KADAR IMAN SESEORANG TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA NABI SAW. KADAR CINTA PADA BANGSA TERGANTUNG KADAR CINTANYA PADA TANAH AIR

Dikunjungi

Wednesday, 22 June 2016

KYAI MASDUKI DAN DOSEN ANTI ZIARAH



Ketika Almarhum Kiai Masduqie Machfudh masih kuliah di Jogja, ada salah satu dosennya yang anti terhadap ziarah kubur. Dosen tersebut menyatakan secara terang-terangan bahwa hukum ziarah kubur adalah haram.
Suatu saat Kiai Masduqie Machfudh mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan dosen itu seputar hukum ziarah yang hingga kini masih diperdebatkan itu.

“Kalau ada 
‘amr jatuh setelah nahyi itu hukumnya apa, Pak?” Abah membuka dialog dengan pertanyaan. Dalam kaidah usuhul fiqih, redaksi perintah (‘amr) yang datang setelah adanya larangan (nahy) membuat status hukum suatu perbuatan menjadi boleh. 
Sang dosen mengerti tentang kaidah ini dan menjawab, “Mubah.”
“Kalau 
amr-nya ada qarinah-nya bagaimana, Pak?” Qarinah merupakan keterangan nash yang memperjelas status hukum.
“Ya, sunnah.”
“Pak, mengharamkan suatu hal yang sunah itu hukumnya bagaimana?”
“Ya kufur, dong.”
“Sekarang saya tanya, bagaimana hukumnya ziarah kubur, Pak?”
“Haram.”
Kiai Masduqie lantas menunjukkan bahwa sang dosen sedang mengharamkan perbuatan yang berstatus sunnah. Dengan logika itu, dosen ini secara otomatis masuk dalam kategori orang yang kufur.
Mendengar kata-kata tersebut, sang dosen bertanya keheranan, “Lho, kok gitu?”
Kiai Masduqie lalu menyodorkan hadits shahih yang menunjukan bahwa ziarah kubur itu adalah sunnah, alias mendapat pahala bagi yang mengamalkannya. Dalam hadits tersebut termuat 
amr yang jatuh setelah nahyi dan amr tersebut juga disertai qarinah yang memberi kesan bahwa perbuatan bersifat positif. 

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقَبْور فَزُوْرُوهَا فَإنّها تَذكر الأخِرَة

“Aku (Nabi SAW) dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena yang demikian itu mengingatkan akan kehidupan akhirat.”

Ternyata sang dosen tidak mengetahui keberadaan hadits ini. Sehingga ketika Kiai Masduqie menyodorkan hadits tersebut, sang dosen hanya diam.
Tak semua perbedaan pendapat disebabkan perilaku “asal beda”, atau karena hasrat ingin membenci. Seringkali perbedaan dipicu oleh cara persepsi atau lantaran tidak tahu. Di sinilah pentingnya kemauan untuk terus belajar, berdialog dan 
tabayun (klarifikasi), sehingga perbedaan yang merupakan rahmat menjadi kian indah karena disikapi secara dewasa tanpa saling membenci.
Indirijal Lutofa, Santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono Malang asuhan Almarhum Kiai Masduqie Machfudh;  mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Malang

No comments: