KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday 23 March 2016

JAWABAN UNTUK SI ANTI MAZHAB "SALAFI WAHABI"



Oleh | Tgk. H. Muhamamd Iqbal Jalil, S. Hi

"Untuk apa kita bermazhab, kenapa kita tidak kembali kepada Alquran dan hadis saja?"Jujur sampai saat ini saya sendiri masih gagal loading tentang apa maksud dari pernyataan ini.
Karena bermazhab juga bagian dari kembali kepada Alquran dan hadis, yaitu melalui penafsiran Imam Mazhab.
Lalu coba ditanya pada yang mengeluarkan pernyataan semacam ini. Yang Anda maksudkan "Kembali kepada Alquran dan hadis itu menurut pemahaman siapa?"
Kalau maksudnya kembali kepada Alquran dan hadis menurut penafsiran Ulama yang Anda ikuti, berarti Anda sebenarnya justeru sedang mengajak orang lain untuk bermazhab. Katanya "Untuk apa bermazhab?"
Kalau maksudnya mengajak setiap orang kembali kepada Alquran dan sunnah sesuai pemahamannya masing-masing, berarti Anda mengajak setiap orang untuk membangun mazhabnya sendiri.
Kalau ini yang Anda maksudkan, maka sebenarnya Anda sedang mengajak kepada perpecahan. Bila setiap orang hatta para preman pun ikut memahami Alquran, maka jangan heran kalau dalam sebuah mesjid kita akan menemukan puluhan atau bahkan ratusan cara ibadah.
Nah, Kalau ini yang Anda maksudkan, berarti Anda tidak boleh marah kalau ada orang tahlilan, shalawatan, maulidan, dan lain-lain yang menurut pemahaman Anda itu adalah bid'ah.
Bahkan bila ada perbuatan yang jelas-jelas menyimpang bila itu karena pemahamannya dari Al-Qur`an (meski pemahaman keliru), maka Anda tidak boleh marah.
Kan salah Anda sendiri yang mengajak setiap orang untuk memahami Alquran sendiri-sendiri???
Jadi kira-kira kalau sudah begini apa ya jawaban mereka?
Penulis : Tgk. H. Muhammad Iqbal Jalil, S. Hi
Dewan Asatiz Pesantren Jamia'ah Al-Aziziyah
Bate Iliek, Kab. Bireuen, Aceh.

Wednesday 16 March 2016

KH. SAID AQIL SIRAJ: ALHAMDULILLAH, KITA DIJADIKAN SEBAGAI WARGA NU






MusliModerat.Com - 
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengajak warga NU untuk mensyukuri keberadaannya sebagai bagian dari warga NU yang memiliki ajaran yang jelas dan bersambung sampai kepada Rasulullah.

Hal ini disampaikan oleh Kiai Said ketika menerima rombongan dari Ma’arif NU Sidoarjo yang berkunjung ke gedung PBNU, Sabtu (19/12).

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said menyampaikan kepada hadirin, terdapat dua tugas yang harus dijalankan. Pertama adalah belajar agama dengan benar.

“Para ulama NU mempelajari agama dengan benar, sanad kita sampai dengan Imam Syafii dan Imam Syafii jika dirunut sampai kepada Rasulullah,” katanya.

Karena itu, jika ada orang yang belajar agama sembarangan, tapi sedikit-sedikit bilang Islam kaffah tetapi tidak bermazhab atau bahkan antimazhab, maka menurutnya patut dipertanyakan kemampuannya dalam beragama. “Mereka orang yang tidak jelas,” paparnya.

Ia menjelaskan, pesantren sebagai pusat pendidikan agama NU telah ada sebelum berdirinya Indonesia. Pesantren ini mampu melahirkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan, seperti Ki Hajar Dewantara dan Panglimat Sudirman. Menurutnya, ungkapan dari Kartini tentang “Habis gelap terbitlah terang” juga berasal dari Qur’an saat ia mengaji, yaitu dari ayat minaddhulumaati ilannuur.

Ia melanjutkan, kewajiban kedua adalah membimbing masyarakat. Setelah mampu belajar agama dengan baik, ilmu yang dimiliki harus kembangkan kepada masyarakat agar mereka ikut tercerahkan, agar masyarakat memiliki jiwa ikhlas, ukhuwah, dan mandiri.

“Pesantren selalu mengajarkan kemandirian, tidak menggantungkan diri kepada siapapun, termasuk kepada negara. Lulusan pesantren tidak ingin jadi PNS, meskipun itu boleh-boleh saja. Yang penting belajar baik,” tandasnya.

Dijelaskannya, secara pribadi, seorang Muslim harus tawadhu dan zuhud. Harta secukupnya dan tidak boleh memamerkannya kepada orang lain, tetapi ketika berbicara organisasi, tidak boleh seperti itu. Organisasi harus terus dikembangkan, tidak boleh dikelola sekedarnya.

“Kalau untuk NU, kita tidak boleh zuhud, untuk organisasi ngak apa-apa kita membanggakan diri,” terangnya.

Ditambahkannya, “Jangan sampai umat Islam dihina dan tidak bermartabat, kita ikut berdosa. Inilah gunanya kita berorganisasi,” teranganya.

Dalam kesempatan tersebut Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini memberikan penjelasan tentang perkembangan pendidikan NU yang kini terus berkembang pesat, baik sekolah maupun pesantren, termasuk sudah berdirinya 24 perguruan tinggi NU.  
(Mukafi Niam/NU Online)

Tuesday 15 March 2016

FAHRI HAMZAH DAPAT TAMPARAN KERAS DARI TNI AU



                                      


WARTAGAS - Akun Twitter resmi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) mendadak menjadi perbincangan jagat maya. Bukan karena masalah keprajuritan, tapi kicauannya mampu meng-skakmat seorang politikus dan aktivis yang asal bicara tanpa memuat data-datasebagai bukti omongannya.



Wakil Ketua DPR sekaligus politikus PKS, Fahri Hamzah menjadi orang pertama yang merasakan teguran langsung dari TNI AU. Kicauan Fahri yang menyebut Lanud Halim Perdanakusuma bisa dijual ke tangan asing langsung mendapatkan tamparan keras dari admin @_TNIAU.

Setelah Fahri, muncul kembali aktivis Ratna Sarumpaet. Lewat akunnya, Ratna menyentil Ahok dan menudingnya telah membeli tentara, polisi bahkan KPK untuk kepentingannya. Lagi-lagi, TNI AU meminta bukti tersebut dan Ratna tak bisa menunjukkannya.





Cuitan dan bantahan akun @_TNIAU yang sigap menghadapi pandangan miring ini langsung meraih pujian dari banyak netizen. Bahkan, tokoh perfilman Joko Anwar serta pemerhati penerbangan Alvin Lie tak ketinggalan memujinya.


Sebenarnya, siapa di balik akun resmi milik TNI AU tersebut?





Angkatan Udara Marsekal Pertama Dwi Badarmanto mengatakan, akun resmi milik TNI AU tersebut dikelola oleh Kapten Oktobriandi. Okto merupakan perwira lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 2002 yang ditugasi secara khusus mengelola Twitter yang dibuat sejak Juni 2012 lalu.

"Dia adalah Kapten Oktobriandi, dia sudah bekerja selama sembilan bulan," ungkap Badarmanto saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu (13/3) malam.

Dalam menjalankan aktivitasnya, Okto tak bekerja sendirian, melainkan dibantu beberapa personel TNI AU lainnya di lingkup media sosial. Masing-masing ada yang ditugasi untuk mengelola akun 
Facebook, Twitter, lamanresmi sampai instagram.

Badarmanto melanjutkan, media sosial telah menjadi perhatian khusus bagi TNI AU untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat sipil. Namun, dia mewanti-wanti anak buahnya agar menengahi suatu masalah tanpa menggunakan emosi dan tetap memakai data-data pendukung.


"Saya sudah sampaikan bahwa merespon sesuatu tidak harus memusuhi, harus tahu betul akar masalahnya, dan komprehensif," terang jenderal berbintang satu ini.

Dalam menyampaikan 
informasi, para prajurit yang mengelola akun-akun tersebut diminta agar tak terbuai dengan puji-pujian dari netizen. Mereka diminta tetap bekerja profesional dalam menyampaikan informasi sesuaidata.

"Kita enggak butuh pujian, saya sampaikan pada mereka agar berusaha kerja profesional. Terutama menyampaikan informasi juga menggunakandata-data," tegasnya.

Jangan coba-coba lagi cari masalah dengan tentara tanpa data yang mendukung.


