KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Monday, 31 August 2015

KABAR GEMBIRA BAGI YANG TERKENA PHK


Info terbaru bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan/Jamsostek yang sudah berhenti kerja atau ter-PHK dari perusahaan minimal satu bulan, mulai 1 September 2015 nanti uang JHT (Jaminan Hari Tua) bisa diambil penuh alias seluruhnya. Setelah sebelumnya untuk bisa mencairkan 100% harus menunggu sampai 56 tahun, atau ketika mengalami cacat total tetap, atau ketika sudah meninggal dunia.

Revisi ini jelas merupakan kabar gembira nan bahagia bagi peserta BPJS TK, baik yang sudah tidak bekerja maupun yang masih aktif bekerja. Buat yang sudah berhenti bekerja, tentu mulai awal September nanti sudah bisa mengambil uang JHT-nya. Sedangkan bagi yang masih bekerja ini juga kabar yang melegakan, karena jika sewaktu-sewaktu berhenti kerja, tidak perlu berlama-lama cukup satu bulan menunggu sudah bisa mengklaim dana JHT-nya. Iya, akhirnya pemerintah mau merubah lagi Peraturan Pemerintah no 46 tahun 2015 tentang persyaratan pengambilan uang JHT.

Dalam revisi terbaru ini, peserta BPJS Ketenagakerjaan yang telah berhenti bekerja plus masa tunggu satu bulan, uang JHT sudah bisa langsung dicairkan. Tidak perlu menunggu-nunggu lagi sampai masa kepesertaan mencapai 10 tahun, atau ketika sudah berumur 56 tahun, seperti yang sempat dirilis dalam peraturan 1 Juli 2015 beberapa waktu lalu.
Baca Juga:  Peserta-peserta BPJS TK yang Sudah Boleh Mengambil 100% Uang JHT-nya

Sunday, 30 August 2015

GUS MUS : DAPAT KURSI DULU, BARU MIKIR




Sekarang ini banyak orang yang tidak mengenali kemanusiaannya, terutama yang berada di tataran elite.  Demikian dinyatakan Budayawan KH A. Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus.

"Pimpinan, anggota DPR, semua yang di atas harus jadi manusia dulu," katanya usai dialog kebangsaan bertajuk "Menjadi Orang Indonesia Yang Beragama dan Berbudaya" di Semarang, Kamis (27/8) malam.
Menjadi manusia yang dimaksudkannya adalah mengenali dirinya dengan segala sisi-sisi kemanusiaannya sehingga mampu memanusiakan orang lain dan tidak menganggap dirinya sendiri yang paling benar.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thalibien Rembang itu mengatakan ada orang yang menganggap manusia adalah yang seperti dirinya sendiri sehingga sama saja menganggap yang lain bukan manusia.
"Banyak yang mengatakan revolusi mental. Lalu apa yang sudah kita lakukan? Mestinya kita harus merevolusi mental seperti apa? Kalau mau berubah harus tahu dulu aslinya seperti apa," katanya.
Mantan Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengatakan manusia perlu memahami konsep kehidupan, seperti bagaimana melihat dunia, termasuk di dalamnya kemanusiaan dan ketuhanan.
Menurut Gus Mus, banyak orang yang sekarang ini berebut kekuasaan tetapi justru tidak tahu setelah berkuasa mau berbuat apa, sebab orang-orang seperti itu sebenarnya tidak memahami konsep kehidupan.
"Sekarang, orang berebut kekuasaan untuk apa? Setelah berkuasa juga mau apa? Banyak yang mementingkan ngrebut kursinya dulu, baru mikir. Setelah dapat kursinya apa yang mau dilakukan," katanya.
Demikian pula dengan persoalan ketuhanan, Gus Mus mengatakan banyak orang yang merasa mengenal dan ingin menyenangkan Tuhan, tetapi sebenarnya apa yang dilakukan justru tidak mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
"Ada semangat mencintai, tetapi tidak disertai semangat pengenalan. Ingin menyenangkan Tuhan, tetapi justru tidak mengenal Tuhan. Merasa selalu benar dan menyalahkan orang lain," katanya.
Manusia, kata Gus Mus, ditunjuk sebagai wakil Tuhan di muka bumi semestinya harus mempunyai sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih dan penyayang, bukan malah saling memusuhi dan bertikai.
"Waktu pertama kali, istri saya membuatkan opor itu ayamnya satu ekor, kelapanya dua buah. Ya, kentel banget. Tidak tahu saya sukanya apa. Semangat mencintai harus disertai semangat pengenalan," katanya, disambut tawa hadirin.
Hadir pada kesempatan itu, Pendeta Petrus Agung, Romo Aloysius Budi P dari Keuskupan Semarang, dan Direktur Utama PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Irwan Hidayat sebagai pembicara.
Nu Online

Friday, 28 August 2015

MURSYID TQN SURYALAYA, TUNGGU KETETAPAN YANG MENENANGKAN TANPA KONTROVERSI




EVALUASI UNTUK MURID TQN SURYALAYA

Dalam situasi dan kondisi sekarang (pasca wafatnya Abah Anom sebagai Mursyid TQN Suryalaya), para pengamal TQN Ponpes Suryalaya perlu mengevaluasi diri dan menetapkan hati pada keyakinan terhadap beberapa hal sebagai berikut:

Nabi Muhammad saw yang tubuhnya (basharnya) terkubur di kota Madinah, adalah tetap ruhnya masih bisa hadir di tengah-tengah umatnya di manapun keberadaanya. Begitu pula Abah Anom, walaupun tubuhnya (basharnya) dikubur di makam Puncak Rahmaniyah, tetapi ruhaniahnya tetap hadir di tiap halaqoh para muridnya.

Ketika seseorang bersholawat untuk Nabi saw satu kali, maka Allah akan bersholawat untuk orang itu sepuluh kali. Begitu pula, ketika seorang murid TQN Suryalaya menyebut nama Abah Anom, maka namanyapun disebut oleh Allah swt.

Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada ahli kubur, maka pada saat itu juga Allah akan mengembalikan ruh ahli kubur tersebut kemuka bumi untuk menjawab salam orang itu, dan ketika pula seorang murid TQN Suryalaya bersalam kepada Abah Anom, walaupun jasadnya telah dianggap mati, beliau akan menjawab setiap salam dengan izin Allah.

Jasad para nabi dan sholihin yang wafat tidak akan hancur dimakan tanah, demikian pula jasad Abah Anom.

Setiap muslim yang berziarah ke kubur orang-orang shaleh dan mengucapkan salam kepada mereka, maka ruhaniyah mereka dihadirkan oleh Allah untuk menjawab salam kepadanya, maka oleh karena itu, ketika seorang murid berziarah ke makam Abah Anom untuk bertawasul akan hal apapun, beliau
dihadirkan oleh Allah untuk mewushulkannya kepada Allah bagi tiap murid yang menziarahinya.

Bagi orang yang setiap waktunya dipakai untuk berdzikir kepada Allah dalam situasi dan kondisi apapun, maka Allah swt mengutus Rijalul Ghoib (para malaikat dan ruhaniyah para aulia) untuk menjadi pendamping dan pembimbing baginya, maka Abah Anom adalah salah satu dari Rijalul Ghoib tersebut.

Orang-orang yang mati di jalan Allah, seperti para nabi dan para aulia juga para sholihin lainnya, walaupun jasadnya dianggap mati, tetapi ruhaniyahnya tetap masih efektif berperan memberikan manfa'at kepada orang-orang hidup yang berkaitan dengannya, dan ruhaniyah Abah Anom pun akan tetap memberikan manfa'atnya kepada tiap murid yang memerlukannya.

Seorang Guru Mursyid pada tiap-tiap tarekat auliya, termasuk pula Abah Anom, pada wafatnya, jasadnya tidak hancur di makan tanah, dan tetap akan memberikan manfa'at kepada murid-muridnya yang selalu berkhidmat kepadanya, menjawab salamnya, mengantarkan permohonan murid-muridnya kepada Allah, hadir pada halaqoh muridnya, membimbing, membina, serta membantu kesulitan para murid-muridnya dengan dasar izin Allah.

Abah Anom selaku Mursyid TQN Suryalaya dalam keadaanya untuk sebagian orang telah dianggap wafat, tetapi ruhaniyahnya tetap menjalankan tugasnya sebagai mursyid.

Sebagai seorang Mursyid, Abah Anom jelas mengakui dirinya adalah mursyid, sebagaimana tercantum dalam pernyataannya dalam maklumat beliau pada tahun 1998: "Saya KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin sebagai guru mursyid TQN dan sebagai sesepuh Pontren Suryalaya", hal tersebut adalah sebagai bentuk kejelasan bagi murid-muridnya bahwa seorang pemimpin itu harus mengakui kepemimpinannya.

Dalam maklumat tersebut Abah Anom melimpahkan sebagian wewenangnya dalam pengelolaan kelembagaan Ponpes Suryalaya dan sebagai konsultan dalam masalah-masalah ketarekatan di lingkungan Pondok Pesantren Suryalaya (dalam artian bukan bentuk pelimpahan kemursyidan) kepada 3 orang Pengemban Amanah, yaitu:

1. KH. Noor Anom Mubarok, BA.
2. KH. Zaenal Abidin Anwar.
3. H. Dudun Noorsaiduddin.

Sebagaimana telah tertera pada maklumat tersebut pernyataan Abah Anom: "Maka dengan adanya Surat Pernyataan ini kepada seluruh Pimpinan Lembaga termasuk para Mubaligh dan Wakil Talqin yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Suryalaya, apabila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan lembaga, fisik bangunan, pendidikan dan pengajaran, dan pembinaan ikhwan TQN Pontren Suryalaya supaya berkonsultasi dengan nama-nama tersebut", dan hal itu telah disepakati oleh seluruh wakil talkin Ponpes Suryalaya pada malam ke 40 hari wafatnya Pangersa Abah.

Tugas Abah Anom (Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin r.a) belum selesai, oleh karena itulah pada saat ini beliau tidak mengangkat seorangpun untuk menjadi Mursyid TQN Suryalaya sebagai pengganti beliau sampai Allah berkehendak pada saatnya nanti para Pengemban Amanah telah menunaikan seluruh tugasnya semua dan berpulang ke Hadrot Allah swt, 

Maka di situlah saatnya Pangersa Abah Anom menunjukkan wasiat kemursyidannya secara legitimate dan hirqoh ghoibiyah yang menjadikan Mursyid pengganti beliau akan diterima dengan tenang dan rasa aman, tidak ada pertanyaan, tidak ada keraguan dan perdebatan, dan tanpa kontroversi, sebagaimana mengalirnya kemursyidan Abah Sepuh ke Abah Anom dengan kedamaian yang menenangkan ruh-ruh para murid sebagai wujud hakiki maksud dari pada dzikir adalah untuk menentramkan hati, bukan sebaliknya.

Menta'ati orang-orang yang telah diamanahkan oleh Abah Anom kepada kita, yaitu para Pengemban Amanah.

Walaupun Abah Anom di mata sebagian orang telah wafat, tetapi maklumat-maklumat beliau tetap berlaku bagi murid, yang di antaranya (khusus dalam bentuk amaliyah TQN Suryalaya): "Siapa yang mengurangi atau menambah maka Abah tidak bertanggung jawab".

Tetap berpegang teguh kepada: "wa'tashiimu bi hablillaah", yang di antara pengertiannya adalah: "tetap berpegang teguh pada tali yang telah diikatkan oleh Pangersa Abah" dengan cara tetap ber-Robithoh kepada Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) r.a.

Sumber : http://www.suryalaya.org
Untuk jelasnya dapat anda baca pada 

Thursday, 27 August 2015

NABI MUHAMMAD KETURUNAN JOMBANG, BUKAN ARAB

Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar Bin Salim, Parung Bogor

Seperti Gus Dur, para kiai NU pada umumnya juga dikenal tipikal selera guyonannya sangat tinggi. Hal ini terekam di sela istirahat dalam momentum Muktamar ke-33 NU di Jombang.

Seorang kiai ketua PCNU di wilayah Banten memandang tradisi masyarakat Jawa yang selalu mengedepankan sopan santun, terutama kepada orang yang lebih tua.

Itulah kenapa dia heran sekali karena selama menginap di pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, dirinya dilayani dengan sangat sopan oleh panitia lokal dari santri pesantren setempat.

Misalkan saat dia duduk di dalam ruangan penginapan meminta tolong kepada santri, lalu santri yang dipanggil duduk dahulu baru bilang kepada kiai tadi, "Apa yang bisa dibantu pak yai?"

"Kalau saya duduk, santri tadi duduk duhulu sebelum bicara, bayangkan jika saya tiduran, mungkin juga mereka tiduran dahulu," ungkapnya sambil tertawa lepas.

"Baru santri-santri aja sopan santunnya seperti itu. Apa Nabi Muhammad keturunan Jombang ya? Sopan santunnya itu lho.. Hormat sama yang tua, cinta sama yang muda."
Kalimat ini merupakan sindiran, lantaran yang ia tahu kebanyakan orang Arab berwatak keras dan sopan santunnya kurang. 
(M. Zidni Nafi')

Wednesday, 26 August 2015

BERZIKIR SENDIRI SEUSAI SHOLAT, BELUM TENTU WAHABI



Bagaiman pandangan dengan golongan Wahabi? Kalau berzikir dan berdoa secara sendiri selepas sholat apakah dia Wahabi?
PENJELASAN:
Aliran Wahabi bukanlah satu mazhab akan tetapi satu bentuk gerakan pemikiran agama yang banyak dipegang oleh ulama-ulama Haramayn (Mekah dan Madinah) kontemporari mengikuti pendekatan yang diambil oleh Muhammad bin Abd Wahhab (m.1792). Dari segi mazhab , mereka lebih hampir dengan mazhab Hanbali walaupun dari beberapa segi mereka lebih ketat dan keras.
Dalam sejarah tradisi ilmu Islam, aliran Wahhabi bukanlah mewakili arus perdana mazhab Ahl Sunnah wa al-Jamaah kerana sejak seribu tahun lebih, aliran yang menjadi peneraju kepada pentafsiran Ahl Sunnah wa al-Jamaah dalam bidang akidah ialah Asha’irah dan Maturidiyah, manakala dalam bidang fiqh ialah empat mazhab utama iaitu Shafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Dari segi pendekatan ilmiah, aliran Wahabi membawa pendekatan yang agak sempit dengan metodologi harfiah (literal) yang mereka ambil dalam memahami sumber agama khususnya al-Qur’an. Justeru itu, sebahagian dari pandangan mereka dalam agama bersifat agak keras terutama terhadap orang yang tidak mengambil pendekatan mereka. Pendekatan sebegini akhirnya telah membawa kepada kecenderungan untuk mudah mengeluarkan orang Islam dari lingkungan agama yang tidak sealiran dengan aliran Wahabi.
Contoh perbedaan pandangan golongan Wahabi yang agak jelas ialah pandangan mengenai sunnah dan bid’ah. Berdasarkan makna literal beberapa hadis Nabi, mereka menganggap bahawa setiap amalan ibadat yang tidak mengikuti secara langsung cara yang dibawa oleh Nabi saw, dianggap bid’ah dan terkeluar dari Islam.
Justeru itu banyak amalan dan pegangan yang telah diamalkan oleh masyarakat Islam telah dianggap terkeluar dari agama Islam oleh golongan Wahabi. Pendekatan ini telah menyebabkan perpecahan di kalangan sebahagian masyarakat yang telah lama mempunyai kesatuan dalam ibadat menurut pentafsiran imam-imam muktabar dalam mazhab Shafi’i dan dalam akidah menuruti aliran al-Ash’ari dan al-Maturidi.
Banyak persoalan yang bersifat khilafiah telah diangkat dan dianggap sebagai perkara usul sehingga menjadi permasalahan dalam masyarakat, seperti larangan doa qunut, wirid dan berdoa secara berjamaah selepas solat, tahlil, berzanji, qasidah, burdah, membaca yasin pada malam jumaat, perayaan maulid, kesemuanya ditolak atas nama bid’ah yang sesat. Ini sama sekali tidak selari dengan pemahaman sunnah dan bid’ah yang sebenar dalam Islam dan juga tidak bertepatan dengan semangat ilmiah dalam tradisi Islam yang membenarkan perbezaan pandangan dalam persoalan khilafiah.
Dalam konteks tasawuf, mereka amat keras membid’ah amalan-amalan tariqat, amalan wirid dan selawat yang dilakukan oleh golongan sufi. Dalam akidah, mereka membid’ahkan ajaran tauhid berdasarkan sifat yang kesemuanya dipelopori oleh ulama-ulama berwibawa dalam aliran Ahl Sunnah wa al-Jama’ah.
Contoh lain perbedaan pemahaman aliran Wahabi ialah pendekatan mereka dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an seperti ayat berkaitan ‘tangan dan wajah Allah’, istiwa’ dan lain-lain. Dengan mengisbatkan secara literal ayat-ayat ini dan menolak sama sekali pendekatan ta’wil yang juga salah satu pendekatan yang diambil oleh ulama salaf dan khalaf, ia membawa kepada kecenderungan tajsim (kefahaman Allah berjism) dan tashbih (kefahaman Allah menyamai makhluk) terutama kepada mereka yang berfahaman simplistik berkaitan isu tersebut.
Banyak ulama-ulama yang telah mengkritik dan menghujah aliran Wahabi termasuk saudara kandung Sheikh Muhammad Abdul Wahhab sendiri iaitu Sheikh Sulayman Abd Wahhab dalam kitabnya bertajuk al-Sawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah. Antara ulama-ulama lain ialah Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan (m.1886) Mufti Mekkah dan Shaykh al-Islam dalam kitabnya al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah dan Dr. Sa’id Ramadhan al-Buti dalam karyanya al-Salafiyyatun Marhalatun Zamaniyyatun Mubarakatun la Mazhabun Islamiyyun.
Ulama-ulama Malaysia jelas mengambil pendirian sejak beratus tahun lalu bahawa aliran yang harus diikuti ialah mazhab Shafi’i dan dalam akidah aliran Ash’ari dan Maturidi dan ianya telah menghasilkan perpaduan yang utuh di kalangan umat Islam, baik dalam ibadah, muamalah dan lain-lain sehingga memberi ketenangan dan keharmonian dalam masyarakat dan negara, maka aliran Wahabi adalah tidak sesuai dalam konteks kefahaman dan amalan agama di Malaysia.
Manakala mereka yang berzikir secara sendiri-sendiri selepas solat tidak bisa dikatakan mereka dari aliran Wahabi. Namun jika mereka membid’ahkan orang yang berzikir secara berjamaah selepas sholat berkemungkinan besar ia dari golongan Wahabi.
Wassalam

