KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Friday 30 October 2015

800 Thn HILANG, TAFSIR AL-JAELANI DITEMUKAN DI VETIKAN




Penemuan karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani oleh cucu ke-23-nya sendiri, Syekh Dr. Muhammad Fadhil, membuat dunia akademik dan pengamal tarekat/tasawuf terkagum-kagum. Bagaimana tidak? Naskah ini selama 800 tahun menghilang dan baru ditemukan secara utuh di Vatikan. Manuskrip yang berisi 30 Juz penuh ini tersimpan secara baik di perpustakaan.
Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menulis kitab tafsir Al-Quran 30 juz yang mengulas ayat-ayat Al-Quran. Kita seolah-olah mempelajari samudra tasawuf dari ayat ke ayat. Dan, alhamdulillah, Tafsir Al-Jailani, yang dalam bahasa Arab telah diterbitkan oleh Markaz Al-Jailani Turki (6 jilid), kini telah berhasil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia/Melayu menjadi 12 Jilid. Hingga hari ini, Markaz Jailani Asia Tenggara baru mencetak 2 jilid pertama.
Para salik yang berada di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand dan Singapura yang berbahasa Melayu bisa mempelajari makna-makna penting tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dengan mudah.
Kami sangat berterima kasih dengan perjuangan penelitian dan penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Dr Muhammad Fadhil dalam menyelamatkan manuskrip-manuskrip langka ini. Terutama yang berkaitan dengan Tafsir Al-Jailani. Kami terharu ketika mendengarkan langsung kisah pengkajian dan penelitiannya selama puluhan tahun.0000424--1-6--300Berikut adalah penuturan Syekh Fadhil dalam pembukaan kitab Tafsir Al-Jailani yang ditelitinya:
“Saya tumbuh besar di bawah pendidikan kakek saya Sayyid Syarif al-Alim al-Muqtada bih wa al-Quthb al-Kamil asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Jalilaniy al-Hasaniy. Ayah saya bernama Sayyid Syarif al-Alim al-Allamah wa al-Bahr al-Fahhamah Syaikh Muhammad Faiq Jailaniy al-Hasaniy.
Setelah saya mendatangi Madinah Munawwarah dan tinggal di kota ini, saya pun mulai mencari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy Radhiyallahu ‘Anhu pada tahun 1977 M di Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya sampai tahun 2002 M.
Setelah tahun itu, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk mencari kitab-kitab sang Syaikh Radhiyallahu ‘Anhu, dan sampai hari ini saya masih terus melanjutkan pencarian itu.
Saya telah mendatangi sekitar lima puluh perpustakaan negara dan puluhan perpustakaan swasta yang terdapat di lebih dari 20 negara. Bahkan ada beberapa negara yang saya datangi sampai lebih dari dua puluh kali.
Dari proses panjang itu saya berhasil mengumpulkan tujuh belas kitab dan enam risalah yang salah satunya adalah kitab tafsir ini yang menurut saya, tidak ada bandingannya di seluruh dunia.
Dari perjalanan saya mendatangi beberapa pusat-pusat ilmu pengetahuan, saya pun mengetahui bahwa ada empat belas kitab karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang dianggap punah. Oleh sebab itu, saya terus melakukan pencarian kitab-kitab tersebut di pelbagai perpustakaan internasional setelah kitab tafsir ini selesai dicetak dan diterbitkan, insya Allah.
Sungguh saya sangat bergembira dan bersyukur kepada Allah SWT ketika saya mengetahui bahwa jumlah lembaran tulisan karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy radhiyallâhu ‘anhu yang berhasil saya kumpulkan mencapai 9.752 lembar. Jumlah itu tidak termasuk tulisan-tulisan yang akan kami terbitkan saat ini dan beberapa judul yang hilang. Tentu saja, semua ini membuat saya sangat gembira dan bangga tak terkira kepada kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy r.a..
64b4056944c2ab
Ada sebuah pengalaman menakjubkan yang saya alami ketika saya mendatangi negeri Vatikan untuk mencari karya-karya sang Syaikh di perpustakaan Vatikan yang termasyhur. Ketika saya memasuki negara Vatikan, petugas imigrasi bertanya kepada saya tentang alasan saya mengunjungi Perpustakaan Vatikan.
Pertanyaan itu dijawab oleh seorang kawan asal Italia yang mendampingi saya dengan mengatakan bahwa saya sedang mencari buku-buku karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Saya kaget ketika tiba-tiba saja, petugas itu langsung berdiri dan berhormat seraya berkata: “Ya, ya, Sang Filsof Islam, Abdul Qadir al-Jailaniy.”
Setelah saya memasuki Perpustakaan Vatikan, saya menemukan pada katalog perpustakaan dan beberapa buku yang ada di situ sebuah tulisan dalam Bahasa Italia yang berbunyi: “Filsuf Islam”, dan dalam Bahasa Arab: “Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn”.
Dua gelar ini tidak pernah saya temukan di semua perpustakaan yang ada di tiga benua kecuali hanya di sini. Di Perpustakaan Vatikan saya juga menemukan sebuah tulisan tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang berbunyi: “Sang Syaikh Radhiyallahu ‘Anhu membahas tiga belas macam ilmu.”
Kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Bagaimana mungkin, karya-karya monumental Syekh Abdul Qadir Al-Jailani justru tersimpan rapi di perpustakaan di Vatikan? Kemana saja ahli-ahli sejarah kita? Mengapa karya sehebat itu “hilang” selama berabad-abad? Jangan-jangan masih banyak karya-karya besar ulama Islam yang justru diabaikan oleh kaum muslimin.
Sumber : Santri Net