Sumber: medeka.com

YANG MERUSAK KEDAMAIAN TIMUR TENGAH ADALAH SALAFI WAHABI



Alhabib Syekh Samir bin Abdurrahman Al-Khauli Al-Rifai Al-Husaini
Surabaya, NU Online
Umat Islam Indonesia harus belajar dari situasi yang terjadi di Timur Tengah. Jangan sampai kondisi damai yang ada di negara ini justru rusak karena hadirnya ajaran menyimpang, terutama dari kelompok Wahabi.

Peringatan ini disampaikan Alhabib Syekh Samir bin Abdurrahman Al-Khauli Al-Rifai Al-Husaini saat mengisi materi Daurah Aswaja Internasional di gedung PWNU Jawa Timur, Ahad, (13/3).

"Jaga Indonesia dari pengaruh ajaran yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah. Kita jaga teguh ajaran yang penuh keteduhan ini jangan sampai diganggu dengan aliran ekstrim," katanya.

Dengan menggunakan bahasa Arab, Syekh Samir menjelaskan, Islam menyebar di negeri ini tanpa kekerasan apalagi pertumpahan darah. "Islam datang ke Indonesia lewat perdagangan. Dan karena akhlak pembawanya akhirnya menimbulkan simpati sehingga masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam," ungkapnya. 

Guru besar asal Lebanon ini kembali mengingatkan jangan sampai di negeri ini terjadi pertumpahan darah lantaran kemunculan aliran yang gemar mengafirkan antarkelompok seperti yang dilakukan Wahabi.

"Tugas (menebar kedamaian) ini ada di pondok pesantren masing-masing peserta (dauroh) untuk saling bersinergi menjaga kondisi negeri agar tetap damai," terangnya.  

Oleh karena itu, syekh yang datang dengan mengenakan farwa atau baju kebesaran berwarna kuning emas tersebut mengingatkan peserta untuk menjaga diri agar tidak mudah terpengaruh golongan Wahabi yang bertentangan dengan Aswaja. "Kita harus selalu mengingatkan akan bahaya mereka (Wahabi)," katanya dengan suara lantang.

Sebagai bukti, Syekh Samir memaparkan bahwa dalam sejarahnya mereka mengaku dirinya sebagai Salafi atau pengikut ulama salaf. "Tapi pengakuan itu adalah dusta," sergahnya. Karena dalam perjalanannya, ketika kelompok ini menguasai sebuah negara dan akan menyatukan dalam sebuah barisan, padahal yang dilakukan adalah mengakafirkan bahkan membunuh kelompok muslim lain.

"Apa yang dilakukan mereka adalah memorak-porandakan sebuah negara dan kemanusiaan," katanya. 

Kepada negara dan kawasan yang dimasuki, lanjut Syekh Samir, Wahabi akan menebarkan bom, bunuh diri, takfir atau mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham, lanjutnya.

"Untuk di Indonesia, Wahabi kerap mendirikan pesantren, lembaga kursus komputer yang di dalamnya mendoktrinkan ajaran ekstrim yang justru bertentangan dengan Aswaja," jelasnya. 

Karena itu Syekh Samir menyarankan agar jangan sampai mempercayakan pendidikan dan keterampilan generasi muda kepada mereka yang justru nantinya akan menentang Aswaja.

Di akhir ceramahnya, syekh mengajak peserta untuk menirukan kalimat yang diucapkan terkait tauhid, bahwa tiada sesuatu yang menyerupai-Nya (Allah). "Allah ada tanpa tempat," pungkasnya dengan bahasa Indonesia yang fasih. 
(Ibnu Nawawi/Zunus)

INI ALASAN "KENAPA NABI ISA YANG DIPILIH ALLAH SWT. UNTUK MEMBUNUH DAJJAL?'"


Pada akhir zaman akan datang seorang makhluk yang akan menyesatkan seluruh umat manusia, makhluk ini bernama Dajjal dan akan dibinasakan oleh Nabi Isa, Kenapa Allah SWT Pilih Nabi Isa Untuk Membunuh Dajjal? Mengapa bukan yang lainnya? Jika Nabi Isa turun kembali ke bumi untuk membunuh Dajjal maka Nabi yang terakhir bukanlah Nabi Muhammad, benarkah demikian?


Ilustrasi gambar Dajjal. Sumber Google.com

Kenapa Allah SWT Pilih Nabi Isa Untuk Membunuh Dajjal? Inilah Jawabannya!