Tuesday, 25 August 2015

HABAIB, PENDAKWAH ISLAM AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH DI NUSANTARA

Habib Ali Bin Husein Al Attas ( Habib Ali Bungur ) 

Oleh : Dr Nik Roskiman
Para “Habaib” (seorang: Habib) atau “Sayyid” atau “Syed” merupakan gelaran yang dinisbahkan kepada keturunan Baginda SAW (Ahlul Bait). Mereka ini amat teliti dalam menjaga silsilah nasab keturunan. Ada yang menyimpan silsilah mereka masih dalam bentuk asal kulit-kulit unta dll. Guru kami YM Tan Sri Prof.Dr.Syed Muhammad Naquib al-Attas (hafizahullah) menyimpan silsilah keturunan beliau hingga ke Junjungan Mulia SAW. Begitu juga dengan Habib Ali Zainal Abidin bin Abu Bakar al-Hamid.
Kemuliaan Ahlul Bait tidak perlu diulas panjang memadai dinyatakan bahawa mendoakan kepada mereka (aali Muhammad) dimasukkan dalam bacaan Tahiyyat Akhir solat kita. Itulah kemuliaan mereka hingga hari kiamat. Mungkin ada segelintir di kalangan mereka yang tersasar menjadi Syiah dan sebagainya, namun itu bukanlah hujah untuk menuduh kononnya dengan memuliakan para Habaib “selangkah menjadi Syiah” kerana manhaj Ahlul Sunnah wal Jamaah turut memuliakan para Ahlul Bait, namun tidaklah sampai sepertimana kemuliaan melampau yang ditunjukkan oleh puak Syiah.
Bagi mereka yang mengkaji sejarah Nusantara Melayu ini pasti akan merasa terhutang budi kepada para Habaib kerana asbab merekalah risalah Islam tersebar hingga ke Nusantara ini. Nama-nama seperti Sheikh Abdullah Arif, Sheikh Burhanudin, keluarga Ahmad bin Isa al-Muhajir dll dari Hadramawt merupakan nama-nama yang banyak berjasa membawa Islam ke Alam Melayu ini. Bacalah monograf “Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago” atau “Historical Fact and Fiction” oleh YM Prof. Naquib al-Attas yang telah menekuni manuskrip-manuskrip awal kedatangan Islam ke Alam Melayu untuk memahami bagaimana proses Islamisasi di Nusantara Melayu ini bermula oleh para Habaib Hadhrami.
Pada ketika para Habaib datang ke Nusantara Melayu ini seawal kurun ke 10Hijrah/16Masehi, penduduk di nusantara ini sebahagiannya beragama Hindu, ada juga Buddha dan Animisme. Bayangkan apa agama kita hari ini tanpa kehadiran mereka? Sungguh amat kita terhutang budi kepada mereka yang merantau jauh membawa Islam. Mereka bukan pedagang biasa sepertimana yang sebahagian kita sering disogokkan, tetapi Prof. Naquib mengatakan mereka adalah “para daie yang mempunyai misi” menyebarkan dakwah Islam ke seluruh alam. Dan itulah juga peranan Habaib hingga ke hari ini — Dakwah!
Ribuan yang telah memeluk Islam di tangan Habib Umar bin Hafiz, Habib Ali al-Jifri dan para Habaib yang lain.
Sungguh amat celupar dan biadap golongan yang mentohmah keturunan Habaib dengan pelbagai tohmahan hanya kerana ada segelintir daripada mereka yang menyeleweng atau mengikuti Syiah.
Moga-moga Allah SWT menempatkan kita bersama Baginda SAW dan para Ahlul Baitnya dalam Syurga Firdausnya.
((المرء مع من أحب))

