KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Monday 30 September 2013

NU JELAS, MENOLAK SALAFI WAHABI





Jakarta, NU Online

NU berkomitmen menjadi penguat NKRI. Nilai-nilai Islam yang dikembangkan NU dekat dengan nilai keindonesiaan yang ramah dan toleran. Terkait dengan paham luar semisal Wahabi, NU mengambil garis tegas menolaknya.
Demikian ditegaskankan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj dalam diskusi Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU di Tebet, Jakarta, Senin (30/9)

Kang Said, sapaan akrabnya, menjelaskan, tak hanya Wahabi, terhadap gerakan Islam lain semisal MTA (Majelis Tafsir Al-Qurían) dan kelompok sejenis yang mudah memvonis salah dan sesat kelompok Islam lainnya, sikap NU tetap sama, yakni menolak tegas ide tersebut.
Menurut dia, kelompok semacam ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaíah (Aswaja) yang bersumber pada ajaran dan teladan Nabi Muhammad SAW. Bagi NU, wahabi itu hanya sampai pada peringkat ahlussunnah (pengikut sunnah) saja, tetapi tidak wal jamaah (pengikut sahabat dan ulama penerusnya), terang Kang Said.

Dinilai tidak wal Jamaah karena Wahabi dan kelompok eksklusif sejenis mudah memvonis kafir sejumlah kelompok tak sepaham, termasuk para ulama besar, seperti Imam al-Ghazali, Abu Hasan Al-Asyíari, Abdul Qadir al-Jailani, hingga beberapa ulama Al-Azhar.
NU mesti hati-hati. Kalau mereka besar dan kuat, sehingga berkuasa secara politik, maka wajah intoleran dan anarkis mereka semakin nampak, tegas Kang Said.

Di akhir sesi, Kang Said berharap Lakpesdam NU bekerja penuh menyikapi kondisi ini dengan berbagai upaya menyebarkan ide-ide NU yang khas Indonesia, berwajah ramah dan toleran. 


(Imam Ma’ruf/Mahbib)

Friday 27 September 2013

ISLAM CUMA DONGENG

Habib Lutfi Bin Hasyim Bin Yahya : 

"Orang (umat agama) lain punya bukti sejarah. Dimana itu kelahiran Tri Murti bisa tunjukkan candinya, itu bagi orang hindu. Yang orang Budha menunjukkan candinya peninggalannya; ..Ini lho peninggalan Buddha Gautama.Yang Orang Kristen bisa tunjukkan; ini lho tiang salibnya, beliau disalib di sini dan ini kain kafannya... dan ini tempat kelahiran beliau Isa ibnu Maryam.Tapi ketika kita ditanya sebagai orang muslim dimana bukti kelahiran Baginda Nabi SAW. Tidak ada buktinya.  Sadar Kita sud ah... kalau bukti sejarah ini sudah di potong habis.., bisa dianggap cerita (sejarah Nabi Muhammad) itu cuma dongeng. 

Thursday 19 September 2013

TERNYATA, AMALAN MUHAMMADIYAH SAMA DENGAN NU




Muslimedianews ~ Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu berjudul ìSejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyyah.

Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asyíari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ëAinul Yaqin (Sunan Giri).

Berikut kami kutip kembali ringkasan ìKitab Fiqih Muhammadiyyahî, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: Ushalli Fardha... (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...   (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: 'Bismillahirrahmanirrahim' (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: Sayyidina, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jumíat juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi'i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asyíari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asyíari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy'ari dengan panggilan Adik Hasyim. Sementara Hasyim Asy'ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan 'Mas atau Kang Darwisî.

Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi'i dan Asyíariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyíari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asyíari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafiíi dan berakidahkan Asyíari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijmaí (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyíari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi'i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.

Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda? Alasan mereka adalah karena Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah.

Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama sebagai amalan bidíah, musyrik dan sesat?. 

Penulis : Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 16 September 2013

Wednesday 18 September 2013

MEKAHNYA PENGAMAL THAREKAT QODARIYAH WA NAQSABANDIYAH


Gambar: Syeik Hisyamuddin Al-Jaelani memberikan Kain Kiswah
penutup Makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani qs.kepada PP.Suryalaya
yang diwakili oleh Pangersa Ummi untuk menerimanya dan segenap keluarga Pangersa Abah Anom ra.




Salah satu karomah Abah yang tidak terduga ialah Pondok Pesantren Suryalaya telah 

menjadi semacam 'Mekah' bagi seluruh penganut Thoriqah Qodiriyah sedunia. Seolah-olah 

tidak sempurna amalan seseorang pengamal thoriqah Qodiriyah ketika ini jika dia mampu 

untuk menziarahi Pondok Pesantren Suryalaya tetapi tidak menziarahinya.