Dalam kitab suci telah dituliskan bahwa kelak pada akhir zaman Nabi Isa akan turun kembali untuk membunuh Dajjal yang telah menyesatkan seluruh umat manusia. Dengan demikian, apakah berarti bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi yang terakhir? Jawabannya tidak. Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir umat Islam dan tidak akan ada lagi Nabi lainnya yang akan muncul setelah Nabi Muhammad. Kemunculan kembali Nabi Isa bukanlah sebagai Nabi melainkan sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW dan beliau telah mengemban tugas untuk membunuh Dajjal.

Kenapa Allah SWT memilih Nabi Isa untuk membunuh Dajjal? Kemunculan Nabi Isa kelak di akhir zaman telah dijelaskan secara gamblang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dalam hadits Nabi itu telah dijelaskan bahwa kelak Isa Ibnu Maryam akan turun kembali ke bumi untuk menegakkan kebenaran dan menjadi hakim yang adil, dia akan mematahkan salib-salib, menghentikan jizyah, membunuh babi-babi yang ada, memberikan harta dalam jumlah yang sangat besar sehingga tidak akan ada seorang manusiapun yang akan mau menerima harta itu.

Nabi Isa turun ke bumi untuk yang kedua kalinya di menara putih Damaskus, Hal ini juga telah dijelaskan secara jelas dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Shahih Muslim. Dalam hadits telah disebutkan bahwa Isa akan diturunkan kembali di atas menara putih Damaskus dan kedua tangannya akan memegang bahu kedua malaikat yang mendampinginya. Nafas Isa tidak bisa dicium oleh orang-orang pengikut Dajjal dan Isa akan mencari serta membunuh Dajjal di pintu Lud. Setelah berhasil membunuh Dajjal, Isa pergi untuk mendatangi suatu kaum yang dilindungi oleh Allah dari Dajjal dan dia menceritakan kepada kaum yang dilindungi Allah itu akan derajat mereka kelak di syurga.
Kenapa Allah pilih Nabi Isa untuk hancurkan Dajjal? Kemunculan Isa di bumi ini adalah untuk memimpin umat manusia ke jalan yang benar. Isa akan muncul kedua kalinya sebagai pengikut Nabi Muhammad. Hal ini telah dijelaskan dalam hadits Nabi yaitu setelah berhasil membunuh Dajjal, Isa akan pergi ke Al-Quds dan dia akan sholat di belakang seorang imam muslim. Tidak hanya itu saja, Isa akan mematahkan seluruh salib yang ada di dunia ini, membunuh babi, dan menghapus jizyah.

Kemunculan kembali Isa ini untuk menepati janjinya kepada umat Kristen dan Yahudi. Dalam kitab mereka telah tertulis bahwa akan datang seorang juru selamat atau sang messiah pada akhir zaman untuk mendirikan kerajaan Tuhan. Nabi Isa kembali untuk menepati janjinya dan Dia adalah sang messiah itu yang akan mendirikan kerajaan Tuhan, yaitu kerajaan Allah, sehingga kelak semua umat manusia akan memeluk agama Islam. Inilah kisah Nabi Isa A.S. membunuh Dajjal dan menjadi hakim adil yang akan membawa seluruh umat manusia ke jalan yang benar.

Menurut hadist Nabi, Isa akan memimpin umat manusia dalam kurun waktu 40 tahun lamanya dan pada masa itu tidak akan ada lagi agama lain selain agama Islam. Itulah beberapa informasi seputar jawaban Kenapa Allah SWT Pilih Nabi Isa Untuk Membunuh Dajjal.

Sumber : (kumpulanmisteri.com)

Monday 14 March 2016

BAGAIMANA MEMBACA NU?




Oleh KH Abdurrahman Wahid

Sejak kemerdekaan kita, perdebatan masalah-masalah kemasyarakatan kita senantiasa di dominasi oleh pertukar-pikiran antara kaum elitis melawan kaum populis. Memang ada suara-suara tentang Islam, seperti yang dikembangkan oleh Bung Karno dan lain-lain, tetapi itu semua hanyalah meramaikan situasi yang tidak menjadi isu utama.


Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana selanjutnya Indonesia harus dibangun ñyang dalam ìbahasa agungî disebut ìmengisi kemerdekaanî. Kalangan elitis, selalu menggunakan rasio/akal dan argumentasi mereka senantiasa bernada monopoli kebenaran. Mereka merasa sebagai yang paling tahu, rakyat hanyalah orang kebanyakan yang tidak mengerti persoalan sebenarnya.
Kalau rakyat mengikuti pendapat kaum elitis ini, tentu mereka akan pandai pada ìwaktunya kelakî. Sebaliknya, kaum populis senantiasa mengulangi semangat kebangsaan yang dibawakan para pemimpin, seperti Bung Karno, selalu mempertentangkan pendekatan empirik dengan perjuangan ideologis.