Monday, 24 August 2015

JANGAN PERNAH MENINGGALKAN ULAMA

KH. Saifuddin Amsir

PONDOK HABIB: Bila ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama….
Sejarah pernah mencatat munculnya sejumlah ulama terkemuka asal Jakarta, atau Betawi dulunya. Mulai dari kebesaran nama Syaikh Junaid Al-Batawi, dari sedikit tokoh ulama asal Indonesia yang berkesempatan mengajar di majelis ilmu terhormat di Masjidil Haram. Setelah itu, ketokohan Habib Utsman Bin Yahya, dengan pengaruh fatwanya yang sedemikian luas, terutama lewat seratus kitab lebih hasil karyanya, yang pengaruhnya terus terasa hingga hari ini. Juga kisah enam Tuan Guru (Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Manshur, Guru Majid, Guru Ramli, dan Guru Khalid) para jago ilmu tanah Betawi tempo dulu yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai keilmuan dari hampir setiap ulama Jakarta di kemudian hari. Hingga munculnya sosok ulama besar dari bilangan Kwitang yang menghabiskan usianya di jalan dakwah dan penyebaran ilmu-ilmu agama, yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, pendiri Islamic Centre of Indonesia.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan masih menebar hawa sejuk keshalihan di seluruh penjuru kota ini hingga sekarang tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bubungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta hampir tak pernah sepi melahirkan tokoh-tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syi’ar Islam di Nusantara.
Nama-nama ulama di atas tentunya hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya para ulama dan habaib Jakarta yang telah berhasil menorehkan tinta emas dakwah di masa lalu. Kemunculan para tokoh ulama itu dari waktu ke waktu, menjadi paku kota Jakarta, yang telah berperan sesuai tantangan di zamannya masing-masing. Kehadiran mereka adalah pertanda akan keberadaan gairah ilmu-ilmu agama yang cukup besar. Mereka sendiri besar lewat gairah keilmuan itu, di tengah-tengah kultur pendidikan agama kota Jakarta yang memang tidak banyak memunculkan pondok-pondok pesantren seperti di daerah-daerah lainnya.
Gairah keilmuan itulah yang pada saat ini harus digelorakan kembali keberadaannya. Pada sisi lain, pemandangan keberagamaan masyarakat kota Jakarta saat ini cenderung memberi ruang yang lebih pada mereka yang hanya pandai bermain kata di depan forum-forum diskusi atau di layar kaca. Sebuah pemandangan yang mengundang rasa keprihatinan di sementara pihak yang terus berharap agar gairah keilmuan yang pernah ada tidak lantas tergerus oleh kecenderungan itu.
Di antara mereka, K.H. Saifuddin Amsir, seorang ulama asli Betawi, termasuk yang sangat merasakan keprihatinan tersebut. Pada banyak kesempatan ia sering kali mengingatkan, bila umat Islam ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama, yang memiliki dasar ilmu yang dalam, dan mudah terpesona oleh retorika sejumlah tokoh dengan sederet titel akademis yang sesungguhnya rapuh dalam keilmuan.
Tak cukup menyimpan rasa prihatin yang mendalam dan berkepanjangan, saat ini ia juga tengah menggarap berdirinya sebuah institusi yang diharapkannya dapat menjadi salah satu pilar gerakan ilmiah dalam menjaga tradisi keilmuan para ulama, sebagai kelanjutan dari dua puluhan lebih majelis ilmu yang telah dirintisnya sejak masih usia belasan tahun.
Bukan dari Kalangan Pesantren
K.H. Saifuddin Amsir bukan putra seorang ulama, dan tidak dibesarkan di lingkungan pesantren. Ia, yang lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955, tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Bapak Amsir Naiman, “hanya” seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya, Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Ibu Nur’ain, juga “hanya” seorang ibu rumah tangga yang secara penuh mengabdikan diri untuk mengurus keluarga.
Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari sifat-sifat yang menjadi teladan bagi dirinya kelak di kemudian hari. Dengan keras sang ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri. Tidak ada kompromi bagi suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya. Bersama sembilan orang saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan shalat secara berjamaah.
Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat sedari kecil. Menyadari bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga ulama dan juga bukan dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya untuk berusaha mandiri dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia berusaha menutupi biaya kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu mendapat beasiswa dari pihak sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak maupun berguru pada ulama-ulama terkemuka di masa-masa mudanya, telah menjadikannya sebagai salah seorang ulama Jakarta yang cukup disegani saat ini.
Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak. Ia juga senang membaca berbagai macam bacaan sejak masih kecil. Sewaktu duduk di bangku tsanawiyah, ia mulai banyak berguru ke beberapa ulama di Jakarta.
Di antara ulama yang tercatat sebagai guru-gurunya adalah K.H. Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Kepada guru-gurunya tersebut, ia mempelajari berbagai cabang ilmu-ilmu keislaman. Pada saat menimba ilmu kepada Habib Abdullah Syami, di antara kitab yang ia khatamkan di hadapan gurunya itu adalah kitab Minhajuth Thalibin (karya Imam Nawawi) dan kitab Bughyatul Mustarsyidin (karya Habib Abdurrahman Al-Masyhur).
Di lain sisi, setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan mendapat gelar sarjana muda di sana. Kemudian ia merampungkan gelar sarjana lengkapnya di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atau Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta saat ini.
Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, ia tercatat sebagai lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Tahun 1982 ia mendaftarkan diri di Jurusan Akidah dan Filsafat IAIN saat jurusan itu baru dibuka oleh Rektor IAIN Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. dalam sebuah program pendidikan yang saat itu dinamakannya sebagai Program Doktoral.
Karena berbagai prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melewati tes masuk pada tahun itu. Dan setelah merampungkan masa kuliahnya, di waktu kelulusan lagi-lagi ia tercatat sebagai lulusan IAIN terbaik.
Tidak Berminat pada Gelar
Kiprah kiai yang akrab dipanggil Buya ini dimulai sejak ia masih kecil dengan mengajar ngaji dan menjadi qari’ di beberapa mushalla dan masjid di sekitar daerah tempat tinggalnya. Beranjak remaja, ia mulai dikenal sebagai seorang muballigh.
Pada mulanya, ia sendiri tidak terlalu berminat menjadi seorang penceramah. Ia lebih menyukai mengajar dan menjadi qari’. Karena desakan rekan-rekannya yang mengetahui potensi dirinya dalam berdakwah, ia pun mulai bersedia berdiri di atas mimbar-mimbar ceramah, di samping aktivitas mengajar di belasan majelis ta’lim rutin yang masih diasuhnya hingga saat ini.
Kiprahnya dalam bidang pendidikan formal dimulai saat ia menjadi guru di Yayasan Pendidikan Asy-Syafiiyyah, pimpinan K.H. Abdullah Syafi’i, tempat ia mulai menimba ilmu-ilmu secara lebih intensif. Selain menjadi guru sejak tahun 1976 di Asy-Syafi’iyyah, ia juga menjadi dosen pada universitas yang ada di yayasan tersebut. Pada tahun 1980, saat ia baru menginjak usia 25 tahun, ia dipercaya menjadi kepala sekolah Madrasah Aliyah (MA) Al-Ikhsan, Condet, Jakarta Timur.
