itulah, para pengikut tarekat dan umat Islam lainnya, pada waktu itu, meyakini pemberontakan Diponegoro sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa.
Martin van Bruinessen dalam tulisannnya bertajuk, Tarekat dan Politik:Amalan untuk Dunia atau Akhirat? juga mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng.
Perjuangan para tokoh dan pengikut tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819. Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir, dan beratib dengan suara keras sampai fana.
Dalam keadaan tak sadar (mabuk zikirí) mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir. Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18 M.
Syekh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya sastra tasawuf Melayu yang penting. Syekh Abdussamad, kata Bruinessen, adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan.
Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. Meski begitu, Syaikh Abdussamad bukanlah ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim, tutur Bruinessen.
Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syekh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syekh Yusuf al-Makassar yang bergelar al-Taj al-Khalwatií telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap kolonial kafirí.
Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun, Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang sufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu, dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain itu, sejarah juga mencatat banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah belanda yang dimotori tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifaíi (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917), dan Peristiwa Garut (1919).
Pemberontakan di Banjarmasin dipimpin tuan guru yang mengajarkan amalan ëberatif baamalí, suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Konon, orang berbondong-bondong datang dibaiat, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tentara kolonial tanpa mempedulikan bahaya.
Gerakan Beratif Baamal ini meliputi hampir seluruh seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini kaum ulama yang disebut dengan ëTuan Guruí.
Sumber : Republika online





. | Tema: Greyzed oleh .

Monday, 28 January 2013

MAULID NABI MUHAMMAD SAW




Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu. 

Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:

"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوا


Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)


Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ


Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)


Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم


Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)


Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Rais Syuriyah PCNU Jember

ZIARAH KE PAMIJAHAN 30-31 MARET


Berangkat hari Sabtu pagi 30 Maret 2013
Jam 6. 30 wib
Kumpul di Jambatan 9  Depan Klinik Arya Nata
Perum Bumi Bekasi Baru, Rawalumbu- Bekasi
Hub : M. Supriyanto 021-9464 4191

Sunday, 27 January 2013

WAHABI PERLU DIWASPADAI


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA 
Gerakan Wahabi yang berkembang di Indonesia perlu diwaspadai. Hal itu karena tujuan gerakan yang berasal dari Arab Saudi itu adalah ingin mengajarkan pemurnian Islam versi mereka. Adapun ajaran Islam di luar Wahabi, dianggap tidak benar dan harus diperangi.
"Wahabi atau salafi itu gerakan radikal, satu grade lagi itu mereka menjadi teroris," kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj dalam seminar Deradikalisasi Agama Berbasis Kyai/Nyai dan Pesantren di Jakarta, Sabtu (3/12).

Hadir sebagai pembicara adalah Ketua Badan Nasional Penanggulan Teroris (BNPT) Ansyad Mbai dan Pimpinan Muslimat NU Mahfudoh Aly Ubaid.
Menurut Said, doktrin gerakan Wahabi itu selalu mencatut nama Islam. Sayangnya, tindakannya kadang tidak islami, sebab sering menganggap umat lain menjalankan tradisi bidah yang tak diajarkan agama. Karena itu, pihaknya menegaskan jika ajaran model seperti itu harus diperangi. "Mereka ngakunya gerakan purifikasi Islam," kata Said.

Ketua BNPT Ansyad Mbai mengatakan, radikalisme masih mengancam keamanan NKRI. Pasalnya kader gerakan radikal akibat salah mendapat doktrin ajaran Islam saat ini jumlahnya terus berkembang.
Atas dasar itu, pihaknya menegaskan tindakan deradikalisasi sangat mendesak dijalankan oleh para kyai atau nyai kepada umat. Karena posisi BNPT hanya sebagai fasilitator dan yang para ulama yang bisa membendung ajaran Islam menyimpang. "Peran kyai dan nyai sangat besar untuk mencegah aksi teror di Indonesia. Peran ini yang harus dilakukan melalui pengajaran di pesantren," kata Ansyad.

Ia menerangkan, perkembangan aksi teror di Tanah Air semakin menonjol sejak peristiwa Bom Bali I pada awal 2000. Pelaku pemboman itu adalah pengikut Jamaah Islamiyah yang mengusung gerakan Wahabi, beraliran radikal. "Kerasukan paham itu dan merasa diri beragama mereka mewakili Tuhan di muka bumi ini sedang mewabah di kalangan pemuda," ujarnya