Tentu saja, cara berdialog semacam ini tidak memperhitungkan bagaimana kaum Muslim tradisionalis ñseperti warga NU (Nahdlatul Ulama)-, menyusun pendapat dan pandangan dan mendasarkan hal itu pada asumsi yang tidak dimengerti, baik yang oleh golongan elitis maupun oleh golongan populis. Demikianlah, dengan alasan-alasaan keagamaan yang mereka susun sendiri, kaum Muslimin yang hadir dalam Muktamar NU di Banjarmasin (Borneo Selatan) tahun1935 memutuskan kawasan ini tidak memerlukan Negara Islam. Keputusan Muktamar NU ini menjadi dasar, mengapa kemudian para pemimpin berbagai gerakan di negeri ini kemudian mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Jadilah negeri kita sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini. Dan, kelihatannya tidak akan berubah seterusnya.

Pada tanggal 22 Oktober 1945, PBNU (hoofdbestuur NU), yang waktu itu berkedudukan di Surabaya mengeluarkan Resolusi Jihad, berisikan untuk mempertahankan dan memperjuangkan Republik Indonesia (RI) adalah kewajiban agama atau disebut sebagai jihad, walaupun NKRI bukanlah sebuah Negara Islam atau lebih tepatnya sebuah Negara agama. Di sini tampak, bahwa kaum muslimin trasidional dalam dua hal ini mengembangkan jalan pikiran sendiri, yang tidak turut serta dalam perdebatan antara kaum elitis dan populis. Namun, mereka tidak menguasai media khalayak (massa) dalam perdebatan di kalangan ilmuwan. Karena itulah, mereka dianggap tidak menyumbangkan sesuatu kepada debat publik tentang dasar-dasar negara kita.

Dalam sebuah harian (Kompas, Senin 8/9/2003), seorang sejarawan membantah tulisan penulis yang mengatakan Sekarmadji M. Kartosoewirjo adalah asisten/staf ahli Jenderal Besar Soedirman di bidang militer. Dengan keahliannya sebagai politisi bukankah lebih tepat kalau ia menjadi staf ahli beliau di bidang sosial-politik? Pengamat †tersebut lupa bahwa asisten/staf ahli beliau saat itu dijabat oleh ayahanda penulis sendiri, KH. A. Wahid Hasjim, dan Kartosoewirjo sendiri memang berpangkat tentara/militer sebagai akibat dari integrasi Hizbullah ke dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Jenderal Besar Soedirman sendiri juga tidak pernah menjabat pangkat militer apapun sebelum bala tentara Jepang datang kemari dan menduduki kawasan yang kemudian disebut sebagai NKRI. Dari penjelasan di atas menjadi nyata bagi kita, bahwa layak-layak saja S.M. Kartosoewirjo menjadi asisten/staf ahli Panglima APRI di bidang militer. Bahwa ia kemudian mempergunakan DI/TII sebagai alat pemberontakan, adalah sesuatu yang lain
ama sekali. Dan sang sejarawan lupa bahwa penulusuran sejarah tidak hanya harus didapat dalam sumber-sumber tertulis, tapi juga sumber-sumber lisan.


Dari kasus NII dapat kita lihat, bahwa di masa lampau -pejabat-pejabat negara- juga ada yang membaca secara salah hal-hal yang ada di luar diri mereka dengan cara berpikir yang lain dari ketentuan dan kesepakatan berdirinya negara kita. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan cara memandang persoalan, apalagi yang berkenaan dengan ambisi politik pribadi atau karena pertimbangan-pertimbangan lain. Dalam hal ini, yang paling mencolok adalah jalan pikiran NU yang tidak memandang perlu adanya Negara Islam. Kalau ditinjau dari adanya peristiwa itu sendiri, jelas bahwa perbedaan pemahaman itu timbul dari cara berpikir keagamaan yang kita lakukan. Bagi NU, hukum agama timbul dari sumber-sumber tertulis otentik (adillah naqliyyah) yang diproyeksikan terhadap kebutuhan aktual masyarakat. Sedangkan gerakan-gerakan Islam lainnya langsung mengambil hukum tertulis itu dalam bentuk awal, yaitu berpegang secara letterlijk (harfiyah) dan tentu saja tidak akan sama hasilnya.