Sejak tahun 1986 hingga sekarang, ia bertugas sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di almamater tempat ia sempat menimba ilmu selama beberapa tahun ini, kapasitas keilmuannya membuatnya pernah tercatat mengajar hingga 17 mata kuliah berbeda di sepuluh tahun pertama ia mengajar di sana. Saat itu sistem kepengajaran belum “setertib” sebagaimana sekarang, hingga ia pernah mengajar mata kuliah Ilmu Hadits, Tafsir, Manthiq, hingga mata kuliah Filsafat Barat.
Aktivitas akademisnya ini juga dilengkapi dengan tugas dari instansinya untuk membimbing para mahasiswa dalam melakukan dialog dengan tokoh-tokoh lintas agama dan aliran kepercayaan. Pada tahun 1990 ia mendapat tawaran dari Universitas Nasional untuk menggantikan posisi Dr. Nurcholis Madjid, yang saat itu sedang tidak ada di Indonesia, dalam menulis di jurnal filsafat berskala internasional. Karena beberapa pertimbangan, ia memilih untuk tidak mengambil tawaran itu.
Bila memperhatikan perjalanan hidupnya jauh sebelum ini, ternyata ia juga seorang yang memiliki kepedulian yang kuat dan visi yang jauh terhadap berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Di era tahun 1990-an, ia menjadi juru bicara Forum Silaturrahmi Ulama dan Habaib saat menuntut pembubaran SDSB sewaktu berdialog dengan para anggota DPR kala itu.
Saat tuntutan reformasi bergejolak kuat di tahun 1998, ia juga pernah didaulat untuk turut berorasi di kampus UI Depok mewakili komponen masyarakat dan ulama sehubungan dengan tertembak matinya beberapa mahasiswa Trisakti. Pada tahun yang sama, ia berada pada barisan terdepan sebagai deklarator yang menolak minat beberapa LSM untuk membentuk Kabinet Presidium, yang dianggapnya dapat menuntuhkan negara.
K.H. Saifuddin Amsir juga aktif sebagai narasumber pada banyak seminar dan diskusi ilmiah berskala nasional dan internasional, serta pada rubrik-rubrik keagamaan di stasiun-stasiun televisi, radio, dan media cetak. Selain di UIN, ia juga menerima amanah tugas yang tidak sedikit di beberapa institusi lainnya. Di antaranya, ia ditunjuk sebagai direktur Ma’had Al-Arba’in, staf ahli Rektor Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, dan menjadi anggota Dewan Pakar Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004, ia ditunjuk menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU.
Di sela-sela berbagai kesibukannya itu, saat ini ia juga masih tercatat sebagai ketua umum Masjid Jami’ Matraman. Namun, setelah sekian lama ia melazimi majelisnya para ulama besar Jakarta serta menggeluti kitab-kitab padat ilmu karya para ulama klasik dan kemudian ia bandingkan dengan kadar keilmuan yang ada di strata kesarjanaan selanjutnya, ia menjadi tidak tertarik untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah sejak lama ia tidak berminat pada atribut-atribut akademis dan gelar titel kesarjanaan yang menurutnya telah banyak dinodai oleh sementara orang yang menjadikan itu hanya sebagai aksesori penambah prestise atau bahkan menjadi komoditas pendukung untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi.
Pola pandangnya yang seperti ini membuatnya lebih menghargai khazanah ilmu yang beredar di majelis-majelis ilmu para ulama ketimbang menyisihkan waktu lagi untuk meraih gelar pascasarjana.
Ketokohan K.H. Saifuddin Amsir memang ketokohan yang berbasiskan keilmuan, bukan karena gelar yang disandangnya. Namanya semakin dikenal orang karena keluasan ilmunya yang diakui banyak pihak. Karakteknya yang low profile menjadi bukti bahwa popularitasnya saat ini tidak dibangun lewat sebuah proses karbitan yang direkayasa, tapi bentuk pengakuan publik yang mengapresiasi kedalaman ilmunya.
Betawi Corner
Di samping itu, ia juga merasa prihatin atas orientasi pemahaman keagamaan umat Islam zaman sekarang yang tak lagi menolehkan pandangan kepada khazanah ilmu peninggalan para ulamanya sendiri. Mereka kemudian lebih tertarik pada pembahasan-pembahasan Islam sekuler dan sebagainya, yang sebenarnya rapuh dasar keilmuannya.
Padahal dulu, para cendekiawan Prancis yang dikumpulkan oleh Napoleon Bonaparte untuk mempelajari kitab-kitab karya para ulama setelah ia merampasnya dari perpustakaan-perpustakaan muslimin saat itu, misalnya, sedemikian terkagum-kagum terhadap ilmu historiografi dalam tradisi keilmuan masyarakat muslim.
Saat menelaahnya, mereka terinspirasi dengan ilmu hadits dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang sangat memperhatikan sanad dan sedemikian ketat memperhatikan berbagai rujukan sebagai pertanda betapa masyarakat Islam sangat menghargai ilmu dan sejarahnya. Bukan cuma terinspirasi, bahkan mereka kemudian juga menjadikan karya-karya itu sebagai rujukan penting bagi mereka. Saat itu, dunia Barat merasa sangat berkepentingan untuk mempelajari khazanah ilmu kaum muslimin, yang di kemudian hari menjadi akar pencerahan bagi peradaban keilmuan mereka.
Dalam berbagai majelisnya, ia tak pernah bosan mengingatkan umat untuk memperhatikan masalah tersebut. Karena itu, dengan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari pihak Jakarta Islamic Centre, saat ini ia tengah merintis berdirinya suatu lembaga pengkajian yang memagari kemodernan cara berpikir dengan kemurnian ilmu agama yang jernih. Lembaga dengan karakteristik bernuansa Betawi itu ia namakan Betawi Corner.
Di samping sebagai tempat untuk mengkaji khazanah kebudayaan dan ilmu-ilmu keislaman dan meng-counter pemikiran-pemikiran dan pemahaman keagamaan yang destruktif, Betawi Corner juga dimaksudkannya sebagai tempat berdiskusi dan bermusyawarah bagi para ulama dan masyarakat Betawi.
Menjauhi Yang Syubhat
Di dalam keluarga, K.H. Saifuddin Amsir adalah sosok seorang ayah yang sederhana, demokratis, sabar, tapi tegas dalam hal mendidik anak. Ayah empat orang putri ini adalah seorang yang sangat mengutamakan keluarga dan sangat memperhatikan sisi pendidikan anak-anaknya. Ia menyadari, ilmu pengetahuan adalah warisan terbaik kepada anak-anaknya kelak.
Pendidikan dalam keluarganya dimulai dengan menerapkan aturan-aturan yang harus ditaati segenap anggota keluarga, dengan bersandar pada pola hidup yang diterapkan Rasullullah SAW. Pola hidup yang dimaksud adalah pola hidup sederhana dan menjauhi hal-hal yang syubhat.
Menurut Hj. Siti Mas’udah, istrinya, K.H. Saifuddin Amsir adalah ayah sekaligus guru dan sahabat bagi istri dan putri-putrinya. Ia senantiasa menekankan pentingnya agama dan ilmu kepada anak sejak mereka masih kecil. Shalat berjamaah adalah suatu keharusan dalam keluarga ini.
Dalam hal makanan, ia tidak memperkenankan anggota keluarganya mengonsumsi makanan-makanan yang belum terjamin kehalalannya, seperti makanan-makanan produk luar negeri. Sejak dari usia bayi, mereka juga sudah dijauhkan dari makanan-makanan yang belum terjamin kesehatannya, seperti makanan-makanan yang banyak menggunakan bahan pengawet, makanan siap saji, atau makanan yang menggunakan bahan-bahan penyedap.
Setali tiga uang, istrinya, yang akrab disapa Umi, juga tidak kurang perannya dalam membentuk citra kebersahajaan dan kemandirian dalam keluarga. Di samping menangani segala urusan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, bahkan menjahit, ia juga masih menyempatkan diri aktif pada bidang-bidang sosial keagamaan dan mengajar di sejumlah majelis ta’lim.
Dengan menerapkan pola pembinaan dan pendidikan keluarga yang demikian, ia telah berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai insan-insan pecinta ilmu agama dan pengetahuan. Banyak sudah yang telah diraih keempat putrinya itu. Mengikuti jejak sang ayah, mereka selalu mendapatkan beasiswa dan menjadi lulusan terbaik di almamaternya. Bahkan si bungsu, Rabi’ah Al-Adawiyah, misalnya, sejak berusia 12 tahun sudah hafal tiga puluh juz Al-Quran dengan baik. IY
Sumber : pondokhabib.wordpress.com

