KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday, 28 January 2015

NU BEKASI M.Supriyanto : WALI WANITA RABIAH ADAWIYAH, PUNYA BANYAK TEMAN JIN


BRIBDA AMALIA ULFAH Binti M. SUPRIYANTO

Ketika suami rabi’ah Adawiyah mati, beberapa waktu kemudian Hasan Al Basri dan kawan kawannya datang menghadap Rabi’ah. Mereka meminta izin di perkenankan masuk, mereka di perkenankan masuk. Rabi’ah segera mengenakan cadarnya, dan mengambil tempat duduk di balik tabir.
Hasan AlBasri mewakili kawan kawannya mengutarakan maksud kedatangannya. Ia berkata : ”Suamimu telah tiada, sekarang Kau sendirian. Kalau kmu menghendaki silahkan memilih salah seorang dari kami. Mereka ini orang orang yang ahli zuhud”.Jawab Rabi’ah Adawiyah: ”ya, aku suka saja mendapat kemuliaan ini. Namun aku hendak menguji kalian, siapa yang paling ‘alim (pandai) diantara kalian itulah yang menjadi suamiku”.
Hasan Al Basri dan kawan kawannya menyanggupi. Kemudian Rabi’ah Adawiyah bertanya: ”Jawablah empat pertanyaanku ini kalau bisa aku siap di peristri oleh kamu”.

Hasan Al Basri berkata : ”Silahkan bertanya, kalau Allah memberi pertolongan aku mampu menjawab tentu aku jawab”.

“Bagaimana pendapatmu kalau aku mati kelak, kematianku dalam muslim (husnul khatimah) atau dalam keadaan kafir(suul khatimah)”. kata Rabi’ah bertanya.

Jawab Hasan Al basri : ”Yang kau tanyakan itu hal yang ghaib, mana aku tahu. . ”

“Bagaimana pendapatmu, kalau nanti aku sudah di masukkan kedalam kubur dan mungkar-nakir bertanya kepadaku, apakah aku sanggup menjawab atau tidak. . ”

“Itu persoalan ghaib lagi”. Jawab Hasan Al Basri.

Kalau seluruh manusia di giring di MAUQIF (padang mahsyar) pada hari kiamat kelak, dan buku buku catatan amal yang dilakukan oleh malaikat HAFAZHAH beterbangan dari tempat penyimpanannya di bawah ‘arsy. Kemudian buku buku catatan itu di berikan kepada pemiliknya. Sebagian ada yang melalui tangan kanan saat menerima dan sebagian lagi ada yang lewat tangan kiri dalam menerimanya. Apakah aku termasuk orang yang menerimanya dengan tangan kanan atau tangan kiri. . ?, tanya Rabi’ah.

“Lagi lagi yang kau tanyakan hal yang ghaib”, jawab Hasan Al Basri.

Tanya Rabi’ah sekali lagi: Manakala pada hari kiamat terdengar pengumuman bahwa, sebagian manusia masuk surga dan sebagian yang lain masuk neraka, apakah aku termasuk ahli syurga atau ahli neraka. . ?

“Pertanyaanmu yang ini juga termasuk persoalan yang ghaib”, jawab Hasan Al basri.

Rabi’ah berkata : Bagaimana orang yang mempunyai perhatian kuat terhadap empat persoalan itu masih sempat memikirkan nikah. . ?

Coba perhatikanlah kisah dialog tersebut. Betapa besar perasaan takut Rabi’ah Adawiyah terhadap persoalan itu. Kendati ia seorang sholehah. namun masih diikuti perasaan takut yang luar biasa jika akhir hayatnya tidak baik.

Diceritakan bahwa, Rabi’ah Adawiyah itu mempunyai tingkah laku yang berubah ubah. Suatu ketika perasaan cintanya kepada Allah begitu berat, hingga ia tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Diwaktu lain ia kelihatan tenang nampak seperti tidak ada masalah, dan lain waktu ia kelihatan sangat takut dan cemas.

Suaminya menceritakan, suatu hari aku duduk sambil menikmati makanan. Sementara ia duduk di sampingku dalam keadaan termenung lantaran di hantui peristiwa kiamat. Aku berkata :”Biarkan aku sendirian menikmati makanan ini”.

Ia menjawab aku dan dirimu itu bukanlah termasuk orang yang dibuat susah dalam menyantap makanan, lantaran mengingat akhirat”. Lebih lanjut Ia berkata: ”Demi Allah, sesungguhnya bukanlah aku mencintaimu seperti kecintaannya orang yang bersuami istri pada umumnya. hanyalah kecintaanku padamu sebagaimana kecintaan orang yang bersahabat”.

Kalau Rabi’ah Adawiyah memasak makanan, Ia berkata: ”Majikanku, makanlah masakan itu. Karena tidak patut bagi badanku kecuali membaca tasbih saja”. (yang di maksud majikan adalah suami dari Rabi’ah Adawiyah sendiri).