Bahkan, diantara para ulama NU sendiri sering terjadi perbedaan paham, karena anutan dalil masing-masing saling berbeda. Sebagai contoh dapat digambarkan bahwa hampir seluruh ulama NU menggunakan ruíyah (penglihatan bulan) untuk menetapkan permulaan hari Idul Fitri. Tetapi, alm. KH. Thuraikhan dari Kudus justru menggunakan hisab (perhitungan sesuai almanak) untuk hal yang sama. Sedangkan diantara para ahli ruíyah sendiri, terdapat perbedaan paham. Seperti antara alm. KH.M Hasjim Asjíari ñRaíis Akbar NU dengan KH. M. Bisri Sjansuri, -wakil Khatib Aam/wakil sekretaris Syuriyah PBNU-, yang bersama-sama melakukan ru’yah di Bukit Tunggorono, Jombang namun ternyata yang satu melihat dan yang lain tidak. Hasilnya, yang seorang menyatakan hari raya Idul Fitri keesokan harinya, sedangkan yang lain menyatakan hari berikutnya. Jadi, walaupun sama-sama mengikuti jalan pikiran ushul-fiqh (teori hukum Islam), namun dapat mencapai hasil yang saling berbeda. Karena Perbedaan pendapat memang diperkenankan dalam pandangan fiqh, yang tidak diperkenankan adalah terpecah-belah. 
Ayat al-qurían jelas dalam hal ini; ìBerpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah (Waítashimu bi Habli Allahi Jamiían wa la Tafarraqu).

Nah, dalam soal-soal bertarap kebangsaan dan kenegaraan, -seperti penetapan orientasi bangsa,- jelas bahwa kita harus menerima perbedaan pandangan, karena semuanya di dasarkan oleh argumentasi masing-masing. Karena itu ketika ada pendirian berbeda antara pihak seperti NU dengan kaum muslimin lainnya, maka kata akhirnya bukanlah dari pihak yang mengemudikan negara (pemerintah), melainkan hasil pemilihan umum yang menjadi acuan. Kalau ini tidak dipahami dengan baik, tentu akan ada usulan-usulan yang ditolak atau ditunda oleh partai-partai, para aktifis, para wakil organisasi Islam di satu pihak dengan elemen bangsa lain yang tidak secara resmi mendukung atau menolak gagasan kenegaraan yang diajukan. Inilah yang senantiasa harus kita ingat setiap kali membahas ìkesempitan pandangan dari beberapa agama yang besar, seperti serunya perbedaan antara pihak yang mengharuskan dengan pihak yang tidak pernah melihat pentingnya keterwakilan rakyat.

Karena Partai Kebangkitan Bangsa yang memiliki ikatan historis dengan NU- bukanlah sebuah partai Islam, maka tidak perlu terlalu mementingkan ajaran formal Islam dalam setiap penagambilan keputusan. Cukuplah kalau lembaga yang menetapkan Undang-Undang (UU) itu bergerak mengikuti prosedur kelembagaan yang ditopang oleh UU, pakar hukum agama dan segenap pemikiran masyarakat. Pendapat para pakar hukum agama ini menjadi pertimbangan pembuatan hukum bukan pelaksanaannya. Di sinilah diperlukan kearifan dunia hukum nasional kita, untuk juga memperhitungkan pendapat yang dilontarkan masyarakat dan berasal dari para pakar hukum agama.

Dengan demikian, kita sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan pandangan kaum Muslimin Sunni tradisional dalam kehidupan bangsa kita. Dalam hal-hal yang sifatnya fundamental bagi kehidupan agama di negeri kita, jelas hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama tidak dapat ditolerir, umpamanya saja, mengenai keyakinan akan ke-Esaan Tuhan (tauhid). Hal-hal semacam ini tidak dapat dibiarkan dan harus diperjuangkan sehabis daya oleh kaum Muslimin sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang tidak bersifat fundamental bagi keyakinan agama seseorang, tentu saja masih diperlukan telaíahan lebih jauh dan dapat ditolerir perubahan-perubahannya. Bukankah al-qurían sendiri yang justru menyatakan dan Ku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal ì. Dari hal ini dapat diharapkan, di masa depan produk-produk hukum kita akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pengetahuan kita.
 
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Duta Masyarakat, 22 September 2003.