Wednesday, 12 August 2015

SALAFI WAHABI ITU KOTORAN ONTA DIBELAH DUA

Mendikbud, menarik buku Pendidikan Agama yang Radikal


Dalam buku PAI tersebut memuat ajaran firqoh Wahabi Salafi yang membolehkan membunuh orang yang tidak sefaham seagama. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh penggagas firqoh Wahabi Salafi ini mengatakan dalam buku PAI tersebut bahwa orang-orang yang menyembah kepada selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.

"Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah Swt, dan orang yang menyembah selain Allah Swt, telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh," kata Pencetus Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam buku PAI sebagaiman dikutip dari situs Ngaji Yuk! (21/3/2015).

Ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menyebarkan firqah Wahhabiyyah atau yang sekarang para pengikutnya menyebut dirinya sebagai Salafi atau Pengikut Salaf (padahal bukan pengikut salaf) adalah salah satu ajaran baru yang menyimpang dan bukan termasuk bagian dari faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) yang dianut mayoritas umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia. Ciri khas ajaran Wahhabi Salafi diantaranya suka menuduh bi'ah, sesat, musyrik, dan kafir kepada umat Islam yang tidak sefaham dengan mereka dan biasanya selalu mengacu kepada tokoh-tokoh Wahabi seperti Ibnu Taimiyah, Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Bin Bazz, dan lain-lain, Para ulama ahlussunnah dengan tegas menolak ajaran faham Wahabi Salafi dan menyamakan faham Wahhabi Salafi ini dengan faham Syiah Rafidhah. Keduanya bagaikan kotoran onta dibelah dua sebagaimana pernah diungkapkan oleh Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam kitabyan "Tatsbiitul Fu-aad":

" بعرة مقسومة نصفين "

"Kotoran Unta yang dibelah dua", tulis Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad.