Wednesday 28 October 2015

KUMPULAN LUKISAN KH. KHOLIL BANGKALAN






KH. Muhammad Kholil Bangkalan



Mulai dikerjakan Ahad 24 Oktober-Selesai Senin 25 Oktober 2015

Tuesday 27 October 2015

HARLAH KE 62 FATAYAT NU : IMAM AS SYAFI'I MEMILIKI 16 GURU WANITA

Lukisan KH. Holil Bangkalan
mulai saya kerjakan pada Hari Ahad 25 Oktober 2015
Finishing background dikerjakan hari Senin 26 Oktober 2015
Alhamdulillah, Lukisan Selesai Senin 26 Oktober 2015
jam 23.00 wib

Maju dengan Berpegang Pada Prinsip.
Lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai gerakan para ulama ternyata menggerakkan juga di kalangan para wanita NU, baik di kalangan Muslimat ataupun kalangan mudanya yaitu Fatayat. Kenapa keduanya menjadi besar dan kuat terus bertahan selama puluhan tahun tahan terhadap gerusan berbagai tantangan zaman, dan mampu mengambil peran saat diperlukan. Hal itu tidak lain karena Fatayat mampu mengantisipasi setiap perubahan zaman. Banyak organisasi serupa, yang telah bubar karena tidak mampu mensiasati perkembangan zaman. 