Sheikh Hasyimuddin Al-Geylani ( adik Sheikh Afeefuddin Al-Geylani ) ketika menziarahi Pondok Pesantren Suryalaya pada 12 Okt 2012. Beliau mengunjungi Suryalaya bukan atas undangan dan tidak diketahui maksudnya kesana, tetapi yang jelas beliau yang bertugas sebagai penjaga Maqam Sultanul Auliya di Baghdad, Iraq , juga sebagai mursyid Thoriqah Qodiriyah berkata kepada pengemban Amanah Pondok Pesantren Suryalaya- Kiyai Zainal Abidin : Tempat ini sudah menjadi 'Mekah' bagi seluruh pengamal Qodiriyah seluruh dunia'. Wal Allahu a'lam. 

Sheikh Hasyimuddin datang ke Suryalaya bersama Hj Dahlan Iskan yang menjawat sebagai Menteri BUMN.(Untuk foto-foto kunjungan beliau berdua ke Suryalaya anda dapat melihatnya disini )

Rupa-rupanya hakikat perjalanan hidup Abah Anom benar-benar seperti Rasulullah s.a.w bukan sahaja dari sudut akhlak sahaja tetapi perjalanan hidup , pergolakkan cabarannya (tantangannya), zaman yang di hadapi, perjuangan dan hasil perjuangan semuanya hampir sama. 

Bermula dengan namanya Ahmad di mana bapanya Abdullah, zaman era ' Mekah yang banyak hadapi tantangan kaum Quraish Jahiliyah' sama dengan era Godebag yang banyak hadapi gerombolan komunis cara gerila, zaman itu Baginda s.a.w dapat kesejukan bersama isteri tercinta iaitu Siti Khadijah r.a dan Abah juga teraman bersama isterinya Ibu Uwis almarhumah.

Kemudian perjuangan makin tertingkat dengan era baru era Madinah bersama Siti Aisyah yang bistari, begitu juga apabila era Godebag berlalu dengan kewafatan Ibu Uwis nama Suryalaya menjulang, Abah mula bernikah dengan Ummi dan banyak bersama Ummi yang sangat cekap. 

Apabila Baginda wafat di Madinah, Baginda meninggalkan untuk kita ajaran,†sahabat terdekat,para ulama sebagai pakar rujuk dalam agama serta Siti Aisyahdi mana Baginda pernah bersabda : 'Ambilllah ajaran agamamu dari Aisyah ini ', begitu pula apabila Abah wafat di Suryalaya beliau meninggalkan untuk kitaamalan,para wakil talqin, 1000 lebih para kiyai dan para mubaligh TQNdan jugaUmmisebagai rujukan terkuat dalam apa sahaja urusan TQN...masya Allah...ini belum lagi menyenaraikan peristiwa peristiwa yang berlaku pada zaman Nabi,..yang juga berlaku dengan kejadian yang hampir sama pada zaman Abah...satu kebetulan yang teratur ? atau penunjukkan dari yang Maha Mengatur ?

Wss : Pemuda Suryalaya





















CARA "SALAFI WAHAB"I MENGHANCURKAN BANGSA DAN NEGARA





Muslimedianews ~ Habib Luthfi bin Yahya (@HabibluthfiYahy) dalam kultweet-nya mengatakan bahwa penghancuran situs-situs sejarah adalah sebagai bentuk penghancuran sebuah bangsa dan agama. Sebab situs-situs yang ada sejatinya merupakan bagian dari fakta sejarah. Maka jika dihancurkan, fakta sejarah akan dianggap fiksi, legenda dan mitor belaka. Berikut tweet-nya:

1. Cara menghancurkan sebuah bangsa, atau agama adalah dengan menjauhkan sejarah dari bangsa dan pemeluk agama tersebut.

2. Semua penganut agama langit maupun agama bumi, bisa berbangga dengan agama mereka, sebab situs-situs sejarah mereka terjaga dengan baik.

3. Orang Yahudi, Kristen bisa menunjukan dengan tepat dimana lokasi Nabi Musa .as dilahirkan, selama ribuan tahun terjaga dengan baik.

4. Pemeluk agama Budha, Hindu dapat menunjukan bukti-bukti puncak pencapaian agama mereka melalui Candi-candi mereka.

5. Aneh -karena alasan musyrik- , situs-situs yang menjadi bagian dari fakta sejarah agama Islam; tempat lahirnya Nabi dll dihancurkan

6. Karena alasan musyrik, situs sejarah dihancurkan. Jika dibiarkan, dimasa mendatang fakta sejarah dianggap fiksi, legenda atau mitos.