Hingga suatu hari Rabi’ah berkata pada suaminya: ”Tinggalkan diriku, silahkan kamu menikah lagi”. Hal itu dikatakan ketika suaminya masih hidup. Maka Aku (suaminya) pun menikah lagi dengan tiga orang perempuan. Saat itu Rabi’ah masih setia melayani keperluan suaminya, termasuk memasakkan makanan. Suatu hari Rabi’ah Adawiyah memasakkan daging untuk suaminya, Ia berkata: ”Tinggalkanlah diriku dengan membawa kekuatan yang baru menuju istri-istrimu yang lain”.

Dikisahkan bahwa Rabi’ah Adawiyah juga mempunyai sahabat sahabat yang lain dari bangsa jin, yang sanggup mendatangkan apa saja yang di kehendakinya. Wali perempuan ini dalam kehidupannya dikenal pula mempunyai berbagai kekeramatan hingga wafatnya. Di antara kekeramatannya adalah bahwa pada suatu malam ada pencuri masuk menjarahi isi rumahnya. Ia sendiri masih terlelap tidur.

Ketika pencuri itu hendak keluar dengan menjinjing barang-barang yang telah di kemasi, mendadak pintu rumahnya hilang semua. Pencuri itu lalu duduk disamping pintu yang di pandang semula belum lenyap. Tiba tiba saat itu terdengar suara halus menyapanya:”Letakkan barang -barang yanga kau kemasi. Keluarlah dari pintu ini”.

Ia pun segera meletakkan barang-barang yang telah dikemasi. Mendadak pintu itu kelihatan lagi. Begitu ia melihat pintu maka ia segera menyambar lagi barang-barang hasil curian tadi. Tiba-tiba pintu itu hilang lagi seketika ia letakkan lagi barang hasil jarahannya. Pintu kelihatan lagi. Ia mengambil kembali barang haasil jarahannya. Pintu hilang lagi. Dan begitu seterusnya.

Tiba-tiba terdengar lagi suara lembut menyapa :”Kalau Rabi’ah adawiyah tertidur, Tetapi Allah tidak tertidur dan tidak pula terserang rasa kantuk”, maka ia pun sadar. barang barang yang di kemasinya pun Ia tinggalkan, lalu ia pun keluar melalui pintu tadi.

Sumber : Kisah Wali Allah Rabiah Adawiyah

Sunday, 25 January 2015

MASJID AT-TAQWA RAWALUMBU BEKASI : CARA MENGENAL TUHAN


"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kalian yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kalian, dan mengajarkan kepada kalian kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang kalian belum ketahui". 
(QS al-Baqarah [2] 151).

Dalam ontologi keilmuan Islam, ilmu dan makrifat mempunyai persamaan dan perbedaan. Persama-annya, keduanya sama-sama sebagai pengetahuan yang diperlukan manusia guna memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan. Perbedaannya, dari segi ontologi, ilmu adalah pengetahuan yang berada dalam lingkup dan domain manusia tanpa harus melibatkan unsur-unsur asing dari luar diri manusia. Logika manusia cukup untuk memahami objek ilmu.

Sedangkan makrifat adalah pengetahuan yang secara umum berada di luar lingkup dan domain manusia. Keberadaannya ditentukan kemampuan manusia mengakses unsur-unsur luar dirinya, dalam hal ini Tuhan. Secara epis-timologis, ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui hasil olah nalar dan logika manusia. Sementara itu, makrifat adalah pengetahuan yang diperoleh melalui hasil olah batin dan spiritual manusia.
Orang yang mengusai ilmu disebut alim dan orang yang menguasai makrifat disebut arif. Hanya sedikit menjadi rancu ketika kata "tim dam marifah diindonesiakan menjadi ilmu dan makrifat. Ini sudah mengalami reduksi dan penyederhanaan makna. Secara aksiologis, ilmu bertujuan memberi kejelasan dan kemudahan manusia di dalam menjalani kehidupannya.

Makrifat, lebih berusaha untuk memberikan kepuasan intelektual dan spiritual yang pada akhirnya akan menghadirkan rasa tenang dan damai secara konstruktif ke dalam diri manusia. Metodologi keilmuan umumnya berangkat dari sikap keraguan terhadap satu fenomena atau informasi.

Dari sikap ini, lahirlah upaya untuk memahami dan mendalami dalam bentuk studi yang melibatkan parameter keilmuan logika. Seperti melakukan observasi atau survei dan penelitian mendalam lainnya sebagai pengujian kembali terhadap konsep dan teori yang dihasilkan oleh parameter tersebut.

Setelah itu harus ada keberanian intelektual si penelitinya untuk memublikasikan kesimpulan hasil-hasil studinya secara terbuka kepada publik. Sepanjang belum ada yang keberatan dan menolak (tentu saja setelah melalui studi yang selevel), sepan-jang itu pula diakui sebagai sebuah kebenaran yang dapat diyakini.

Jika ternyata di kemudian hari ada yang mematahkan logika dan temuan itu, bisa menjadi tanda berakhirnya konsep dan teori itu. Metodologi kemakrifatan sama sekali berbeda (untuk tidak mengatakan bertolak belakang) dengan metodologi keilmuan. Sebab, umumnya metode ini berangkat dari rasa dan sikap yakin terhadap suatu objek yang mengandung misteri.