Pada masa damai Fatayat mengambil peran aktif dalam pendidikan dan dakwah serta berbagai layanan sosial lainnya seperti dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Pada masa-masa tertentu terutama pada tahun 1950 atau 1960-an Fatayat aktif membela dan mempertahankan negara bahkan dengan memanggul senjata. Para ulama merestui dan mendukung semua gerakan itu karena hal itu sejalan dengan prinsip atau nilai-nilai dasar Islam Ahlussunnah wal jamaah dan sejalan dengan budaya bangsa.
Dalam dunia Islam peran wanita sejak awal juga sangat menonjol, Imam As Syafii guru dan ulama besar pemimpin mazhab kita ini memiliki 16 guru wanita. Di zaman Nabi sendiri banyak tokoh wanita yang berpengaruh Siti Khodijah RA, sendiri merupakaan seorang pengusaha kaya dan sekaligus pelindung Nabi Muhammad SAW. saat awal kenabiannya. Siti Aisyah RA merupakan Sahabat dan Isteri nabi yang banyak meriwayatkan Hadits. Memang Islam mendudukkan wanita dalam posisi yang sangat terhormat. Tidak ada agama yang menghormati wanita melebihi Islam. Dalam al Quran sendiri terdapat surat yang sangat panjang yang dinamai dengan surat An Nisa’ (wanita), yang menguraikan tugas, tanggung jawab dan kehormatan wanita.
Bahkan orang pertama yang mati syahid dalam Islam adalah seorang wanita bernama Sumayyah binti Khayyath, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah, ibu dari Ammar bin Yasir. Sumayyah memperlihatkan keislamannya secara terang-terangan pada awal datangnya Islam. Ia meninggal setelah Abu Jahal menusuknya dengan tombak.Dalam konteks sejarah Indonesia, telah banyak kita kenal tokoh wanita yang sangat disegani, progresif, kreatif dan inspiratif dalam menggerakkan masyarakat, tetapi mereka tetap berpegang pada prinsip agama dan tata nilai kenusantaraan. Tokoh seperti Laksamana Malahayati Di Aceh, Sang Penakluk yang sangat ditakuti Portugis maupun Belanda. Nyi Ageng Serang menjadi prajurit Inti dalam Pasukan Diponegeoro dalam melawan penjajah Belanda. Karena itu Islam menempatkan wanita sebagai 'imadul bilad (penyangga negara), peran yang sangat penting.
Seorang ibu dengan sendirinya telah merupakan madrasah (tempat belajar) bagi sang anak dalam sebuah keluarga. Pertumbuhan inteligensia anak, pertumbuhan mental serta kekuatan moralnya, terbentuk dari situ. Semuanya akan sangat tergantung pada kepribadian seorang ibu sebagai pengasuhnya. Kasih sayang serta perhatian ibu terhadap anak yang tanpa batas itu memberikan keluasan cara pandang anak, memberikan rasa aman dan memberikan titik pijak untuk maju menjangkau masa depan yang jauh ke depan yang ditanamkan melalui nasehat, keteladanannya serta berbagai dongeng yang diceritakan saat makan bersama atau menjelang tidur.
Dalam menghadapi Indonesia yang sedang mengalami transisi ini, sekali lagi peran kaum Wanita sebagai penyangga negara sangat mutlak diperlukan. Berbagai tantangan politik, tantangan ekonomi dan terutama tantangan moral dan kebudayaan ini perlu dihadapi secara serius agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri. Karena bangsa yang kehilangan jati diri akan kehilangan segalanya. Disinilah peran Fatayat dan kaum ibu pada umumnya sangat diperlukan, untuk membentengi bangsa yang dimulai dengan membentengi keluarga dari pengaruh negatif segala bentuk kebudayaan yang amoral.
Kerja besar itu hanya bisa dilaksanakan ketika para wanita baik Fatayat maupun Muslimat bersatu dalam organisasi yang solid dan kuat. Selain itu perlu terus berpegang pada prinsip Islam Ahlussunnah Wal Jamaah serta falsafah Pancasila. Perkembangan apapun yang kita rencanakan serta pengaruh dari luar apapun yang akan kita ambil haruslah sejalan dengan nilai Ahlussunnah dan Falsafah Pancasila itu. Kita menolak segala bentuk pemikiran, ideologi serta ekpresi kebudayaan yang merusak moral bangsa ini. Karakter bangsa ini perlu terus dijaga dan dipupuk agar bisa menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat. Dan disitulah peran Fatayat dan kaum ibu pada umumnya sangat dominan. Di situlah harapan besar NU pada Fatayat agar menjadi penyangga negara dan benteng akidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Oleh KH Said Aqil Siroj:
Disampaikan dalam harlah ke-62 Fatayat NU, 27 Mei 2012 di Jakarta.