Redaktur : Ibnu Mansyur

SumberMMN: 
http://www.muslimedianews.com/2013/08/habib-luthfi-bin-yahya-cara.html#ixzz2fJJLyzZN

MENGHADIRKAN MURSYID DALAM BERZIKIR


Sesngguhnya menghadirkan (menyertakan) Syekh Mursyid dalam berzikir dan beribadat tidak hanya terdapat dalam Tarekatullah Qodiriyyah dan Naqsyabandiyah, tetapi juga terdapat pada seluruh lembaga tarekat-tarekat muktabarah.
Sabda Rasulullah saw :

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيْعٍِ أخْبَرَنَا أبِيْ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ سَالِمٍِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ أنَّهُ اِسْتَأ ْذَنَ النَّبِيَّ صلعم فِى الْعُمْرَةِ فَقَالَ أَيْ أُخَيَّ اَشْرِكْنَا فِى دُعَائِكَ وَلاَ تَنْسَنَا

Artinya : Menceritakan kepada kami Sofian bin Waki’, mengabarkan kepada kami Bapakku dari Sofian, dari `Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar bin Khattab, bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab pada waktu minta ljin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat Umrah, maka Nabi bersabda : “Wahai saudaraku Umar, ikut sertakan aku/hadirkan aku,pada waktu engkau berdo’a nanti, dan jangan engkau lupakan aku”. (Hadits ini adalah hadits Hasan Sahih). (HR. Abu Daud dan Turmuzi).

Demikian pula menurut riwayat Saidina Abu Bakar r.a. dan Saidina Ali r.a. menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa mereka tidak pernah lupa, tetapi selalu teringat kepada Rasulullah pada setiap melaksanakan ibadat bahkan sampai pada waktu di kamar kecil. Rasulullah membenarkan apa yang telah mereka alami itu.

Para pakar Tarekat Naqsyabandiah sepakat membolehkan dan membenarkan untuk menghadirkan Syekh Mursyid karena fungsinya sebagai ulama pewaris Nabi, sebagai Imam/pembimbing rohani, dengan tujuan agar orang yang berzikir dan beribadat itu terhindar dari segala was-was, rupa-rupa/pandangan-pandangan lain, bisikan-bisikan lain, perasaan-perasaan lain, yang diciptakan oleh iblis dan setan yang selalu mengganggu orang-orang yang berzikir dan beribadat itu, padahal yang bersangkutan belum tinggi kualitas iman dan takwanya.

Rasulullah SAW bersabda :

كن مع الله فإن لم تكن مع الله كن مع من مع الله فإنه يصيلك الى الله
“Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah” (H.R. Abu Daud).

WASILAH dan ROBITOH

Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan robitoh dalam suatu tarekat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadah menempati posisi penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarekat pasti bermursyid, berwasilah dan merobitohkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadah, Allah SWT. Berfirman:
Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (sukses). (QS.Al Maidah :35).

Dalam Kamus al Munjid dikatakan :

اَلْوَسِيْلَةُ مَا يَتَقَرَّبُ إلىَ الْغَيْرِ
“Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain.”

Ibnu Abbas menegaskan :

اَلْوَسِيْلَةُ هِيَ الْقَرَابَةُ
“Wasilah adalah suatu pendekatan “

Dalam Tafsir Ibnu Katsir II :52-53 pada waktu menafsirkan QS Al Maidah :35 , menyatakan :

اَلْوَسِيْلَة هِيَ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ
“Wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”

Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan QS.Al Maidah:35 menyatakan :
اَلْوَسِيْلَةُ عَامٌُ لِكُلِّ مَا يَتَوَصَلُ بِهِ إلَ الْمَقْصُوْدِ وَالنَّبِيُّ صلعم اَقْرَبُ الْوَسَا ئِلِ إلىَ اللهِ تَعَالىَ ثُمَّ تَوَائِبُهُ صلعم مِنَ الْمُسْتَكْمِلِيْنَ الْوَاصِلِيْنَ إلىَ اللهِ تَعَالىَ فِيْ كُلِّ قَرْنٍِ
“Pengertian umum dari wasilah adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT, kemudian kepada penerusnya-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai kepada Allah SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa”

Dalam ilmu balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal :

مِنْ إطْلاَقِ الْمَحَلِّ وَإرَادَةِ الْحَال

Artinya menyebut wadah, sedangkan sebenarnya yang dimaksud adalah isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai wasilah, tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah Nuurun ala nuurin yang ada pada rohani Rasulullah SAW.

Prof.DR.H.S.S Kadirun Yahya menyatakan bahwa wasilah itu adalah suatu channel, saluran atau frekuensi yang tak terhingga yang langsung membawa kita kehaderat Allah SWT.

Wasilah itu ialah :

نُوْرٌُ عَلىَ نُوْرٍِ يَهْدِاللهُ لِنُوْرِهِ مَنْ يَشَآءُ
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki “(QS An-Nur :35).

Wasilah itu telah ditanamkan ke dalam diri rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW yang merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW dan ummatnya menuju kehaderat Allah SWT.
Para Sahabat dan ummat Rasulllah SAW harus mendapatkan wasilah ini di samping menerima Alquran dan As-Sunah.

Sumber: Prof. Dr. H.S. S. Kadirun Yahya dalam tausyiahnya pada peringatan hari Guru dan Hari Silsilah tanggal 20 Juni 1996.