Berangkat dari keyakinan itu, tugas pertama yang harus dilakukan guru atau mursyid adalah melakukan proses pembersihan diri para murid dari berbagai keraguan. Proses ini biasa disebut pembersihan jiwa (tadzkiyah al-nafs) atau penghalusan kalbu (tahdzib al-qulub). Proses ini digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 151 di atas.
Itu menjelaskan bahwa sebelum dilakukan proses pendidikan dan pengajaran atau taklim, terlebih dahulu dilakukan proses pembersihan diri. Selain ayat tersebut, masih banyak lagi ayat dan hadis, serta perkataan sahabat yang mengisyaratkan metode mendapatkan makrifat. Kisah antara Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. di dalam surah al-Kahfi juga relevan dengan pembahasan ini.

Bagaimana Nabi Musa as. yang dikenal sebagai nabi ulul azmi masih harus belajar kepada hamba Tuhan yang tidak populer di dunia publik. Persyaratan menjadi murid juga lebih unik dibanding dengan metode keilmuan biasa, yaitu, "...Janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku menerangkan kepadamu." (QS al-Kahfi [18] 70).

Lebih unik lagi, sang guru mencontohkan sesuatu yang sama sekali di luar kemampuan logika untuk memahaminya, yaitu membocorkan perahu-perahu nelayan, membunuh anak kecil tak berdosa, dan memugar reruntuhan bangunan tua. Namun, ending dari cerita ini ialah Nabi Musa mendapatkan kearifan bahwa di atas langit masih ada langit. Ilmu Tuhan itu mahaluas.

Dari situ, kita pun mendapatkan hikmah bahwa manusia utama dan pilihan Tuhan tidak mesti harus populer, bahkan tidak mesti menjadi nabi. Rasulullah memberikan contoh bagaimana mempelajari makrifat dengan mengedepankan keikhlasan dan kedekatan diri terus-menerus kepada Allah SWT. Sahabatnya juga demikian.

Sayydina Ali in Abi Thalib karamallohuwajha pernah membuat pernyataan "Barang siapa mengajariku satu huruf, aku rela menjadi budaknya". Generasi berikutnya, seperti Imam Bukhari, setiap kali akan menerima sebuah hadis terlebih dahulu ia shalat dua rakaat. Kitab Al-Talim wal Mu-taallim, yang mengajarkan sopan santun guru dan murid, masih dipegang teguh di sejumlah besar pondok pesantren.

Dalam tradisi intelektual Islam, tidak tampak perbedaan tajam antara metode memperoleh ih iu dan makrifat, bahkan keduanya sering digunakan bergantian {inter-changable). Dalam tradisi pondok pesantren, cara memperoleh ilmu masih tetap dominan mengakomodasi metodologi makrifat yang menuntut kepasrahan dan ketawadhuan santri kepada kiai atau gurunya.

Oleh karena itu, mungkin ilmuan pesantren menganggap pola pembidangan ilmu dan makrifat di atas dianggap terlalu ske-matis. Namun, pembahasan ini sekaligus juga untuk memberi masukan terhadap dunia pendidikan kita yang kini sedang disorot banyak kalangan. Ternyata tingginya ilmu pengetahuan yang dicapai seseorang tidak berbanding lurus dengan akhlaknya.

Sudah tentu, di situ ada yang salah. Setidaknya, mata rantai penyucian diri (tadzkiyah) sudah banyak ditinggalkan dan tidak lagi menjadi faktor dalam dunia pendidikankita. Umumnya, kita loncat ke proses pembelajaran (taklim). Padahal, Alquran mengingatkan kita perlunya mendahulukan tadzkiyah sebelum taklim.
Bahkan, salah satu ayat yang sering dipasang di punggung Alquran, "La yamassuhu illal muthahharun." (Tidak ada yang menyentuhnya [Alquran], selain hamba-hamba yang disucikan). (QS al-Hadid [57] 79). Di sisi lain, pengetahuan makrifat itu sendiri bertingkat-tingkat. Dimulai dari yang paling sederhana, yaitu mengenal makhluk-makhluk fisik Allah SWT.

Dari sini, ilmu menjadi bagian dari makrifat. Pengetahuan makrifat juga mencakup upaya mengenal makhluk-makhluk metafisik-spiritual, dan pada puncaknya mengenal Sang Pencipta dalam hubungannya dengan makhluknya. Tentu saja  dari setiap jenjang makrifat itu membutuhkan metodologinya sendiri.
Guru atau mursyid juga bertingkat-tingkat, mulai dari mursyid biasa hingga wali, bahkan Nabi Muhammad secara langsung. Tidak masalah, apakah orang itu masih hidup atau sudah tiada. Faktanya, banyak sekali di antara para arifin, gurunya adalah orang yang sudah di alam lain . Tidak heran kalau di antara mereka ada yang mengatakan "Alangkah miskinnya seorang murid jika para gurunya hanya orang-orang hidup".



Sumber: Republika

Read more: 
http://www.dokumenpemudatqn.com