Thursday 22 October 2015

TAREKAT MODERASI " SANG KYAI"


Asep Salahudin
    Lewat film "Sang Kyai", KH Hasyim Asy'ari sebagai tokoh utama yang diperankan de ngan apik oleh Ikranegara sesungguhnya hendak menunjukan sebuah makna bahwa NKRI adalah bentuk final dari format keindonesiaan yang dengan susah payah telah diperjuang kaan oleh kaum pergerakan dan seluruh rakyat dengan darah dan airmata.

    Jadi mempertahankannya bukan hanya, dalam terminologi K.H. Hasyim Asy'ari, fardu kifayah namun fardu ain, dan mereka yang mati di medan laga dalam mempertahankan keutuhan NKRI yang hendak direbut kembali oleh Belanda dan sekutunya adalah syahid sebagaimana ditulis dalam "resolusi jihad". Dalam konsep fiqh syahid adalah kematian sebagai martir yang akan dibalas dengan surga Tuhan.

    Inilah yang kemudian menjadi garis politik ormas terbesar Indonesia Nahda tul Ulama: garis moderat. Moderasi menjadi pilihan jalan kenegaraan dan keberagamaan. Tidak tergerak dalam pesona "politik kanan" yang selalu menawarkan fantasi "negara" sebagai adaptasi dari model siyasah Timur Tengah sebagai cangkokan pola fikih politik abad perte ngahan di mana wilayah di belah menjadi dua kekuatan yang dipertentangkan: ka wasan Islam (Darul Islam) dan kawasan musuh (Darul harbi). Tidak juga terpikat tawaran "politik kiri" yang menawarkan pesona sosialisme ekstrem di mana negara memiliki kuasa penuh untuk me ngontral hak milik sekaligus hak politik seluruh warganya yang ternyata sekarang mengalami kebangkrutan total.

    Jalan tengah yang kemudian diekpresikan dalam wujud kesediaan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, sebagai titik temu (kalimatun sawa) dari berbagai kepentingan, dari keragaman budaya, ras agama, dan bahasa. Pancasila sebagai payung berbangsa di mana semua komponen umat dan etnik berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Muktamar Situbondo pada tahun 1984 dengan jelas menyatakan pancasila sebagai dasar final negara, di samping komitmen untuk kembali ke khitah 1926.

    "Prosa politik" jalan tengah seperti ini yang digemakan K.H. Ha syim Asy'ari dan kemudian menjadi garis ormas NU kalau kita renungkan sesungguhnya adalah kelanjutan dari puisi Moham mad Yamin yang diikrarkan dalam peristiwa Sumpah Pemuda justru jauh sebelum "Indonesia" ditemukan, sebelum Indonesia terdefinisikan sebagai negara dengan kedaulatan penuh yang diakui oleh bangsa-bangsa lain, justru ketika Indonesia masih berada dalam "imaji sosial" belum menjadi sebuah fakta historis, "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia"

    Komitmen kebangsaan

    Tentu saja "resolusi jihad" yang dige lorakan Sang Kyai yang menjadi penyulut peristiwa yang dikenal de ngan hari pahlawan adalah tanda utama tentang komitmen Sang Kyai yang tidak disang sikan lagi terhadap negara. Sebagai pri badi yang anti terhadap segala bentuk kolonialisme. Tarekat yang dijalaninya tidak hanya sekadar kesediaan membela agama, tapi juga bela negara.

