Jakarta, NU Online
“Semua tingkah laku Gus Dur, sepenuhnya menegaskan ke-NU-an,” ungkap Kang Sobary, seorang budayawan yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi terbuka bertajuk ‘Gus Dur dan Kebudayaan’ di aula The Wahid Institute jalan Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta Pusat, Jumat (3/8) sore.
Di hadapan sedikitnya 300 peserta, Kang Sobary mengabarkan bahwa Gus Dur senang bersilaturahmi. Gus Dur menjadi praktik keseharian Gus Dur. Ia membangun komunikasi mulai dari kiai sampai orang dengan pelbagai latar belakang. Baginya, pertemuan dengan manusia adalah agenda kemanusiaan yang luhur.
Gus Dur kerap mengunjungi kiai khos maupun kiai biasa. Ia tidak membedakan tingkatan dan spesialisasi kiai. Kiai dimanapun berada baik di kota maupun di daerah, merupakan kompas spiritual masyarakat NU, imbuh Kang Sobary di samping pembicara lain; Jaya Suprana, KH Husein Muhammad, dan Martin Aleida.
Gus Dur memiliki militansi luar biasa. Silaturahmi sebagaimana diajarankan para kiai, menjadi ibadah keseharian. Intensitas kunjungan Gus Dur pada para kiai, menurut Kang Sobary, menambah tenaga spiritualitas Gus Dur.
Diskusi yang dimulai pada jam 16.30 dihentikan sementara pada saat bedug Magrib ditabuh. Para peserta dan pembicara menyantap sajian buka puasa yang tersedia. Di saat yang sama, para peserta yang berada di luar aula turut bangun dari kursi untuk turut mengambil santapan berbuka puasa.
Kiai-kiai bagi Gus Dur menjadi panutan utama. Keikhlasan mereka, menjadi daya tarik yang istimewa di mata Gus Dur, tandas Kang Sobary kepada NU Online usai diskusi pukul 20.15 di ruang depan The Wahid Institute.
Diskusi ditutup oleh doa bersama yang dipandu KH. Husein. Sebelumnya, KH. Husein membacakan puisi yang dikutip dari kitab Matsnawi karya Maulana Jalaluddin Rumi. Setelah itu, KH. Husein mengajak para peserta untuk menyanyikan selawat-selawat yang kerap dibaca Gus Dur.
Di hadapan sedikitnya 300 peserta, Kang Sobary mengabarkan bahwa Gus Dur senang bersilaturahmi. Gus Dur menjadi praktik keseharian Gus Dur. Ia membangun komunikasi mulai dari kiai sampai orang dengan pelbagai latar belakang. Baginya, pertemuan dengan manusia adalah agenda kemanusiaan yang luhur.
Gus Dur kerap mengunjungi kiai khos maupun kiai biasa. Ia tidak membedakan tingkatan dan spesialisasi kiai. Kiai dimanapun berada baik di kota maupun di daerah, merupakan kompas spiritual masyarakat NU, imbuh Kang Sobary di samping pembicara lain; Jaya Suprana, KH Husein Muhammad, dan Martin Aleida.
Gus Dur memiliki militansi luar biasa. Silaturahmi sebagaimana diajarankan para kiai, menjadi ibadah keseharian. Intensitas kunjungan Gus Dur pada para kiai, menurut Kang Sobary, menambah tenaga spiritualitas Gus Dur.
Diskusi yang dimulai pada jam 16.30 dihentikan sementara pada saat bedug Magrib ditabuh. Para peserta dan pembicara menyantap sajian buka puasa yang tersedia. Di saat yang sama, para peserta yang berada di luar aula turut bangun dari kursi untuk turut mengambil santapan berbuka puasa.
Kiai-kiai bagi Gus Dur menjadi panutan utama. Keikhlasan mereka, menjadi daya tarik yang istimewa di mata Gus Dur, tandas Kang Sobary kepada NU Online usai diskusi pukul 20.15 di ruang depan The Wahid Institute.
Diskusi ditutup oleh doa bersama yang dipandu KH. Husein. Sebelumnya, KH. Husein membacakan puisi yang dikutip dari kitab Matsnawi karya Maulana Jalaluddin Rumi. Setelah itu, KH. Husein mengajak para peserta untuk menyanyikan selawat-selawat yang kerap dibaca Gus Dur.
Redaktur : Mukafi Niam
Penulis : Alhafiz Kurniawan
No comments:
Post a Comment