Menanggapi adanya buku PAI yang mengajarkan ajaran radikalisme wahabi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan langsung menginstruksikan jajarannya untuk menarik semua buku tersebut di seluruh Indonesia. Hal itu dilakukannya setelah ditemukan bahwa konten buku itu banyak yang tidak sesuai untuk anak-anak sebagai bahan ajar.

"Kami akan menarik buku-buku tersebut," tegas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, di Jakarta, kemarin (20/3/2015).

Anies mengatakan isi buku itu menyimpang. Ada yang mengajarkan untuk membunuh orang non-muslim karena dianggap musyrik, ada pula yang menceritakan aktivitas romantis. "Saya saja sampai kaget setelah membaca bukunya," katanya. 

Mantan Rektor Universitas Paramadina ini mengaku heran mengapa bisa buku dengan isi seperti itu bisa lolos dan diperbolehkan beredar sampai di tangan siswa. "Ajaran ini sangat berbahaya untuk Indonesia," lanjut Anies.

Anies mengatakan sudah mencoret beberapa halaman buku tak patut tersebut. Dia juga sudah menandakan halaman dan bagian yang dianggapnya tidak pantas untuk dikaji lebih jauh. Hingga saat ini, Kementerian hanya menarik buku itu dari peredaran dan belum memberikan sanksi kepada penulis buku tersebut. "Saat ini kita tarik dulu bukunya, baru setelah itu kita bicara sanksi lebih jauh," ungkap Anies.

Penggagas Program Indonesia Mengajar itu menambahkan, pihaknya akan mengawasi langsung permasalahan tersebut. Bahkan kemungkinan besar, penulis buku tersebut akan dikenakan sanksi.

"Kami meninjau buku ini. Bayangkan jika digunakan di seluruh sekolah, bisa-bisa anak membunuh orang yang berlainan agama dengan dia," terangnya.

Sumber: Okezone/ Tempo.

Sunday, 2 August 2015

MUKTAMAR NU KE-33 : ISLAM NUSANTARA, SEMANGAT ISLAM DUNIA


Ketum PBNU KH. Said Agil Siradj

Islamnusantara.com, JOMBANG 
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj dalam pidato pembuka Muktamar ke-33 NU, Sabtu, (1/8/2015) mengemukakan setidaknya empat semangat yang selama ini dipegang NU dalam melestarikan Islam Nusantara dan juga menjadi semangat Islam dunia.
Empat hal itu, menurutnya yang selama ini depegang dan diwariskan oleh Wali Songo dan para ulama. 
Pertama, adalah ruuhuddin atau semangat keagamaan. Dalam hal ini, Kiai Said begitu beliau biasa disapa menggaris bawahi bahwa penekanan dalam semangat beragama bukan berarti mengkonstitusikan agama menjadi dasar negara atau melegal formalkan agama. Semangat keagamaan yang sesungguhnya adalah terletak pada akhlak. ìInnama buistu liutammima makarimal akhlaq, tegas guru besar ilmu tasawuf UIN Sunan Ampel ini.
Lanjutnya, agama tanpa akhlak bukanlah prinsip beragama yang sesungguhnya. Ia mencontohkan keindahan akhlak yang selama ini ditunjukkan para ulama Nusantara yaitu almarhum Kiai Bisri Syamsuri yang dikenal tegas dalam berfikih sekaligus lentur dalam menyikapi segala problematika bangsa.
Semangat kedua yang perlu dilestarikan adalah semangat nasionalisme. Kali ini contoh yang diangkat adalah sikap dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy·ri pendiri Nahdlatul Ulama yang berpesan kepada anaknya Kiai Wahid Hasyim agar tidak mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme. Karena menurut Kiai Hasyim, dua khazanah itu saling melengkapi. Islam menjadi kuat di suatu kawasan karena ada semangat kebangsaan yang menyala di dada dan bangsa ini bisa menjadi kokoh karena diisi dengan nilai-nilai Islam, jelas Kiai Said di hadapan ribuan muktamirin yang hadir.
Untuk itu dari semangat kebangsaan ini, Kiai Said menegaskan wajib bagi kita untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Baik secara geografis maupun teritorial, serta menjaga kemandirian politik, hukum, ekonomi dan budayaî tandas Kiai Said.
Ruuhud ta·ddudiyah atau semangat kebhinekaan ini adalah bagian ketiga dari semangat melestarikan Islam Nusantara yang harus dijaga. Dalam kaca mata Kiai Said, kebhinekaan merupakan fitrah yang dimiliki oleh bangsa ini dan tidak ada negara lain di dunia ini yang memiliki kekayaan budaya dan begitu banyak suku, budaya, dan adat istiadat.
Di atas sajadah Nusantara inilah kita belajar memahami firman Allah walau sya·llahu lajaaílakum ummatawwahidatan,î kata kiai kelahiran Cirebon 3 Juli 1953 ini.
Firman itu memiliki makna bahwa sesungguhnya Allah bisa saja menjadikan manusia itu hanya terdiri dari satu bangsa namun kenyataannya Allah menghendaki adanya keragaman bangsa untuk menegakkan prinsip litaaírofu atau prinsip saling mengenal di antara manusia.
Terakhir, semangat yang harus dijaga adalah ruuhul insaniyah atau semangat kemanusiaan. Dengan semangat ini menurut Kiai Said, dunia tanpa peperangan dan tanpa senjata pemusnah massal bukan hanya akan menjadi angan-angan belaka. ìKetika terjadi konflik yang dikedepankan adalah musyawarah dan diselesaikan dengan jalan perundingan bukan dengan senjata, dam atau pentunganî terang Kiai Said.
Itulah semangat-semangat yang harus dijaga dengan semangat itu nantinya akan terwujud Nusantara yang damai tanpa peperangan dengan tetap teguh menjaga prinsip Islam sebagai semangat kebangsaan. ( ISNU/MuktamarNU)