    Bagaimana Sang Kyai ketika Jepang mengambil alih kekuasaan, dengan sangat tegas menolak saikerei yaitu kewajiban memberikan penghormatan kepada dewa Matahari dan Kaisar Hirohito setiap pukul 07.00. Bagaimana Sang Kyai di depan forum Masyumi dengan lantang berpidato (Zuhairi Misrawi, 2013),

    "Belanda telah mempermainkan kehormatan negeri kita dan membuat rusuh tentang hasil kekayaan negeri kita. Mereka mengambilnya itu tidak terkira-kira, lalu dikirimkannya ke negeri mereka dengan tidak mempedulikan perasaan kita. Negeri kita adalah ternama di seluruh dunia karena kekayaan dan kesuburannya. Hasil produknya tidak terhitung. Sungguh pun begitu, bangsa kita hidup di bawah pemerintahan Belanda dalam kemelaratan yang hebat dan kesempitan hidup yang tidak ada bandingannya. Malah mereka hampir-hampir tidak dapat memperoleh makanan untuk penahan keluarnya nyawa mereka dan yang dapat memberi tenaga badan mereka".

    Disebutkan juga bahwa salah satu ciri kelicikan Belanda dan sekutu da lam melancarkan niat busuk menca plok kembali negara Indonesia adalah dengan cara melumpuhkan peran dan funsgi ulama, dengan mengkerdilkan para kyai, dan mengadu domba mereka serta meruntuhkan wibawanya di tengah masyarakat. Belanda sangat faham banwa kyai memiliki posisi yang sangat dekatdengan umat dan sangat potensial menggerakkan ma sya­rakat melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. Dilanjutkannya pidato di depan sidang Masyumi itu, "Belanda tahu bahwa ulama ada lah pengajar-pengajar umat Islam dan pemimpin-pemimpinnya. Maka, Belanda berusaha sungguh-sungguh akan mencerai beraikan antara ulama".

    Tarekat Qadiriyah wa Naqsyaban diyah KH Hasyim Asyari yang ketika ber mu kim di Mekkah banyak berguru ke­pa da Syekh Mahfudz Termas, Syekh Mahmud Khatib al-Minangkabawy, Imam Nawawi al-Bantany, Syekh Sya­tha, Syekh Dagistany, Syekh al-Alla mah Abdul Hamid al-Darustany, dan Syekh Muhammad Syuaib al-Maghriby terca tat sebagai ikhwan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Sebuah tarekat "mu' ta barah" yang merupakan paduan antara tarekat Qadiri yah (didirikan Syekh Abdul Qadir al-Jilani) dan Naqsyaban diyah (pendiri nya an-Naqsyabandi) yang dikembangkan oleh Syekh Khatib Sambas (nama lengkapnya: Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi dan wafat di Mekah tahun 1878 M).

    Ajaran tarekat Sang Kyai ini di antaranya tergambarkan dalam dua buku karyanya al-Durar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tisa Asyarah dan al-Tibyan fi an-Nahyi an Maqalat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan .

    Tarekat yang digenggamnya seperti itu adalah "tarekat moderen" yang salah satunya ditandai dengan aktivitasnya dalam kehidupan sosial-politik. Berta rekat bukan sebagai ekspresi beragama yang lari dari keramaian namun justru terlibat dalam kegaduh an kehidupan nyata dengan visi yang jelas. Visi yang dilandaskan kepada keagungan akhlak dan perangai luhur.

    Semacam garis tarekat moderat yang secara geneologis adalah kelanjutan da ri mataair tasawuf yang di­kembang kan al-Ghazali yang lahir sebagai kritik terhadap kecenderungan "tasawuf radi kal" yang pernah dikembangkan Abu Yazid al-Bustami (746-877 M) dan al-Hallaj (858-921 M).

    Menjadi sangat dipahami juga kalau dalam bernegara K.H. Hasyim Asy'ari dan NU (pesantren) pun mengambil garis politik moderat tanpa harus kehilangan jatidiri dan independensinya.

    Penulis, Dosen UIN SGD Bandung.

    Sumber, Galamedia 28 Juni 2013

    Tuesday 13 October 2015

    TIPUAN GAYA BARU SALAFI WAHABI



    Untuk kesekian kalinya Suara Hidayatullah berbohong kepada publik dalam pemberitaannya, beginilah sejatinya media-media takfiri dan intoleran selalu dalam setiap kesempatan melakukan pemutar-balikan fakta, melakukan fitnah dan adu-domba secara sitematis agar tidak pernah tercipta suasana Ukhuwah antara Sunnah dan Syi'ah.
    Rabu 25 Februari 2015 berita ini ditulis dengan judul NU dan Wahabi bersatu jaga Persatuan Ahlussunnah, jelas ini sebuah bentuk penyesatan opini yang coba dilakukan oleh suara hidayatullah agar kaum awam melihatnya sebagai bagian dari kebijakan resmi Ormas Islam NU yang bergandengan tangan dengan Wahabi.
    Nu secara institusi tidak pernah melakukan kerjasama secara resmi dengan firqoh-firqoh Wahabi dalam memerangi dan memusuhi Islam Syiíah.
    Wahabi mencari simpatik dengan menjadikan Syiíah sebagai musuh bersama. Trik-trik licik khas dinasti bani Umayah dalam melakukan indoktrinisasi kepada masyarakat awam dengan berbagai fitnahan keji.
    Syi’ah dipersepsikan sebagai sebuah kekuatan yang memiliki agenda politik dan mengancam NKRI sementara Wahabi sudah punya rekam jejak dalam melakukan berbagai kerusakan di negeri ini.
    Serangkaian peledakan bom semua dilakukan oleh ekstremis Wahabi Salafy. Veteran-veteran perang Afghan, Moro, Suriah dan Iraq semua dilakukan oleh pengikut faham radikal Wahabi Salafy.
    Islam Syi’ah tegas dalam pernyataannya mendukung NKRI dan Ideologi Pancasila sebagai bagian yang tak terpisahkan dari cita-cita luhur para pendiri Republik ini. Karena Pancasilalah Indonesia eksis dengan Kebhinekaan dan toleransi sebagai bagian dari ciri khas negara ini.
    Sementara Wahabi Salafy dengan semua firqoh-firqohnya mereka anti Pancasila dan selalu berkeinginan memaksakan pendapatnya agar Indonesia menjadi negeri berdasarkan satu Agama dengan Hukum Syari’at Wahabi Salafy. (red.Satu Islam)
    Masalah Takfiri sudah terlalu parah di mana tidak bisa diatasi hanya melalui solusi militer. Masalah ini harus terlebih dahulu ditangani pada tingkat intelektual, ilmiah dan budaya. Islam, bangsa dan masyarakat sedang terancam oleh pemikiran Takfiri. Kita harus mengatasi akar masalah, bukan menangani dampaknya. (Sayid Hasan Nasrallah)
    Ekstremis Takfiri adalah musuh Agama dan Kemanusiaan.Perlunya persatuan antara Syiah dan Sunni untuk melawan ancaman yang berasal dari militan Takfiri.             Sumber satuislam.wordpress.com
    Inilah Judul dan isi tulisan yang Menipu :                                                                                                                     NU dan Wahabi Bersatu Jaga Persatuan Ahlus Sunnah
    Rabu, 25 Februari 2015  23:00 WIB                                                                                                               Hidayatullah.com Peristiwa penyerangan jamaah Majelis Az-Zikra dinimai banyak menuai hikmah. Diantaranya adalah bersatunya ormas Islam dan kekuatan Muslim Ahlus Sunnah Indonesia.
    Pernyataan ini disampaikan oleh Habib Achmad Zein Alkaf dari di Yayasan Albayyinat Indonesia saat membuka pengantar kunjunganya memimpin rombongan Delegasi Ulama Nusantaraí mengunjungi kediaman Pimpinan Majelis Az-Zikra, Ustad Arifin Ilham Sentul Bogor, Jawa Barat, Rabu (25/02/2015) pagi. [Baca: Delegasi Ulama Nusantara Kunjungi Arifin Ilham Dukung Upaya Hadapi Syiah]
    Di antaranya ulama yang hadir seperti Ustad Muhammad Said Abdussomad (Makasar), KH Ahmad Tijani (Madura), Habib Ahmad Bin Zein Al Kaff (Jawa Timur), Farid Ahmad Okbah (Direktur Islamic Center Al-Islam) dan masih banyak perwakilan ormas lain.
    Mengawali pembicaraan, Habib Achmad Zein Alkaf yang juga anggota Aíwan Syuriah PWNU Jawa Timur ini mewakili para ulama menyampaikan dukungan atas segala upaya dakwah yang telah dilakukan Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustad Arifin Ilham.
    Menurutnya, peristiwa penyerangan pendukung Syiah di Az-Zikra memiliki hikmah, diantaranya bersatunya sesama Ahlus Sunnah.
    Para ulama yang dulu awalnya pasif sekarang mulai sadar dan makin tahu apa itu bahaya Syiah,î ujarnya mengawali pembicaraan.
    Sebelum ini, Selasa malam dalam sebuah pertemuan tertutup dengan tokoh-tokoh umat seluruh Indonesia, ia telah menjelaskan perlunya menjaga ukhuwah di kalangan Ahlus Sunnah.
    Sementara itu, usai mendengar pengantar Habib Achmad Zein, Arifin Ilham juga menjelaskan perlunya menggalang kekuatan umat Islam, khususnya sesama Ahlus Sunnah.
    Peristiwa ini membuat kami semua menjadi bersama. Kami semakin siap untuk menggalang kekuatan umat menghadapi segala persoalan yang akan terjadi kemudian, ujar Arifin Ilham.
    Sementara itu, Farid Ahmad Okbah juga ikut menyampaikan pernyataan sama.
    Acara ini sekaligus sebagai ekspresi kebersamaan untuk persatuan Ahlus Sunnah di Indonesia dalam rangka menghadang kekuatan batil yang telah nampak di depan mata kita.
    Sekaligus menghimbau kepada aparat agar menjaga ketenangan umat Islam Ahlus Sunnah di Indonesia ini agar tidak menjadi korban Syiah sebagaimana di negara-negara lain. Dan kita tidak berharap itu terjadi di Indonesia, tambah Farid lagi.
    Menurut Farid, persatuan umat Islam Ahlus Sunnah adalah suatu keharusan. Karena sesungguhnya iman itu melahirkan ukhuwah.
    Apalabila ukhuwah tidak dibangun di atas keimanan maka terjadi kerapuhan, dan keimanan yang tak melahirkan ukhuwah adalah sebuah kelemahan karena antara keimanan dan ukhuwah itu satu bagian. Inammal Mukminuna Ikhwah fa aslihu baina akhwaikum (Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah orang-orang yang berselisih diantaramu), ujar Farid mengutip Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 10.
    Menanggapi komentar pertemuan ini, beberapa wartawan di belakang ikut berbisik.                   Alhamdulillah, akhirnya NU dan Wahabi bersatu,  ujar seorang wartawan media online.
    Rep: Panji Islam, Editor: Cholis Akbar

    Catatan :
    Yang lucu, di tempat saya di Masjid Al Muqorrobin Rawalumbu Bekasi, kelompok Salafi Wahabi satu persatu menggunakan Peci Hitam padahal sebelumnya mereka sangat bangga memakai gamis, celana cingkrang pakai topi kupluk putih, mirip Arab. Dari  bahasa tubuh, rupanya mereka sedang mencuri perhatian, belagak mencari simpati pada lingkungan saya yang 99% warga Nahdiyin yang tentunya berciri Peci Hitam. Namun tingkah polah dan akal bulus mereka sudah di ketahui warga di lingkungan saya. 
    M. Supriyanto